Chereads / Levita in Lorin / Chapter 16 - The Proofs Never Lie

Chapter 16 - The Proofs Never Lie

Langit cerah setelah semalam hujan yang menyebabkan tanah menjadi sedikit lembut. Ibu Vidhi mulai menelusuri sisi kanan Hutan Hujan. Aroma segar dari pepohonan memberikan ketenangan dan membantu beliau untuk lebih fokus. 

Sudah lima meter beliau berjalan dari perbatasan hutan dan persimpangan, ketika jejak sepasang sepatu terlihat di tanah yang becek. Awalnya samar, namun semakin ke dalam hutan, semakin jelas jejak sepatu itu, karena tekstur tanah yang lembut membuatnya terjejak dengan sempurna. 

Beberapa langkah dari sana, terdapat jejak seperti seseorang tubuh seseorang yang diseret, lalu berusaha melepaskan diri dengan cara membenamkan jari-jarinya di permukaan tanah. Hal itu bisa diduga karena terlihat jejak jari-jari tangan yang bergerak memanjang akibat sang pemilik tubuh berpindah tempat.

Ibu Vidhi semakin teliti melihat apa saja yang ada di sekitar jejak-jejak itu. Sungguh petunjuk yang sangat berharga sampai-sampai beliau bergerak sangat hati-hati sambil mengambil foto seperti ahli forensik. 

Di sekitar jejak jemari tangan, terdapat tiga pasang jejak sepatu dengan ukuran yang berbeda. Dua diantaranya berukuran lebih besar sementara yang sepasang lagi seperti ukuran wanita. Jejak sepatu ukuran wanita itu juga ditemukan beberapa langkah dari sana. 

Beberapa menit mencari, Ibu Vidhi tidak lagi menemukan apa-apa lagi selain jejak kaki, jejak tubuh seseorang dan jejak goresan jari di tanah. Akhirnya beliau memutuskan untuk kembali ke tempat semula untuk menemui Ibu Gladys dan Pak Wodin.

Sementara itu, Ibu Gladys yang memang tidak pernah melakukan hal semacam ini seperti kebingungan harus memulai dari mana. Beliau hanya berjalan hilir mudik sambil terus menatap ke bawah seperti sedang mencari sesuatu.

Di mana bukti itu? Seperti apa bukti itu? Sebesar apa bukti itu? Ayolaaaah berpikir!!!  Ibu Gladys merutuk dalam hati. Beliau hanya terpaku di satu tempat untuk beberapa saat, lalu memutuskan untuk masuk lebih dalam ke sisi kiri Hutan Hujan.

Beliau terus mencari bukti apapun sambil berpikir apa yang akan dilakukan Raden Mas Lukman. Hal ini membuat beliau tidak bisa berpikir jernih, apalagi saksi sepertinya tidak ada. Hutan Hujan ini begitu sepi sehingga beliau akhirnya memutuskan untuk kembali saja ke persimpangan di depan.

Pak Wodin tidak kalah bingungnya. Beliau yang mengusulkan untuk mencari bukti dan saksi, tetapi beliau juga yang belum berhasil menemukan keduanya. Harusnya kuajak saja Thomas. Haruskah Aku kembali ke sekolah dan mengajak Thomas? Ah, tapi itu akan membuang-buang waktu. Kami harus cepat menemukan sesuatu. Pak Wodin menimbang-nimbang dalam hati sambil terus berusaha mencari bukti sekecil apapun.

Dalam pencarian beliau di jalan setapak ke arah GoldWings, sebuah pohon menarik perhatian. Di batang pohon itu ada sesuatu berwarna kemerahan. Bapak Wodin mendekat. Jejak merah itu seperti bentuk telapak tangan. Dilihat dari bentuk dan ukurannya seperti telapak tangan wanita. Bapak Wodin mengeluarkan ponsel lalu memotretnya. 

Seperti darah. Bagaimana aku bisa mengambil samplenya? Bapak Wodin berpikir. Pada saat itu, terdengar Ibu Vidhi memanggil. Rupanya beliau sudah sampai di persimpangan dan melihat Bapak Wodin sedang memerhatikan sebuah pohon, seperti menemukan sesuatu.

"Ibu Vidhi, kira-kira apa ini?" Bapak Wodin bertanya.

"Seperti bekas darah. Mari kita ambil sample." Ibu Vidhi mengeluarkan sebuah pinset dan ziplock dari tas.

"Ibu Vidhi, apa Anda pernah menjalani pelatihan….detektif?" Ujar Pak Wodin dengan ekspresi kaget sekaligus kagum.

Ibu Vidhi tersenyum,"Hanya membaca dan menonton serial detektif."

"Well, sepertinya ada darah detektif pada diri Anda." Pak Wodin berseloroh.

"Anda terlalu memuji, Pak Wodin." Ibu Vidhi tersenyum tipis, lalu wajahnya kembali serius.

"Lihat apa yang saya temukan di Hutan Hujan, tidak jauh dari persimpangan." Ibu Vidhi menunjukkan foto-foto dari ponselnya.

"Bagaimana kita bisa membuktikan kalau siswa Bara Salju yang menganiaya siswi Anda berdasarkan foto-foto ini?" Tanya Pak Wodin.

"Saya rasa kita bisa minta bantuan polisi untuk memprosesnya. Pastinya akan menyeret keempat siswi kami juga ke dalam masalah, tapi saya pikir itu cara yang adil, daripada merasa terancam oleh Raden Mas Lukman." Ibu Vidhi memberikan sarannya.

"Ibu Vidhi, Pak Wodin." Terdengar suara Ibu Gladys beberapa meter di belakang.

"Saya tidak menemukan apapun yang mencurigakan." Ibu Gladys tampak putus asa.

"Mari kita coba cari bersama." Pak Wodin mulai bergerak. 

Bertiga, mereka menyusuri sisi kiri Hutan Hujan, melihat ke arah bawah, berharap menemukan jejak atau apapun yang bisa dijadikan bukti, namun nihil. Sisi kiri Hutan Hujan bersih dari tanda-tanda kejadian apapun. 

Menyadari tidak ada apapun yang bisa dijadikan bukti, Ibu Gladys menyandarkan tubuhnya ke sebuah pohon. Lelah dan cemas.

"Tenang, Ibu Gladys. Kita coba gunakan temuan saya dan Bapak Wodin. Semoga ini cukup." Ibu Vidhi menenangkan.

Ponsel Ibu Gladys yang tiba-tiba berdering mengagetkan mereka semua. SMU Bara Salju, demikian nama yang muncul di layar ponsel.

"Lukman!" Ibu Gladys terbelalak menatap nama itu. 

"Tenang. Silakan Anda angkat, lalu nyalakan speaker. Kita dengar bersama apa yang diinginkan Lukman." Pak Wodin menenangkan Ibu Gladys.

Ibu Gladys menekan tombol berwarna hijau kemudian menekan tombol speaker.

"Halllloooowww, Ibu Gladys. Selamat…siang…" Terdengar suara Raden Mas Lukman yang seperti sengaja dibuat slow motion seolah ingin membuat Ibu Gladys merasa tertekan.

"Siang, Pak Lukman. Segera katakan apa mau Anda?" Ibu Gladys cepat menjawab.

"Ge..he…he…Ibu Gladys…ternyata Anda sangat impulsive…Baik kalau begitu…Saya harap Anda siap mendengarkan ini…hmmm…" Raden Mas Lukman semakin mempermainkan Ibu Gladys. 

"Keempat siswa Anda…yang juga impulsive seperti Anda…dan sepertinya kurang terdidik emosionalnya…ditunggu kehadirannya untuk datang ke sini, ke sekolah siswa-siswa beradab tinggi, Bara Salju…Datang dan minta maaf kepada kami, lalu Anda harus mengganti rugi secara materi atas apa yang terjadi pada kedua siswa kami, dan jugaaaa keempat berandal itu harus merawat luka siswa kami…sampai sembuh. Atau…saya akan menghubungi pimpinan media terbesaaaaaaar di Lorin. Saya akan katakan…bahwa saya punya berita bagusss untuk stasiun TV nya….he..he…he…" Nada suara Raden Mas Lukman penuh ancaman.

Mereka bertiga berpandangan. Ibu Gladys yang panik, menggeleng-gelengkan kepala, bersiap mengucapkan sesuatu namun Pak Wodin mencegah.

"Bagaimana, Ibu Gladys? Saya tidak punya banyak waktu untuk orang-orang  bar-bar seperti kalian. Saya tunggu sampai jam 3 sore ini. Sampai jumpa, Ibu Gladys. Jangan lupa, saya bisa membuat kalian semua terkenal. HA…HA…HAAAAA" Tawa panjang Raden Mas Lukman mengakhiri pembicaraan.

Keringat dingin membasahi kening Ibu Gladys. Beliau seperti kehabisan kata-kata.

"Kita harus cepat lapor yang berwajib!" Ujar Ibu Vidhi.

"Tunggu. Apa mereka bisa membantu? Raden Mas Lukman pasti sudah mengantisipasi hal ini. Bagaimana kalau kita ke Aster Biru dulu. Saya rasa kita bisa melakukan sesuatu di sana," Pak Wodin mengusulkan.

Ibu Gladys dan Ibu Vidhi sepakat menuruti saran Pak Wodin. Bergegas mereka mengikuti Pak Wodin ke Aster Biru, sekolah yang memiliki banyak sumber daya dan fasilitas yang bisa membantu siapapun yang sedang dalam masalah. Mereka sangat berusaha untuk segera membuktikan bahwa kedua siswa Bara Salju itu bersalah, sehingga bisa membungkam Raden Mas Lukman.

Berpacu dengan waktu, mereka mulai menyalakan mesin mobil, lalu menderu menuju Aster Biru, meninggalkan jejak asap di jalan tanpa debu.