Aku mulai berkonsentrasi untuk persiapan mengajar. Ini hari pertamaku mengajar di Aster Biru, kelas Ace. Kuingat-ingat lagi nama siswa siswi kelas Ace dan wajah mereka. Ada Viktor yang sering membuat suara menggelegar ketika latihan, Silvy yang jago wushu dan panahan, Bram sang musisi, Isabella yang selain cantik juga cerdas, dan Heri yang terkenal sebagai ahli merancang sesuatu. Kuharap mereka bisa menerima dan senang belajar denganku.
Kubaca silabus Aster Biru, lalu kupilih satu topik yang bisa kusampaikan hari ini, tentang bagaimana media bisa memberikan kesan baik atau buruk terhadap seseorang atau sesuatu. Seperti halnya Verya dengan vlog-vlog seputar Aster Biru yang disukai para penggemarnya, siswa lain juga pasti bisa membuat sesuatu yang informatif, inspiratif, kreatif dan disukai banyak orang. Tidak hanya melalui sosial media saja tentunya, tapi media-media lain seperti ketika mereka berbincang dengan teman, atau ketika di dalam suatu komunitas, atau media apapun yang mereka suka.
Aku berharap para siswa dengan beragam kemampuan dan kelebihan luar biasa yang mereka miliki, bisa saling memahami dan membuat hidup mereka lebih baik dan bahagia. Aku yakin mereka semua bisa.
Bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Semua guru berjalan menuju kelas masing-masing, begitu juga denganku.
Ruang kelas Ace tak berbeda dengan kelas Veneer. Susunan kursinya ternyata sama, membentuk huruf V, dimana bagian depannya lebar, lalu semakin ke belakang semakin mengerucut. Aku suka susunan seperti ini, karena memungkinkan semua siswa dapat melihat ke arah papan tulis dengan jelas tanpa terhalang teman yang duduk di depan mereka. Wajah seluruh siswa mulai dari depan ke belakang pun bisa jelas kulihat, sehingga setiap gerak gerik mereka terpantau.
"Selamat Pagi, semua." Kusapa seluruh siswa siswi yang duduk rapi di ruang kelas.
Mereka semua berdiri, membungkuk, lalu membalas salamku,"Selamat pagi, Ms. Levita."
Kelas pagi ini sepertinya akan menyenangkan.
***
Kelas Ace kuberikan tugas kelompok setelah sesi tanya jawab. Sambil menunggu mereka selesai, aku berjalan ke arah jendela, menikmati keindahan Aster Biru dari baliknya. Beberapa saat kemudian, kulihat gerbang sekolah terbuka. Mobil sport yang kulihat tadi pagi memasuki area sekolah, diikuti sebuah mobil sedan berwarna keemasan. Bagian belakang mobil itu seperti membentuk sepasang sayap di sisi kanan dan kirinya.
Dua wanita turun dari sedan keemasan itu. Dengan raut wajah penuh kecemasan, mereka mengikuti Pak Wodin yang berjalan cepat-cepat menuju ke salah satu bagian gedung Aster Biru. Ada kejadian apakah? Aku yakin pasti hal yang penting sehingga sepagi ini mereka harus setengah berlari seperti diburu waktu.
"Ms. Levita. Miss…Miss Levita." Samar terdengar suara seseorang memanggilku.
"Eh, oh, maaf, ya…Viktor. Ada pertanyaan?" Perhatianku kembali ke kelas.
"Miss ngelamun ya?" Viktor menatapku dengan tatapan menyelidik sambil melirik ke arah jendela.
"Nggak. Silakan, Viktor, apa pertanyaanmu?" Gugupnya aku kehilangan fokus saat jam pelajaran.
"Kenapa kita harus belajar Ilmu Sosial, Miss? Kalau ada orang yang mau berbuat jahat sama kita, gimana cara kita melawan pakai Ilmu Sosial?" Viktor bertanya.
"Pertanyaan bagus, Viktor." Aku tersenyum. Mendengar pertanyaannya, aku yakin Viktor terbiasa menyelesaikan masalah dengan cara laki-laki.
"Kalian kenal Verya Van Foulk dari kelas Veneer, bukan?" Aku mulai menjawab.
"Siapa yang nggak tahu selebgram paling hits se-Lorin, Miss. Bahkan nenek saya aja tahu, kok." Silvy menjawab, diiringi tawa satu kelas.
"Betul, Miss. Saya saza sampai ikut terkenal karena sering tampil di vlog nya. Banyak zurat-zurat penggemar wanita yang saya dapatkan, Bah! Eh tapi ada enaknya juga. Kadang saya zering ngobrol zama mereka tentang muzik, Miss. Seru kali rasanya, hahaha." Bramudya Ginting, sang pemusik nyentrik memberikan testimoninya untuk Vlog Verya.
"Oooh, pantesan sekarang sering lupa kalo punya janji. Sibuk banget yaaaa sama penggemar wanita." Isabella yang berparas imut tiba-tiba berkata jutek sambil tersenyum sinis.
"Eh, bukan begitu, my Bella. Maksud aku, aku cuma…" Bram berusaha meluruskan.
"Ah sudahlah. Miss Levita, saya izin ke toilet, boleh?" Isabella bangkit dari kursinya.
"Bo…boleh…"Jawabku. Mendadak suasana menjadi canggung.
Ketika Isabella sudah hilang dari pandangan, Heri berkata,"Bram, awas nanti ditimpuk apel sama Isabella."
"Lo sih, Bram. Jadi cowok nggak peka, padahal seniman." Silvy menimpali.
"Dah abis ini bikin lagu buat Isabella, biar dia nggak ngambek." Viktor menambahkan.
Seluruh siswa tertawa sementara Bram hanya meringis sambil menggaruk-garuk rambutnya dan bergumam,"apa salahku?".
Aku tersenyum. Rupanya seperti itu hubungan antara Bram dan Isabella.
"Ok, jadi sudah tahu semua ya tentang Verya dan sosial medianya. Seperti hal nya Viktor yang mungkin lebih suka menyelesaikan masalah dengan cara yang adu kekuatan fisik, Verya juga punya cara untuk mempertahankan diri dari siapapun yang mau menyakitinya. Contoh kasus Verya dengan Bora. Kalian pasti sudah tahu kan?" Kuambil contoh kasus Verya dan Bora.
"Coba kita pikir, Verya bisa saja menggunakan sosial media untuk membalas Bora yang sudah menuduhnya mencuri manicure set. Anggaplah Bora sudah melakukan pencemaran nama baik, lalu Verya membuat vlog tentang Bora yang menuduhnya, kemudian disebarkan di sosial media. Bisa jadi semua orang akan memusuhi Bora karena perbuatannya, tapi Verya memilih untuk tidak melakukan itu. Itu cara Verya bertahan diri dengan menggunakan Ilmu Sosial. Verya sudah mendapat simpati dari semua orang dengan tindakan bijaknya, jadi kalau seandainya suatu saat terjadi kasus apapun kepada Verya, bisa jadi banyak orang yang akan membela, tanpa Verya harus angkat senjata. Kira-kira seperti itu." Aku berusaha menjelaskan semudah mungkin.
"Setiap orang punya caranya sendiri dalam mempertahankan diri. Pilihan ada di tangan masing-masing." Aku menambahkan.
Bel tanda pelajaran usai berbunyi tepat ketika tugas kelompok selesai dikumpulkan. Seisi kelas berhamburan keluar, dan aku pun demikian.
Rasa penasaranku semakin menjadi ketika kulihat Pak Wodin, Ms. Gyna, dan kedua wanita yang tadi kulihat turun dari sedan berwarna keemasan berlari ke arah laboratorium kimia. Tanpa sadar, langkah kakiku mengikuti mereka. Sesampainya di depan laboratorium kimia, aku ragu-ragu untuk mengetuk pintu. Cukup lama aku mondar mandir di depan pintu sambil menggigit kuku, sampai terdengar suara.
"Hellooow, Miss Levitaaa. Lagi apa siiih di sini? Kok kayak orang confuse? Mikirin apa siiih? Kepo deh I." Verya dan pacars, maksudku kucing-kucingnya, muncul di hadapanku.
"Eh, Verya. Saya lagi…apa ya…itu…" Aku kehilangan kata-kata.
"Ih, Ms. Levita ga jelas deeeeh. Lagi apa ya itu apaaaa? Yaudah kita nge-vlog aja yuuuuk." Verya merangkulku dan mulai mengaktifkan kamera ponselnya.
Tubuhnya yang semampai dan lengannya yang melingkari bahuku membuatku tak bisa bergerak kemana-mana.
"Gaaaeees, kali ini kita udah ada di depan lab kimia nya Aster Biru, bersama guru ilmu sosial kita yang paling imut, Miss Levitaaaaa. Say helloooo." Verya memulai vlog nya.
"Halooo…" Aku tersenyum menghadap kamera.
Brak! Pintu di belakang kami terbuka dengan suara keras, diikuti dengan kemunculan Bapak Wodin, Ms. Gyna dan kedua wanita yang kulihat tadi pagi.