"Hmmm, orang-orang rendahan itu sudah datang." Raden Mas Lukman menggumam di atas menara saat melihat sedan keemasan memasuki gerbang Bara Salju.
"Ow…Sleeper? Wodin? Aaah, si tukang ikut campur. Kita lihat dia bisa apa kali ini." Lelaki dengan seringai jahat itu kembali menggumam sambil berjalan menuju tangga untuk turun menyambut para tamunya.
"Sepertinya kita keddatangan tamu. Kamu bberbbuat sessuatu….lagggi?" Raden Roro Anggi muncul di puncak tangga, tepat sebelum Raden Mas Lukman turun. Wanita berdarah biru itu datang dengan dandanan yang rapi, rambut disasak dengan konde kecil, serta rok dan kebaya modern yang menambah keanggunannya.
"Aaaah, istriku. Selamat siang. Bagaimana kabar anak-anak?" Raden Mas Lukman membentangkan kedua tangannya seolah ingin memeluk istrinya, Raden Roro Anggi.
"Sejjjak kapan kamu peddduli sama anak-anak?" Raden Roro Anggi menatap sinis suaminya. Logat medoknya semakin kentara karena suaminya berusaha mengalihkan pembicaraan.
"Ahahahhaa, tentu saja aku peduli. Mereka juga anak-anakku, bukan begitu?" Raden Lukman berkata sambil berusaha merangkul istrinya.
Raden Roro Anggi berjalan maju ke arah jendela, seperti tidak sudi menerima rangkulan suaminya.
"Tiddak ussah bertele-tele. Katakan, mau apa mereka ke sini, sampai-sampai Bbapak Wodddin reppot-reppot ddatang? Kita bberddua tahu kalau Bappak Wodddin ddatang bbukan untuk nge-teh sambbil ngobbrol santai." Wanita ningrat itu berbalik dan menatap tajam suaminya.
"Heheheeee istriku ini memang cerdas. Tidak ada apa-apa. Percayalah suamimu ini. Kamu tahu kan, tidak ada masalah yang tidak bisa aku selesaikan?" Raden Mas Lukman menjawab pertanyaan istrinya diakhiri dengan seringai.
Raden Roro Anggi bergerak maju mendekati wajah suaminya, lalu berkata,"Kalau masalah ddiselesaikan ddengan caramu, Bbbarrra Saljju tiddak akan bbertahhan sampai ddetik ini."
"Haddapi masalahmu senddiri. Tapi kalau ssampai Barra Ssalju terseret, aku tiddak akan berddiam ddiri." Beliau berjalan menuruni tangga sambil mengibas kebayanya setelah menyelesaikan kalimatnya, meninggalkan aura kemarahan yang tertahan.
Raden Mas Lukman mendesis dan menatap tajam punggung wanita yang dinikahinya 5 tahun lalu itu.
"Kalau bukan karena darah ningrat yang kau miliki…" Raden Mas Lukman mendesis sebelum akhirnya berjalan menyambut para tamunya.
***
Pak Wodin, Ms. Gyna, Ibu Gladys dan Ibu Vidhi menjejakkan kaki mereka di halaman Bara Salju yang terasa dingin. Langit cerah dan angin lembut yang berhembus terasa sangat berbeda dengan suasana hati mereka. Mereka seperti sekelompok ksatria yang siap berperang.
Dari dalam gedung Bara Salju, dengan setelan jas berwarna hijau lumut dan rambut hitamnya yang disisir rapi ke belakang, Raden Mas Lukman berjalan dengan gagah. Tak lupa seringainya merekah.
"Selamat datang, para undangan, oh, dan yang tak diundang." Seringai Raden Mas Lukman berubah menjadi senyum tipis ketika melihat kehadiran Ms. Gyna.
"Kami datang membawa bukti bahwa siswa Anda yang bertanggung jawab atas kejadian pagi ini." Ibu Gladys tak sudi berbasa-basi.
"Aaaah, begitu? Hmmm, begitu? Anda tahu, Gladys, pembohongan publik seperti itu bisa saya perkarakan?" Raden Mas Lukman mengancam.
"Benar. Dan itu yang akan saya lakukan, jika Anda sampai menyebarkan berita tak berdasar ke media." Ibu Gladys balik mengancam.
"HA..HA…HA…apa karena ada dua tamu tak diundang, jadi anda berani mengancam?" Seringai Raden Mas Lukman saat menatap Bapak Wodin dan Ms. Gyna.
"Oh ya, ngomong-ngomong saya belum menyapa. Apa kabar, Gy…na? Lama tak berjumpa, kamu semakin cantik saja. Anak-anak tidak bertanya kabar saya? Aaah pasti mereka tahu kalau ayah (mereka baik-baik saja." Raden Mas Lukman berkata dengan nada melecehkan.
"KAU…" Ms. Gyna refleks melangkah maju sambil mengepalkan tinjunya, namun berhasil dicegah oleh Bapak Wodin yang sigap berdiri di depannya.
"Berhenti bermain-main, Lukman. Kami tidak punya waktu beradu pantun denganmu. Cepat bawa kedua siswamu kemari. Mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatan mereka." Pak Wodin berkata tegas.
"Atau…apa? He…he…he…buktikan kalau mereka bersalah. Bisa?" Raden Mas Lukman tak gentar.
"Biarkan saya menjelaskan semuanya kepada ULAR itu." Ms. Gyna berkata kepada Pak Wodin. Nada sinis terdengar saat beliau menyebut kata 'ular' sambil menatap tajam ke arah Raden Mas Lukman.
Pak Wodin memberikan jalan untuk Ms. Gyna. Langkah wanita yang pernah menjadi istri Raden Mas Lukman itu perlahan namun pasti ke arah Raden Mas Lukman. Selembar kertas diacungkan ke hadapan Raden Mas Lukman setelah jarak mereka sudah cukup dekat.
"Hehehe, Gyna, aku tidak punya waktu untuk mendengar kuliah Biologi mu." Raden Mas Lukman menyeringai seolah tidak peduli dengan apa yang tertulis di kertas itu, namun diam-diam matanya melirik membacanya.
Hasil Tes DNA? Hmmm…Otak liciknya mencoba mencerna semua yang dikatakan Ms. Gyna. DNA siapakah yang dimaksud?
Jangan kau bermimpi mendengarkan kuliah saya yang berharga. Bersiap saja untuk membawa kedua siswa Anda ke hadapan yang berwajib. Hasil tes DNA yang membuktikan bahwa barang bukti yang ditemukan di TKP adalah milik Kollser E. Markasih & Hardi Kabalessy. Jangan tanya bagaimana saya bisa tahu bahwa itu DNA mereka. Anda pasti ingat kalau saya adalah ahli dalam bidang ini. Jangan lupa juga, database warga Lorin ada di bawah perlindungan Bapak Wodin. Semua barang bukti sudah ada pada kami, dan kami bersiap melaporkannya kepada yang berwajib." Ms. Gyna menghembuskan nafas lega setelah mengatakan semuanya.
Beliau berbalik badan untuk kembali ke tempat semula di mana ada Pak Wodin, Ibu Gladys dan Ibu Vidhi. Namun baru beberapa langkah berjalan, beliau menoleh sesaat dan berkata kepada Raden Mas Lukman,"Oh ya, Anda suka publikasi, bukan? Sepertinya Anda akan senang apabila wajah kedua siswa Bara Salju muncul di media massa. Saya bisa melakukan itu."
Tubuh Raden Mas Lukman menegang dengan kedua tangan terkepal, bibir mengatup, kening berkerut dan mata liciknya menatap tajam ke arah Ms. Gyna.
Anak-anak bodoh! Kenapa mereka sampai meninggalkan jejak?! Gyna, si jalang itu berani mengancamku?! Dan kau, Wodin, kau tidak sepandai aku. Kau tidak akan bisa selamanya menginjak-injakku. Hati Raden Mas Lukman menjerit.
"Aaaah hehehehe, jadi…kalian menemukan bukti? Hmmm…mau berlagak seperti detektif ya? Ahahahaha….amatir. Paling-paling hanya gertakan murahan, hahahaha…" Raden Mas Lukman berusaha mengulur waktu sambil terus berpikir untuk membalikkan keadaan.
"Lukman…kamu memang menyedihkan." Pak Wodin berkata dingin.
Tanpa membuang waktu, beliau mengambil ponselnya dan menekan nomor yang pastinya akan membuat Raden Mas Lukman menggigil ketakutan.
"TUNGGU!!!" Teriakan Raden Mas Lukman membuat semua orang waspada.
"Hehehe…Wodin, kenapa tegang sekali suasana ini? Bukankah lebih baik kalau kita masuk dan berbicara di dalam? Sudah lama juga kita tidak menikmati secangkir teh khas Argoterim." Suara dan ekspresi Raden Mas Lukman melembut.
"Aaaah, ladies, tentunya kalian juga bisa ikut kami. Kita sesama pemilik sekolah-sekolah ternama di Lorin tentunya harus sering-sering berbincang." Raden Mas Lukman mulai berjalan mendekati Pak Wodin.
"Hentikan, Lukman. Kami datang bukan untuk bermulut manis." Bapak Wodin berkata.
"Segera kita selesaikan masalah ini. Kami harap Anda membawa kedua siswa Anda ke hadapan kami, atau kami akan memproses secara hukum. Tentunya keempat siswi kami juga akan mempertanggungjawabkan perbuatan mereka." Ibu Gladys akhirnya berbicara.
"Langsung saja saya hubungi kantor polisi." Bapak Wodin kembali menggunakan ponselnya untuk menelepon polisi.
"FINE! OKE! TUNGGU! SAYA AKAN BAWA MEREKA SEKARANG JUGA." Raden Mas Lukman berteriak dengan nada penuh rasa frustasi.
"Dan Wodin, jaga tangan dan mulutmu sampai saya kembali." Raden Mas Lukman berkata tajam sebelum akhirnya berbalik dan masuk ke dalam gedung sekolah.
Sesaat ketegangan mereda ketika tiba-tiba terdengar suara sepeda motor menderu dan sayup terdengar jeritan seorang wanita.
"VERYAAAAAA, STOOOOOP!!!"
Semua yang ada di sana serentak menoleh ke arah sumber suara.
Sebuah Sespan Pink melaju kencang memasuki gerbang Bara Salju sebelum akhirnya berhenti dengan suara rem berdecit. Debu beterbangan di sekitar Sespan Pink yang dikendarai seorang siswi berseragam Aster Biru. Seorang wanita dewasa terbatuk-batuk di kabinnya. Tangannya mengibas menghalau debu yang masuk ke dalam mata, hidung dan tenggorokannya.
Ms. Gyna yang pertama menyadari siapa mereka." Verya?! Miss Levita?!"