"Selamat Pagi, Ms. Levita." Pak Herman dengan seragam hitamnya yang rapi tanpa cela tiba di halte tak lama setelah Aku.
"Pagi, Pak Herman. Sudah sarapan?" Aku berniat menawarkan gorengan yang aku beli tadi di warung dekat kos.
"Terimakasih, Miss Levita, saya sudah sarapan tadi. Di Aster Biru, kami tidak pernah dibiarkan bekerja dengan perut kosong." Pak Herman tersenyum.
"Waaah senangnyaaa. Pantas saja Pak Herman setia bekerja di Aster Biru." Ujarku
"Yaaa, memangnya ada tempat lain yang bisa menerima saya bekerja?"
Pertanyaan retoris Pak Herman membuatku sadar kalau Aster Biru adalah satu-satunya tempat di mana warga Lorin bisa tinggal dan memiliki kehidupan.
"Miss Levita suka gorengan? Kalau begitu harus coba gorengan buatan Mang Ardrim yang terbaik. Crispy di luar, lumer di dalam." Pak Herman berkata.
"Oh ya? Saya harus coba. Apa lagi menu yang enak di Aster Biru, Pak?" Aku mulai memikirkan ingin makan apa siang ini di kantin Aster Biru siang ini.
"Hmmm, Ms. Levita suka masakan Indonesia, Oriental, Western, atau apa? Mang Ardrim bisa masak semua karena dulu beliau pernah jadi koki di rumah orang penting di Lorin." Jawab Pak Herman.
"Oh ya? Dari mana Pak Herman tahu? Pak Herman diendorse sama Mang Ardrim ya? Heheheee." Aku mulai menggali lebih dalam.
"Tentu saja saya tahu. Bisa dibilang kami sangat akrab. Jadi dulu awalnya Mang Ardrim itu...….cukup lama kerja di sana, tapi...ketemu sama…..akhirnya…." Suara Pak Herman terdengar sayup-sayup dan jauh. Oh no, rasa kantuk ini…
***
"Jadi begitu ceritanya, Ms. Levita." Saat mataku kembali terbuka, Pak Herman sudah menyelesaikan ceritanya tepat ketika kami memasuki Aster Biru.
Kugelengkan kepala untuk mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.
"Pak Herman, nanti cerita tentang Mang Ardrim lagi ya." Aku berkata sesaat sebelum turun.
"Loh kan tadi sudah saya ceritakan." Pak Herman terheran.
"Iya, tapi…" Ucapanku terhenti ketika kulihat sebuah mobil sport hitam melaju dari arah bagian belakang bangunan asrama Aster Biru.
Belum pernah kulihat mobil seperti itu. Mobil dengan desain eksklusif dan sekilas tampak aerodinamis yang belum pernah kulihat dimanapun. Suara mesinnya yang sangat halus berbanding terbalik dengan kecepatannya yang super. Dalam satu kedipan mata, mobil itu menghilang. Aku terbelalak tak percaya.
"Miss Levita?" Saking terkesimanya Aku sampai tak sadar kalau Pak Herman sudah berada di sampingku.
"Itu…mobil…waaah…" Aku geleng-geleng kepala.
"Oh, itu. Savior. Mobil sport Pak Wodin. Keren ya, Miss. Nggak ada di tempat lain lho." Pak Herman tersenyum bangga melihat Aku yang terpana melihat satu lagi hal menakjubkan di Aster Biru.
"Limited edition, pak? Buatan mana?" Aku penasaran.
"Hmmm limited edition, iya. Buatan mana? Hehehe kalau itu…rahasia. Saya permisi dulu, Miss Levita. Have a nice day." Pak Herman tersenyum dan berlari kecil masuk kembali ke dalam limo, meninggalkanku yang bertanya-tanya.
Ternyata Pak Herman juga pandai berahasia.
Aku berjalan ke ruang guru setelah menatap Pak Herman yang melesat dengan limonya menuju parkiran. Beberapa langkah aku berjalan, terdengar suara dentuman seperti kemarin. Aku yang mulai terbiasa dengan suara latihan pagi Viktor hanya terhentak sejenak, namun tetap berjalan.
Dari arah asrama putra dan putri mulai banyak siswa yang berjalan menuju sekolah. Sebuah tongsis berwarna pink muncul dari pintu masuk asrama putri. Gadis yang memegang tongsis itu berambut panjang berwarna pirang, diikuti oleh dua ekor kucing. Sebentar lagi pasti dia akan berkata….Aku menghitung mundur, 3, 2, 1.
"Hey, gaeeeeesss. Ketemu lagi sama gue, princess tersyantiq kesayangan kamyuuuh."
Nah kan, benar dugaanku. Verya Van Foulk sang selebgram Aster Biru dengan tongsis pink yang menjadi ciri khasnya.
Di belakang Verya, siswa tertampan se-Aster Biru mengikutinya. Ferry Van Foulk yang meringis melihat kelakuan adiknya membuatku tersenyum karena melihat betapa bertolak belakangnya perilaku dua bersaudara itu satu sama lain. Mereka berdua pantas dijadikan icon Aster Biru karena keduanya memiliki pesona dengan cara mereka masing-masing.
Aku harus merapikan diri sebelum mulai mengajar hari ini. Kurasa toilet pasti masih sepi, jadi aku bisa WAAA!!!!! Aku terlonjak!
"Pagi, Miss Levita."
"Miss Levita, pagi."
"Ke toilet pagi-pagi."
"Pagi-pagi Miss Levita ke toilet."
Pagi ini Noor bersaudari lagi-lagi mengejutkanku di toilet.
"Astagaaaa…kaliaaaan…kenapa ada di…" Terbata-bata aku berkata.
Mereka duduk di lantai toilet, tepat di depan pintu, menatapku tanpa ekspresi, bergiliran mengatakan sesuatu, lalu diakhiri dengan mengatakan hal yang sama secara bersamaan.
Kusandarkan tubuhku ke tembok. Kakiku terasa lemas. Takut. Tapi, masa iya aku takut sama siswa.
"Kaget ya?"
"Takut ya?"
"Marah ya?"
"Atau semuanya?"
Mereka semakin membuatku berkeringat dingin.
"Kalian sedang apa di sini? Kenapa tidak duduk di kelas?" Aku berusaha tenang.
"Kenapa di sini?"
"Kenapa tidak duduk di kelas?"
"Kenapa di sini dan tidak di kelas?"
"Kenapa tidak?"
Kupejamkan mataku dan kuhela nafas.
"Terserah kalian sajalah. Permisi, saya mau ke toilet. Sabina, kakimu, tolong jangan menghalangi pintu?" Jantungku berdebar saat menatap Sabina, menanti apa yang akan dikatakan mereka bertiga.
Mereka terdiam, hanya menatapku dengan ekspresi yang masih sama. Ekspresi tanpa ekspresi. Sabina menggeser kakinya dari pintu lalu aku cepat-cepat aku masuk sebelum dia berubah pikiran. Kurasakan tatapan mereka menghujam punggungku. Ku abaikan perasaan itu, lalu kututup pintu untuk menyelesaikan urusanku.
Seketika kesunyian terasa. Tidak terdengar suara apapun dari ketiga siswa misterius yang sedang duduk tepat di depan pintu. Aneh. Sedang apa mereka? Bukankah biasanya suasana akan cukup ramai jika ada sekumpulan siswi di toilet? Ah sudahlah. Mungkin mereka memang tak banyak bicara.
Selesai membersihkan diri, Aku ingin segera ke ruang guru untuk menyiapkan bahan ajarku hari ini. Kubuka pintu toilet. Mendadak hawa dingin merasuk hingga ke tulang. Tubuhku bagai terpaku, tak dapat bergerak kecuali kedua bola mataku yang menatap sekeliling.
Aku mencoba memikirkan hal yang masuk akal, namun gagal. Noor bersaudari, sebanyak apapun ku kedipkan mata, mereka tidak tampak di sudut toilet manapun. Kudekap kedua tanganku untuk meredakan detak cepat jantungku. Kemana perginya mereka? Selalu muncul tiba-tiba, lalu hilang tak berbekas. Aku bersumpah tidak mendengar satu langkah kaki pun sejak tadi.
Cepat-cepat Aku berlari keluar. Aku butuh udara segar. Mulai sekarang Aku akan berusaha menghindari pergi ke toilet sendirian. Khawatir akan mempengaruhi kewarasan.
Aku berlari ke ruang guru lalu kubuka pintu dengan terburu-buru. Tiga pasang bola mata menatapku terkejut. Semoga mereka tidak berpikir bahwa aku sedang merasa takut.
"Selamat pagi, Miss Gyna, Miss Rowana, Mister Kevin. Apa kabar semua?" Aku membungkukkan badan, mengucap salam.
"Selamat Pagi, Miss Levita. Anda…baik-baik sajakah?" Miss Gyna berjalan mendekatiku.
Aku berusaha menguasai diriku. Kutarik dalam nafas, lalu ku hembuskan perlahan sambil tersenyum.
"Tentu saja saya baik-baik saja, Miss Gyna." Kusunggingkan senyumku yang paling meyakinkan.
"Anda seperti habis melihat hantu." Mr. Kevin menatapku curiga.
"Oh…ha…hantu? Ahaha ahahaha mana ada hantu di sekolah, bukan begitu, Miss Gyna?" Kegugupanku gagal kututupi begitu mendengar kata hantu.
"Anda tidak percaya ada hantu di sekolah, Miss Levita? Hmmm…sebaiknya Anda bersiap, karena di sini…" Ms. Rowana menggantung kalimatnya sambil menatapku dengan tatapan penuh misteri.
"Eh…ap…ap…apa, Miss Rowana?…ada…han…tu?" Kurasakan bulu kudukku meremang.
"Ahahahahahah Miss Levita ini, saya cuma bercanda. Serius sekali Anda ini. Masih pagi, Miss. Santai sedikit. Silakan duduk dulu." Raut wajah Ms. Rowana yang tadinya misterius berubah menjadi jenaka. Aku lega. Ternyata cuma canda.
"Miss Gyna, boleh saya tanya sesuatu? Di mana saya bisa lihat data semua siswa?" Tiba-tiba aku menemukan cara untuk mencari tahu identitas Noor bersaudari.
"Oh, Anda ingin lihat data siswa? Mari saya tunjukkan." Ms. Gyna menuntunku ke kursi di hadapanku.
"Miss Levita bisa akses semua data murid dari laptop operasional ini. 3 ada sistem data siswa dan sistem penilaian. Masing-masing guru punya. Ini milik Ms. Levita. Silakan masukkan nama Anda, lalu masukkan password "VLHLL", huruf besar semua. Silakan dicoba. Kalau ada pertanyaan, jangan sungkan bertanya." Demikian petunjuk Ms. Gyna. Senyumnya yang tulus selalu membuatku nyaman. Sekarang Aku lupa akan rasa takutku.
"Terimakasih, Miss Gyna." Aku mulai mengaktifkan laptop.
Kalau Aku tidak salah ingat, Noor bersaudari ada di kelas Ace. Aku klik data siswa kelas Ace, kutelusuri satu persatu barisan nama, sampai akhirnya aku melihat nama Sabina Noor, Uriya Noor, dan Venita Noor. Aku menggelengkan kepala tak percaya. Kupejamkan mataku, lalu perlahan kubuka. Nama-nama mereka jelas tertera di sana. Mereka benar ada. Bukan hantu.
Kuhempaskan punggungku ke sandaran kursi dengan perasaan lega. Aku dan segala ketakutanku. HAH!