Kembali ke bagian depan Aster Biru yang luas, sudah menanti dua orang penting di Aster Biru, Pak Wodin dan Pak Markus. Tak jauh dari mereka berdua, berdiri dengan gagah seperti seorang pengawal pribadi, Pak Herman sang pengemudi limousine.
"Semoga Anda menikmati perkenalan dengan Aster Biru, Miss Levita. Terimakasih sudah menerima undangan kami. Sekali lagi, selamat bergabung dengan SMU Aster Biru." Pak Wodin berkata sementara Pak Markus hanya menatapku tanpa ekspresi.
"Kami berharap di bawah bimbingan Miss Levita, Aster biru bisa memiliki siswa-siswa yang berpengetahuan luas dan berjiwa sosial yang tinggi. Sampai jumpa besok. Pak Herman akan antar Anda kembali." Bapak Wodin mengucapkan salam perpisahan.
"Terimakasih untuk hari ini, Pak Wodin dan Pak Markus. Sampai jumpa." Aku berpamitan dan membungkuk memberi penghormatan a la Aster Biru, kemudian berjalan ke arah limousine yang sudah menanti.
Dalam hati aku berdecak kagum. Mana ada guru di duniaku yang diantar jemput dengan limousine? Dijemput naik ojek online saja sudah bersyukur.
Limousine mulai bergerak melewati gerbang, lalu melewati Jembatan Pelangi dan berbelok ke arah kanan. Di sebelah kiriku tampak jalan setapak menuju hutan hujan yang tadi kulewati. Aku bergidik mengingat apa yang terjadi denganku di sana. Seorang pemuda beraura serigala dan seorang pria beraura...entah bagaimana aku mengatakannya, tetapi dia seperti akan menghancurkan apapun yang tidak disukainya. Raden Mas Lukman. Aku menggelengkan kepala untuk melupakan senyum liciknya yang menjijikan.
Beberapa menit kemudian, pandanganku menangkap sebuah menara tinggi dengan bendera bersimbol seperti sayap. Wah, sepertinya ada sekolah lain di sekitar sini selain SMU Bara Salju.
"Pak Herman, itu sekolah juga? Yang di atas menaranya ada bendera bersimbol sayap?" Aku memecah kesunyian dengan bertanya kepada Pak Herman.
"Betul, Ms. Levita. Itu SMU khusus wanita. All-girls school, GoldWings." Jawab Pak Herman.
"Waaaaah, menarik sekali." Aku berusaha membayangkan seperti apa GoldWings. Sekolah khusus wanita dengan nama yang megah.
"Memang menarik. Semua siswi GoldWings jago martial arts dan berorganisasi. Rata-rata lulusannya jadi politikus dan pengawal-pengawal pemimpin kota Lorin. Tidak hanya itu, para siswi GoldWings memiliki kemampuan membaca karakter seseorang. Mereka bisa merasakan mana orang baik dan mana yang jahat. Dari luar mereka selalu tampak serius, tapi sebenarnya memiliki hati yang lembut, yaaah seperti layaknya wanita." Pak Herman menjelaskan.
Mendengar Pak Herman menjelaskan sesuatu dengan jelas dan lugas, aku merasa mulai bisa berbicara santai dengan beliau. Lain kali akan kucoba meminta kesediaan beliau untuk mengantarku menjelajah kota Lorin karena aku merasa tengah berbicara dengan seorang tour guide yang baik.
Selepas melewati GoldWings, mataku mulai diserang kantuk seperti pagi tadi. Yah, mulai lagi deh. Sepertinya rasa kantuk ini....
***
"Miss Levita, kita sudah sampai." Sayup suara Pak Herman terdengar di antara rasa kantuk dan kesadaranku.
Kuedarkan pandangan ke sekeliling, dan, oh, ini halte dekat tempat tinggalku.
"Sudah sampai ya, Pak? Baiklah, saya turun ya. Terimakasih, Pak Herman. Hati-hati di jalan." Kubuka pintu limousine sambil terus berusaha sadar sepenuhnya dari tidurku.
Dengan sisa rasa kantuk, aku turun dari limousine dan berdiri sebentar di halte.
Aku menoleh untuk bertanya kepada Pak Herman apakah beliau akan menjemputku lagi besok, namun….
"P...Pak Herman….loh!" Yang kulihat hanya jalan yang lengang. Limo tidak terlihat di manapun. Menghilang tanpa suara.
Langit hampir sepenuhnya gelap dan lampu-lampu jalanan mulai menyala. Lalu lintas sore ini lumayan padat seperti layaknya jam sibuk di hari kerja. Jadi bagaimana bisa Pak Herman dengan cepat menghilang. Ah ha, aku lupa kalau Pak Herman juga bagian dari keajaiban Aster Biru.
Aku mendengar sebuah bunyi yang sangat ku kenal berasal dari dalam perutku. Sebuah tanda bahwa aku harus segera mencari asupan energi karena Zuppa Soup dan Pizza siang tadi rasanya sudah habis dicerna dan digunakan oleh tubuhku.
Beberapa warung tenda kaki lima yang mulai membuka dagangannya membuat tepi jalan meriah dengan kegiatan mereka. Aku membayangkan jika suasana seperti ini juga ada di Lorin. Pak Wodin berbincang dengan Pak Markus di warung kopi, Ms. Frida dan Ms. Gyna makan malam bersama di kedai nasi goreng, atau bahkan sesekali Mang Ardrim makan Pecel Lele untuk memperkaya khasanah kuliner di kantin Aster Biru. Terkekeh aku dibuai anganku sendiri.
Lamunanku seketika buyar saat sebuah tangan menarik tasku dari arah samping. Refleks tanganku mendekap erat tas yang kini menjadi bahan rebutan antara orang yang tak dikenal itu denganku. Wajahnya tertutup masker dan topi pet hitam yang menutupi kepalanya. Tenaga tarikannya yang luar biasa kuat yang membuatku hampir saja terjatuh karena mempertahankan tas ku. Sekilas kulihat tangannya yang cukup berotot membuatku berpikir bahwa dia adalah seorang pria.
"JAMBREEEEET!!!!" Sekeras mungkin aku berteriak, berharap seseorang sadar bahwa aku butuh bantuan.
Sontak pria yang masih berusaha menarik putus tasku itu berhenti, kemudian mengedarkan pandangannya ke sekeliling dengan cepat.
Beberapa orang bermunculan dari dalam warung-warung tenda dan mulai berlarian ke arah kami sambil menunjuk-nunjuk dan berteriak. Tanpa membuang waktu, pria tersebut melepaskan tangannya dariku kemudian berlari secepat kilat untuk menghindari massa yang semakin banyak mengejarnya.
"Mba nggak apa-apa, mba?" Seorang pria bertanya kepadaku.
Aku dengan nafas yang masih tersengal-sengal karena mempertahankan tasku menjawab,"Nggak. Nggak apa-apa."
"Sini sini mba, duduk dulu." Seorang wanita muda membimbingku masuk ke dalam salah satu warung tenda terdekat dan memberiku sebuah kursi.
Aku terduduk dan tertunduk lemas. Kukira hari ini akan berakhir dengan normal, ternyata masih ada kejadian mengejutkan yang harus kulalui.
"Minum dulu, mba." Kutatap seorang ibu berusia sekitar setengah baya yang memberiku segelas air putih. Sepertinya pemilik warung tenda ini.
"Makasih, bu." Segera setelah kuucapkan terimakasih, kuteguk habis air putih yang membuat pikiran kembali jernih.
"Berhasil kabur jambretnya. Ada yang jemput pake motor. Jago banget dia, padahal lagi agak macet kayak gini." Sayup terdengar seseorang berkata dari luar, disambung dengan banyaknya suara orang yang sepertinya sudah kembali dari pengejaran jambret tadi.
"Wah, komplotan tuh. Si mba-nya nggak apa-apa?" Seseorang menanyakan keadaanku.
"Nggak apa-apa. Ada di dalam lagi ditenangin dulu." Seseorang menjawab.
Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada semua yang ada di dalam warung tenda dan memastikan aku baik-baik saja, sebelum akhirnya beranjak keluar untuk mengucapkan terima kasih kepada semua yang sudah menolongku dari aksi penjambretan tadi.
"Terimakasih, semua. Saya baik-baik saja." Aku berkata singkat sambil sedikit membungkuk sebagai tanda terimakasih.
"Mba nya mau kemana? Mau diantar?" Seorang pria bertanya kepadaku.
"Nggak apa-apa, makasih, Mas. Saya mau pulang kok. Rumah saya sudah dekat, sekitar 100 meter dari sini." Aku menjawab.
"Hati-hati, Mba. Kalo ada apa-apa teriak aja kayak tadi ya. Kita-kita masih bakalan jaga-jaga di sini kok." Pria tadi kembali berkata.
"Oke. Terimakasih semuanya. Saya pamit dulu." Sekali lagi kuucapkan terimakasih kepada semua yang ada di sana.
Menguap sudah rasa laparku karena kejadian ini, jadi kuputuskan untuk langsung pulang dan beristirahat.
Cahaya Matahari sudah sepenuhnya hilang dan semua lampu jalanan telah menggantikan sinarnya. Kususuri trotoar yang lengang menuju tempat tinggalku yang tidak sampai 10 menit kemudian sudah terlihat pintu gerbangnya.
Melangkah memasuki tempat tinggalku yang masih sepi karena sebagian besar penghuninya belum pulang membuatku menghela nafas lega. Akhirnya sampai juga.
Kubuka pintu kamarku dan segera mandi laku berganti pakaian sebelum akhirnya menuju kulkas untuk menemukan apapun yang bisa langsung kumakan sebelum asam lambungku naik.
Aku bersyukur masih ada beberapa lembar roti tawar, setengah botol pasta cokelat dan 1 liter susu segar. Kuambil 2 lembar roti lalu kuoleskan pasta cokelat yang akan kunikmati dengan segelas susu segar.
Kubawa makan malamku itu ke atas tempat tidur dimana aku biasa makan sambil merebahkan diri. Sungguh kebiasaan makan yang jauh dari kata anggun.
Mengunyah roti sambil menatap langit-langit kamar membuat pikiranku melayang mengingat percobaan penjambretan yang tadi kualami. Seandainya saja salah satu siswa kelas Ace dari Aster Biru ada di sini, Viktor misalnya, pasti si jambret sudah jadi Jambret Tulang Lunak.