Barisan pohon apel perlahan berganti menjadi pepohonan besar dan rindang. Sinar matahari menembus barisan pohon membentuk garis-garis cahaya yang menawan. Aroma segar merebak di sekitarku. Kuhirup nafas panjang menikmati udara yang menyegarkan ini.
Kicauan sekawanan burung yang merdu terdengar di antara suara petikan ukulele. Kunikmati simfoni yang indah ini, sampai akhirnya aku tersadar bahwa kicauan itu bersahutan mengikuti nada dari ukulele.
"Woaaaah luar biasa." Hanya itu yang bisa kukatakan untuk mengekspresikan kekagumanku. Tak pernah kutemukan suasana seperti ini dimanapun, dimana manusia dan alam sekitar menyatu membentuk keindahan.
Bapak Wodin tersenyum dan memejamkan mata sambil menikmati alunan lagu. Kami seperti tersihir dan menyatu dengan ruang dan waktu. Bahkan suara gesekan dedaunan yang tertiup angin seperti bernyanyi. Musik macam apa ini?
Lalu disana, di bawah sebuah pohon rindang, dikelilingi burung-burung berwarna warni, seorang siswa duduk sambil memainkan ukulelenya. Sinar mentari yang hangat menyinari tubuhnya mengingatkanku akan kesan pertama waktu bertemu Isabella.
"Bramudya Ginting dari kelas Ace. Bakatnya di bidang musik tidak tertandingi di Aster Biru. Dia sama sekali tak berminat mengikuti kontes pencarian bakat walaupun banyak yang sudah menyarankan. Bram pernah bilang bahwa lagu-lagunya sakral, tidak untuk dijual," Pak Wodin berkata dengan bangga.
Bram yang sepertinya menyadari kehadiran kami menghentikan nyanyiannya sebelum berdiri dan membungkuk memberi hormat. Aksen daerah asalnya terasa kental saat dia berbicara.
"Salam, Bapak dan Ms….guru baru. Senang sekali bisa bertemu di sini. Saya Bramudya Ginting. Horas!"
"Salam, Bram. Perkenalkan, saya Levita Natsir. Senang bisa bertemu di sini," ujarku sambil membalas salamnya.
Bram kembali memainkan ukulelenya dan menyanyikan sebuah lagu yang sepertinya dibuat untuk menyambutku.
Angin berhembus menyampaikan kabar
Akan datangnya seorang cendikiawan
Dari tempat yang jauh dari awan
Yang sudah kami nantikan
Spontan aku bertepuk tangan. Bagaimana bisa seorang siswa melakukan musikalisasi puisi dalam tempo singkat? Sejauh yang kuingat, siswa-siswa di sekolah tempatku mengajar sebelumnya sudah lupa cara menggubah lagu yang puitis dan indah. Selera musik mereka sudah terkontaminasi lagu-lagu modern yang liriknya kurang bermakna. Tiba-tiba di sini kutemukan siswa yang ternyata sangat berbakat. Sungguh suatu anugerah.
Bram tersenyum dan mengucapkan terimakasih atas tepuk tanganku.
"Bagus sekali, Bram. Belajar bermusik di mana?" Aku bertanya penasaran. Pastilah Bram punya guru musik yang hebat. Atau orang tuanya musisi yang mewariskan bakatnya ke Bram.
"Oh, itu. I think music is my fate, Ms. Natsir. Seolah langit sudah menggariskan bahwa ini jalan hidup saya." Bram menjawab sambil menunjuk ke arah langit.
Aku dan Pak Wodin tertawa mendengar jawaban Bram. Sungguh seorang siswa unik bersuara emas yang tidak akan kesulitan memulai karir di bidang musik kalau dia mau. Semua yang ada di sini seperti tersihir mendengarkan setiap alunan lagunya.
"So gaeeees, ketemu lagi sama I, Verya Van Foulk from kelas Veneer, yang mau reaction buat new song temenqyu, si Brammiee." Tiba-tiba datang seorang siswa wanita membawa tongsis, sepertinya sedang membuat vlog.
Gadis cantik dengan rambut panjang bergelombang berwarna pirang itu asyik bicara dengan gawainya. Bulu matanya yang lentik, alisnya yang tebal bola matanya yang berwarna turquoise dan hidungnya yang mancung luar biasa menawan. Kemungkinan besar Verya berasal dari keluarga blasteran, begitu pikirku.
"Gaeees, ini ada Bigul sama Tigul also. In case pada forget, they are my pacars, okaaay? They akan ikut reaction. Yuuuk my pacars, ikut princess Verya maju mundur syantiiik, syantiiik."
Aku terkekeh. Gaya bicara Verya mengingatkanku akan seorang selebriti. 'Pacar-pacar' Verya yang bernama Bigul dan Tigul ternyata dua ekor kucing Anggora yang mengiringi gadis cantik ini di kanan dan kirinya. Keduanya mengeong manja mengikuti majikan mereka.
"Oh, ada Bapak Wodin? Good morniiing, Bapak Wodin. Gaeees, ada pak Kepsek sekolahkyu also, which is literally Kepsek paling keren se-Lorin, ya khaaaan? Pak Wodinayo ikut re-ac-tion. Oh aaand ada jugaaa, hmmm wait, I belum kenalan sama Miss…." Gadis itu membungkuk memberi salam kepadaku sambil terus nge-vlog.
"Eh…halo. Saya Ms. Levita Natsir, guru baru di sini. Salam...kenal…," Jawabku gelagapan. Aura percaya diri yang terpancar dari Verya benar-benar membuatku nyaris tak bisa berkata apa-apa.
"Coool, guru baru, gaeeees. Eksklusiiif cyuma di vlog I. Brammiie, your new song, well, it's actually good buuut…you know, agak old fesyen ga seeeeh? Ya ngga, gaes? Coba dengerin deh. Like lagu jaman bokap nyokap, ya khaaaan?" Verya kini mengarahkan kameranya ke Bram.
"Laguku ini cuma untuk yang punya selera musik tinggi. Kamu mana ngerti, Bah!" Bram menjawab dengan ekspresi datar.
Aku dan Pak Wodin tertawa melihat tingkah mereka.
"Eh, Brammiie, coba yaaaa kita polling. Gaeees, kalian setuju kan kalo musik Brammie tuh only for orang-orang old? Not cocok for us yang kekinian. Brammieee, bikin music yang modern dikit gitu dooong!" Verya masih saja mengarahkan kameranya ke Bram yang sepertinya mulai kesal karena merasa lagunya diledek.
"Pak Wodin, Ms. Natsir, saya pamit dulu. Bila angin menghendaki kita akan bertemu kembali nanti," Bram memberi salam dan segera berjalan pergi sambil membawa ukulelenya. Verya yang saat itu sedang asyik berbicara sendiri tidak menyadari kepergian Bram dan masih berceloteh riang.
"Lagu yang enak itu harusnya ea-sy lis-te-ning, gitu loch. Don't use lagu gak jelas kluntang kluntung pake ukulele, yang cuma dimengerti sama burung, ya khaaan, Bram…Loh? Eh…kemana dia? Waaaaiit. Bye, Pak Wodin, Ms. Natsir. I will kejar Brammiiiee. Daaah! Brammieeee! Where are youuuuu???" Verya pun meninggalkan kami sambil memanggil-manggil Bram.
"Ahahahaha Verya, siswa paling gaul di sekolah ini. Akun Instagramnya sudah centang biru. Sudah jadi selebgram." Kata Bapak Wodin.
"Selebgram? Waaah, keren sekali. Ternyata banyak yang berbakat jadi artis di sekolah ini." Aku membayangkan betapa kerennya sekolah yang banyak selebriti.
"Verya Van Foulk bisa dibilang adalah salah satu siswi yang juga menjadi ikon Aster Biru. Gayanya yang ceplas ceplos dan selalu ceria membuat suasana menjadi hidup. Semua orang suka berteman dengannya, kecuali Bram yang terkadang menjadi bad mood kalau Verya sedang mengomentari musiknya, ahahahaha. Namun mereka tetap berteman dengan baik," aku menyimak saat Pak Wodin meceritakan tentang Verya sambil membayangkan betapa lucunya suasana apabila Bram yang cool dan cuek berhadapan dengan Verya yang ceplas-ceplos.
"Mari kita lanjutkan tur. Saya yakin nanti kita akan bertemu siswa-siswi lain yang pasti menarik," ajak Pak Wodin.
Aku mengangguk sambil tersenyum sebelum mengikuti beliau. Pertemuan dengan Bram dan Verya tampaknya berhasil sedikit menenangkan pikiranku, walau keraguan belum sepenuhnya hilang. Sepertinya aku akan menyukai sekolah ini, batinku. Semoga…