Chereads / Levita in Lorin / Chapter 8 - The Majestic Lorin

Chapter 8 - The Majestic Lorin

Ruang Kepala Sekolah adalah sebuah ruangan berjendela tunggal di lantai 2 lengkap dengan meja kerja, sejumlah sofa dan aneka ornamen berbentuk tombak yang menghiasi dindingnya. Jendela kaca di ujung ruangan yang sengaja dibiarkan terbuka membuat seisi ruangan diselimuti semilir angin segar. 

"Jadi, kalau boleh saya bertanya, bagaimana jalan-jalan Anda tadi?" Pak Wodin bertanya setelah mempersilahkan aku duduk di salah satu sofa. Beliau sendiri duduk di hadapanku sambil mengatupkan kedua tangannya.

"Saya…awalnya hanya ingin jalan-jalan sedikit, tapi kemudian saya menemukan jalan setapak. Rasa penasaran membawa saya jauh memasuki hutan. Keindahan hutan itu membuat saya terpesona dan tanpa sadar saya sudah berada jauh dari sini," aku menjelaskan.

Pak Wodin hanya menatapku tanpa berkata apa-apa, seolah menunggu penjelasan lebih lanjut.  

"Tiba-tiba di tengah hutan, hujan deras sekali, entah bagaimana bisa begitu. Di tengah hujan deras itu, saya bertemu dengan…" aku berhenti karena melihat raut wajah Pak Wodin yang tiba-tiba tampak cemas. Namun beliau tetap mendengarkan tanpa berkomentar apapun.

"Saya bertemu seorang pemuda dengan seragam sekolah dan jas hujan hitam. Ketika kilat muncul, saya seperti melihat…sesosok serigala." 

Pak Wodin terkesiap dan menutup wajahnya seraya menggelengkan kepala.

"Pak Wodin sepertinya mengenal pemuda itu. Siapa dia, Pak?" Aku langsung bertanya saat melihat ekspresi beliau. 

"Pemuda yang anda lihat itu  adalah Farrel Primodihardjo dari SMU Bara Salju, sekolah yang bertetangga dengan sekolah kita." Bapak Wodin menjelaskan.

"Aaah ya, sekolah itu, menara dan gerbangnya berwarna merah dan bangunan sekolahnya berwarna silver." Aku masih ingat dengan detail sekolah yang kulihat tadi.

Bapak Wodin tidak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Beliau tersentak dan menatapku seolah tak percaya dengan apa yang telah kulakukan.

"Pak Wodin, ada apa?" Aku bertanya.

"Anda….ke sekolah itu?" Pak Wodin akhirnya bersuara.

""Benar.  Pohon tempat saya berteduh tersambar petir, Pak. Saya...panik dan berlari tanpa arah. Itulah bagaimana saya bertemu Farrel dan akhirnya tiba di sekolah tersebut," Aku menjelaskan.

"Kami menyebut hutan itu Regnskog, yang berarti Hutan Hujan. Cuaca di sana memang unik, seperti punya aturannya sendiri. Kadang cerah lalu tiba-tiba hujan dan sebaliknya," Pak Wodin menjelaskan.

"Hmmm, benar juga. Cuaca ketika saya mulai memasuki hutan itu sangatlah cerah, hangat dan menyenangkan, karena itu saya terus berjalan," ujarku sambil mengingat-ingat apa yang kualami barusan. 

"Lalu ketika hujan tiba-tiba turun, apakah itu…saat Anda bertemu Farrel?" 

"Betul, Pak." Tubuhku gemetar saat pertemuan dengan Farrel terlintas kembali di benakku. 

"Baiklah. Singkat cerita anda kemudian menuju ke areal Bara Salju. Sesampainya di sana, apakah Anda bertemu dengan seseorang?" Bapak Wodin sepertinya sudah bisa menerka apa yang terjadi. Apakah beliau bisa membaca pikiranku?

"Saya bertemu dengan…Raden Mas Lukman….Lukman…" Aaargh, ingatanku memang payah. Bagaimana aku bisa jadi guru dengan ingatan lemah seperti ini?

"Raden Mas Lukman Oemar Kurniawan." 

Itukah nama lengkapnya? Aku yakin sekarang Bapak Wodin mengenal siapapun yang berada di SMU Bara Salju.

"Iya. Dia orang yang…aneh. Terus menerus menyeringai. Seringainya terkesan licik dan jahat." Aku tidak tahan untuk menggambarkan bagaimana menyebalkannya bertemu dengan orang seperti itu.

"Dan dia mengatakan sesuatu hal yang aneh. Dia bilang, SMU Aster Biru penuh dengan…magic….yang akan membahayakan saya. Saya minta penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini. Pak Wodin perlu tahu bahwa saya paling tidak suka kebohongan, apalagi kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan pada diri saya karena ini!" 

Ancaman seperti tadi tidak akan meninggalkan kesan pertama yang baik, tapi aku tak peduli. Keselamatanku jauh lebih penting walaupun itu artinya mengorbankan kesempatan untuk kembali bekerja. Respon Pak Wodin sungguh diluar dugaanku. 

"Mengenai hal itu, akan saya jelaskan sepenuhnya," Pak Wodin berkata dengan nada menenangkan sambil tersenyum ramah.

'Silahkan, Pak." Pak Wodin pun memulai kisahnya. 

"Waktu muda, saya adalah seorang backpacker. Saya memutuskan berkeliling dunia karena merasa bosan di daerah asal. Setelah melakukan perjalanan bertahun-tahun, akhirnya sampailah saya di sini. Kota Lorin.

"Lalu saya menemukan tempat ini dan merasa kenyamanan seolah memang disinilah saya seharusnya berada. Sebelumnya tempat ini adalah hutan sampai akhirnya banyak penduduk yang berdatangan untuk menetap. Sekarang hutan hanya ada di sebagian kecil wilayah Lorin, salah satunya adalah Regnskog yang tadi Anda jelajahi.

"Tempat ini penuh dengan keajaiban. Contohnya sekolah ini. Sebelum sekolah ini berdiri, ada sebuah sumur tua yang terdapat di salah satu bagian sekolah ini. Seekor tupai selalu berkeliaran di sekitar sumur tua itu. Tupai yang unik dengan semacam tato menghiasi kulitnya." 

"Tato?" Keningku berkerut mendengar tentang tupai bertato. Benarkah adanya? 

"Ya. Dan anehnya lagi, Saya seperti bisa berkomunikasi dengannya. Dia mengerti apa yang saya katakan, dan sebaliknya." 

Tupai bertato dan bisa berkomunikasi dengan manusia? Kalau aku belum mengalami berbagai kejadian aneh di wilayah ini, pasti sudah kuanggap Pak Wodin hanya mengada-ada. 

"Sumur tua itu juga sangat aneh. Hanya tupai itu dan saya yang bisa melihatnya. Saya menyadari hal ini saat beberapa orang backpacker datang untuk mencari sumber air dan saya menunjuk ke arah sumur tua itu, namun mereka malah menggeleng kebingungan. Mereka tidak bisa melihatnya, hahaha!" Pak Wodin tertawa mengingat kejadian itu. Aku ikut tertawa kecil mendengar kisah yang aneh namun menarik ini. 

"Keajaiban Lorin tidak sampai di situ saja. Selain tupai bertato dan sumur tua, kami di sini rata-rata memiliki kemampuan yang bisa dibilang luar biasa. Beberapa orang bisa membuat benda berat menjadi ringan dan mudah dibawa, beberapa lainnya bisa membuat bangunan dengan hanya menggunakan jari jemari sebagai alat ukur, Sebagian lainnya mampu menyembuhkan luka tanpa bekas sedikitpun.

"Sayangnya karena rendahnya tingkat pendidikan saat itu, kekuatan yang mereka miliki menjadi kurang maksimal. Yang lebih menyedihkan adalah ada orang-orang yang menggunakan kekuatannya untuk berbuat jahat. Jadi saya berpikir untuk membangun sebuah sekolah, supaya semua penduduk di sini bisa mendapatkan pendidikan yang lebih baik,"

Segala keraguan berubah menjadi perasaan takjub setelah mendengar penuturan Pak Wodin. Sosok kepala sekolah yang memiliki tujuan mulia untuk memajukan sebuah wilayah yang penuh keajaiban. 

"Raden Mas Lukman adalah salah satu guru yang mengajar di sini ketika sekolah ini mulai dibuka. Bahkan dia menikah dengan salah satu guru kami juga di sini. Namun terjadi sesuatu hal yang membuatnya memutuskan untuk meninggalkan istrinya dan Aster Biru untuk memulai hidup baru di SMU Bara Salju bersama istri barunya, Raden Roro Anggi R. Boddah." Pak Wodin menggelengkan kepala dengan ekspresi penuh kekecewaan. 

"Oh, jadi orang aneh...maksud saya Raden Mas Lukman dulu mengajar di sini? Waaaah, benar-benar tak disangka. Orang se...ehem…unik itu pernah jadi bagian sekolah ini," ujarku. 

Syukurlah dia tidak mengajar di sini lagi. Bayangkan kalau setiap hari harus melihat seringainya yang menyebalkan.

"Benar. Dia seorang guru ilmu sosial yang bisa dibilang cukup ahli di bidangnya. Sayangnya…," wajah Pak Wodin seketika berubah muram. 

Appppaaa???!!! Raden Mas Lukman adalah guru ilmu…sosial? Ya Tuhan, itu berarti aku menggantikan posisinya di Aster Biru?

Khawatir membuat suasana hati Bapak Wodin menjadi buruk, aku memutuskan untuk mengganti topik pembicaraan. Suasana hatiku pun ikut memburuk kalau membicarakan orang aneh si Raden Mas itu tadi. Apalagi ketika mengetahui bahwa aku mengajar mata pelajaran yang sama seperti yang dia lakukan sebelumnya.

"Hmmm, ngomong-ngomong soal sumur, apakah sumur itu masih ada, Pak?" Tiba-tiba aku teringat soal sumur ajaib.

"Sumur itu...menurut Anda, apakah masih ada?" Bapak Wodin balik bertanya penuh teka teki.

"Ahahaha bagaimana saya tahu kalau saya sendiri tidak bisa melihat sumurnya?" Aku tertawa.

"Benar juga apa yang anda katakan. Jadi, sebenarnya kalau anda penasaran….ya, sumur itu….masih ada…." Bapak Wodin tersenyum.

"Bahkan guru-guru lain pun tidak ada yang bisa melihatnya?" Tanyaku lebih lanjut.

"Benar. Tidak ada yang bisa melihatnya selain saya," Pak Wodin menegaskan.

Fakta ini membuatku menyimpulkan bahwa Bapak Wodin adalah pemilik kekuatan terbesar di Aster Biru, atau bahkan di seluruh Lorin.

"Ngomong-ngomong tentang guru, apakah mereka semua berasal dari Lorin? Lalu bagaimana dengan para siswa dan staff? Apakah mereka juga warga asli Lorin?" Tanyaku.

"Anda benar lagi, Miss Levita. Semua guru, staff dan siswa adalah asli warga Lorin. Hanya anda yang berasal dari luar wilayah Lorin." Demikian Bapak Wodin menjawab pertanyaanku.

Entah aku harus merasa bagaimana mendengar hal ini. Mengapa orang dari luar Lorin seperti aku diundang untuk mengajar di sini?

Seolah bisa membaca pikiranku, Pak Wodin berkata,"Saya jadi ingat sesuatu yang berkaitan dengan para siswa Aster Biru. Saya tahu ini akan terdengar aneh bagi anda, tapi alasan kami merekrut anda selain karena kami belum memiliki guru ilmu sosial, juga untuk menyeimbangkan pola pikir para siswa."

"Sebentar. Apa maksud Bapak?" 

"Para siswa di sini memang hampir semua memiliki kekuatan yang luar biasa. Sayangnya mereka hanya menggunakannya untuk main-main saja. Saya ingin mereka benar-benar menggunakan kelebihan yang mereka miliki untuk membantu siapapun yang membutuhkan. Mungkin kalau mereka melihat sendiri ada seseorang yang tidak memiliki kemampuan seperti mereka, Ms. Levita misalnya, akan timbul rasa peduli sesama. Mungkin suatu saat mereka bisa berkunjung ke dunia Ms. Levita dan membantu orang-orang di sana, dengan cara mereka sendiri. Jadi saya berharap kita bisa bekerja sama dalam hal ini." 

Sekarang aku mengerti kenapa amplop hijau tosca itu dikirimkan kepadaku. Apakah itu berarti selama ini Bapak Wodin, entah bagaimana caranya, memantau kehidupanku? 

"Nah, mari sekarang kita bicara tentang bisnis. Setelah melihat sekolah ini dan lingkungan sekitarnya, apakah anda tetap bersedia menjadi pengajar di Aster Biru? Tentunya nanti anda bisa berjalan-jalan ke tempat-tempat lain di kota ini dengan didampingi Pak Herman kalau Anda mau, supaya tidak tersesat. Kami akan membayar Anda dengan pantas." 

Pak Wodin memperlihatkan selembar kertas bertuliskan  nominal yang membuatku menahan nafas dan mengerjapkan mata berkali-kali. 

"Bagaimana? Anda bersedia?"

"I…ini…apakah ini…tidak terlalu….fantastis?" Aku terperangah.

"Ms. Levita keberatan?" Pak Wodin terheran.

"Bukan…Bukan keberatan. Lebih tepatnya, menurut saya, ini jumlah yang….terlalu berlebihan untuk seorang guru seperti saya yang bahkan tidak memiliki kekuatan apapun," Aku berusaha menjelaskan.

Pak Wodin menatapku dengan serius dan berkata, "Ms. Levita, saya ingin semua guru di sini fokus mengajar dan tidak memikirkan hal lain selama bertugas, jadi semua siswa bisa mendapatkan yang terbaik. Bagaimana Anda bisa mengajar dengan baik kalau Anda masih harus memikirkan bagaimana besok akan makan?" 

Jujur saja, kata-kata Pak Wodin tanpa sadar membuat mataku basah. Rasa pedulinya yang begitu besar sepertinya menyentuh hatiku. 

"Errr….itu…saya sudah terbiasa. Maksud saya tetap fokus mengajar walaupun ada hal lain yang harus saya pikirkan juga." Aku sedikit bingung menjelaskannya.

"Hmmm, bagaimana kalau begini saja. Beri saya masa percobaan tiga bulan. Pak Wodin bisa menilai apakah saya pantas menerima ini semua. Saya harus membuktikan kepada Pak Wodin dan diri saya sendiri bahwa saya memang pantas menerima ini semua. Sementara itu, mohon untuk menghargai saya sewajarnya. Bagaimana menurut Bapak?" Aku mengajukan saran.

Pak Wodin mempertimbangkan selama beberapa saat sebelum akhirnya menjawab sambil tersenyum,"Deal."

Jabatan tangan yang menyusul menandai bahwa aku, Levita Natsir, secara resmi telah menjadi bagian dari SMU Aster Biru. Sebuah sekolah misterius namun penuh keajaiban yang, mulai detik ini, akan menjadi tempatku memulai lembaran kehidupan baru.