Chereads / Levita in Lorin / Chapter 5 - Hammering Justice

Chapter 5 - Hammering Justice

Bapak Wodin melanjutkan membawaku  berkeliling sambil menjelaskan berbagai hal sampai akhirnya kami tiba di sebuah taman yang banyak ditumbuhi aster berwarna biru. Beliau membiarkanku mengagumi keindahan taman selama beberapa saat sebelum kami melewati gerbang kecil yang ternyata terhubung dengan area depan sekolah. Tampaknya tur keliling sekolah sudah berakhir. 

"Jadi, seperti itulah SMU Aster Biru," ujar Pak Wodin. "Apa ada yang ingin Anda tanyakan atau tambahkan?"

Baru saja aku ingin menjawab pertanyaan Bapak Wodin, namun terhenti karena aku mendengar suara seorang wanita berbicara dengan nada tegas.

Di depan sebuah kelas, kulihat seorang siswa bertubuh gagah dan tinggi sedang berdiri dengan wajah tertunduk. Seorang wanita yang kemungkinan besar adalah pemilik suara yang kudengar barusan, sedang memarahi siswa itu. Pak Wodin segera menghampiri mereka saat melihat hal ini. 

"Selamat, Pagi, Ibu Frida. Sepertinya Viktor membuat kehebohan lagi? Betul?" Bapak  menyapa guru yang ternyata bernama Frida. Seorang guru yang terkesan tegas dan cerdas. Lalu siswa di depannya, ternyata dialah Viktor, yang tadi membuat suara menggelegar di salah satu ruangan.

"Selamat Pagi, Bapak Wodin. Seperti biasa, Viktor yang kuat tapi CEROBOH memecahkan SEMUA kaca di ruang latihan panahan. Dan ya, karena Viktor dengan sepenuh hati melatih kemampuannya menggunakan godam. Ya! GODAM! Menghantamkan godam ke lantai ruangan yang efeknya bisa menghancurkan semua yang ada di sana." Ibu Frida memijat pelipisnya saat menjelaskan apa yang terjadi.

"Ini sudah kesekian kalinya kaca-kaca ruangan pecah karena kelakuan Viktor. Sungguh terlalu! Pak Wodin, sepertinya kita harus membuatkan tempat latihan khusus untuk Viktor." Nada suara dan ekspresi wajah Ibu Frida sungguh memberikan kesan tegas. Coba-coba mempermainkan beliau, bisa panjang urusannya.

"Hmmm, kita bicarakan nanti di ruang BP. Viktor, kamu harus ke ruang BP jam istirahat nanti. Sekarang saya ingin memperkenalkan Ms. Levita Natsir, guru baru kita. Ms. Natsir, ini Ibu Frida Gayatri Gusnadi, guru BK," Pak Wodin memperkenalkan kami.

"Salam, Bu Frida. Senang bertemu dengan Anda, " aku membungkuk memberi salam.

"Salam, Ms. Natsir. Welcome to SMU Aster Biru. Semoga Anda tidak kaget dengan kelakuan siswa-siswa di sini yang….ajaib, ahahahaha," Bu Frida tertawa ramah. Berbeda sekali dengan kesannya beberapa menit yang lalu. Rambut Bu Frida yang berwarna merah bergelombang membuatku terpesona, sementara  kecerdasan dan kebijaksanaan terpancar dari kedua matanya. 

"Dan ini Viktor Trufanggar dari kelas Ace. Salah satu atlet andalan Aster Biru untuk cabang tolak peluru," Pak Wodin memperkenalkan Viktor dengan bangga.

"Yang sering memecahkan kaca dan menghancurkan lantai ruang-ruang latihan olahraga sehingga sekolah ini harus sering memanggil tukang untuk perbaikan." Bu Frida menambahkan.

Aku tersenyum mendengar bagaimana kontrasnya Pak Wodin dan Bu Frida memperkenalkan Viktor.

"Salam, Ms. Natsir," Viktor yang tinggi menjulang membungkuk memberi hormat.

"Salam, Viktor. Senang bisa bertemu dengan atlet Aster Biru," balasku. 

"Baiklah kalau begitu. Sebentar lagi jam pelajaran dimulai. Bagaimana kalau kita ke ruang guru? Saya akan memperkenalkan Anda dengan staf pengajar Aster Biru lainnya. Untuk Bu Frida dan Viktor, kita bertemu nanti saat jam istirahat di ruang BP untuk membahas lebih lanjut masalah ini." Pak  Wodin membungkuk memberi salam sebelum melangkah meninggalkan mereka berdua; diriku menyusul tak jauh di belakang beliau. 

Saat itu, area sekolah mulai dipadati murid yang berdatangan. Aku tak kuasa menahan senyum tipis saat melihat pemandangan yang, harus kuakui, memang menyejukkan hati ini. 

Sekelompok siswi bergerombol tak jauh dariku sambil berbisik-bisik dengan mata berbinar. Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyadari apa yang membuat mereka sangat senang. Seorang siswa tampan sedang berjalan dengan langkah tegap dan percaya diri. Rambut pirang, mata hijau terang, kulit putih bercahaya dan senyum yang membuat waktu seolah melambat. Sungguh aku pun terpesona dengan kharismanya. 

"Hmmm, Pak Wodin, boleh saya ke WC lagi? Sepertinya saya harus…mencuci muka," Aku berhenti menatap siswa kharismatik itu dan merasa harus sedikit menyegarkan diri.

"Oh, tentu. Silakan. Saya tunggu di depan ruangan saya, oke?" Bapak Wodin mempersilahkanku. Tanpa membuang waktu aku segera berlari menuju ke WC. 

Saat tiba disana, aku justru disambut pemandangan sepasang siswi yang  sedang berdebat sengit. Suara mereka terdengar cukup keras sehingga aku bisa menangkap apa sumber perselisihan mereka. 

"Udah lo ngaku aja deh! Lo kan yang ambil manicure set gue?" seorang siswa wanita berteriak marah kepada…Verya? Itu Verya? Si selebgram?

"Aduuuh, beb. You yang bener aja deeeh. I punya selusin manicure set, you know khaan? Masa' I ambil punya you? Gak lah yaaaa!" Verya tersinggung dituduh mencuri.

"Trus gimana bisa ini ada di bawah meja lo, HAH?! Lo emang punya banyak manicure set, tapi siapa tau lo pengen punya yg limited edition keluaran Dior punya gue kan?" Kuperhatikan siswa wanita berdandanan medok itu kembali menuduh Verya.

"Ya mana I tauuu itu manicure set how come ada di kolong meja I? Trus merk Dior? Ulalaaaa, I punya tiga yang merk Dior, dua merk Louis Vuitton, empat merk Burberry, satunya lagi merk Hermes. Yang satu itu juga I buang karena I gak suka merknya." Verya mengibaskan rambut pirangnya. Mulai marah.

"Hey, kalian nggak masuk kelas?" seorang siswa yang sepertinya cukup lama memperhatikan perdebatan Verya dan temannya bertanya sambil berjalan menghampiri mereka. 

Waaaah, satu lagi siswa yang kegantengannya bisa dibilang seperti orang Skandinavia. Rahang yang tegas, mata yang menjorok ke dalam, kulit putih, kumis tipisnya mulai tumbuh. Tubuhnya yang tegap berisi ditambah suaranya yang nge-bass memberikan kesan berwibawa.

"Eh, gausah ikut campur urusan cewek deh. Lagian lo ngapain ke depan toilet cewek?" lawan bicara Verya bertanya ketus. 

"Hmmm, gue di sini karena mencium sesuatu yang harus dicari kebenarannya." jawab siswa lelaki itu, masih dengan nada suaranya yang tenang.

"Abang Thomaaas, coba yaaaa, I DI-TU-DUH nyuri manicure set punya si Bora nih. Helllo, cewek tersyantiq selebgram terhits buat apaaa nyuri manicure set?" Verya menatap tajam siswi yang ternyata bernama Bora itu. 

"Manicure set gue ada di kolong meja Verya. Trus dia ga mau ngaku kalo dia yang nyuri. Selebgram tukang bohong!" Bora makin menjadi.

"Kapan lo kehilangan manicure set lo?" Tanya Thomas.

"Tadi pagi masih ada. Pas gue buka tas gue, udah ngga ada. Trus tau-tau gue temuin di kolong meja Verya," jawab Bora.

"Hmmm, coba kita ke kelas. Kita tanya anak-anak,ada ngga yang lihat Verya ngambil manicure set punya lo," ujar Thomas.

Verya dan Bora mengikuti Thomas ke kelas. Akupun mengikuti mereka. Saking sengitnya suasana, sampai-sampai mereka tidak sadar kalau aku ada di sana. Aku penasaran bagaimana akhir kasus ini.

Setelah mengambil posisi di depan kelas, Thomas berkata untuk mengambil perhatian semua orang.

"Ehem, Guuuuys, coba tolong perhatiannya sebentar. Gue punya pertanyaan. Tadi ada yang lihat Very ngambil manicure set punya Bora?" Thomas berkata. Sungguh berwibawa sampai-sampai semua siswa di kelas memperhatikannya.

Terdengar kasak kusuk para siswa. Hah? Verya ngambil manicure set Bora? Ngapain? Ooooh Verya cantik-cantik klepto ya. Ih ati-ati deh kalo gitu sama dia.

"Guys, please, kalo ada yang mau jawab, satu-satu.  Yang kenceng. Jangan bisik-bisik. Kita bukan lagi mau ngegosip." Thomas berkata dengan sorot mata tajam.

"Eh, itu, mmmm, gue sih dari tadi pagi dateng belom liat Verya masuk kelas. Kan dia biasanya emang keliling sekolah dulu buat nge-vlog. Jadi gue rasa Verya gak ngambil deh," kata salah seorang siswa putri.

"Ya kan bisa aja dia masuk kelas pas lo lagi meleng atau lagi keluar kelas. Emang lo sebagian ada di dalam kelas terus?" sahut Bora.

"Mmm, nggak sih. Gue tadi sempet ke kantin bentar. Tapi Verya kan emang ga biasa masuk ke kelas pagi-pagi. Jadi gue pikir…" siswa putri itu masih membela Verya.

"OK, makasih keterangannya. Kita masih belum nemu jawabannya, jadi jangan main tuduh. Yang lain ada yang mau memberi kesaksian?"

Tiba-tiba seorang siswa laki-laki masuk ke dalam ruangan. Tangannya penuh dengan jajanan. Corndog, burger, french fries, dan nasi kuning yang dikemas di dalam mika plastik. Tidak heran tubuhnya gempal berisi.

"Eh, Bora, tadi gue liat ada yang jatoh dari dalam tas lo. Ga tau apaan. Tas lo bolong kali tuh. coba cek deh. Gue udah ngejar-ngejar lo dari tadi mau bilang, lo nya langsung ngibrit kenceng banget. Tau sendiri gue gendut. Engap ngejar-ngejar lo, "siswa itu berkata.

"Ehem, ada Verya. Halooo Veryaaaa. Kok cemberut siiih. Kenapa? Mau Corndog? Nih." Siswa itu tersenyum kepada Verya.

"I lagi ga nafsu makan! Why? Karena I di-tu-duh maling!" Verya berkata sambil menatap tajam Bora.

"Sudah sudah. Tenang. Bora, coba cek tas lo, bener ngga tuh ada yang bolong? Jangan-jangan manicure set lo jatoh ke kolong meja Verya karena bolong." Kata Thomas.

"Oh kayaknya iya deh. Lo kan tadi emang lewat depan meja Verya kan? Trus yang jatoh dari tas lo tuh bentuknya oval gitu. Naaaaah kayak gitu tuh, persis." Siswa yang hobi jajan itu menunjuk sesuatu di tangan Bora. Manicure set Bora.

Bora berlari ke mejanya dan segera mengecek tasnya. Ternyata benar. Ada lubang di bagian bawah tas Bora. Bora terdiam. Tak percaya.

"Nah, udah jelas ya sekarang. Bukan Verya yang ambil manicure set lo, karena nggak ada saksi. Trus di Otar juga bilang kalo dia lihat manicure set lo jatoh dari dalam tas lo yang berlubang. Lo udah lihat sendiri ya, semua yang di sini juga lihat sekarang, tas lo berlubang. So, case closed. Gue harap lo minta maaf sama Verya." Thomas berkata. Lebih seperti perintah daripada sebuah saran.

Bora berusaha dengan amat sangat menyembunyikan rasa malunya. Setelah ketenangannya kembali , dia pun berjalan dengan angkuh ke arah Verya.

"Sorry," Bora berkata singkat dengan ekspresi sinis, lalu berjalan ke luar kelas tanpa menunggu jawaban Verya.

Seketika terjadi kasak kusuk lagi di dalam kelas.

"Abang Thomaaaaas, you kereeeen deeeh. Makasih yaaach udah nyelametin I. Karena Abang Thomas, reputasi I sebagai princess tersyantiq selebgram terhits jadi amaaaaan. Uwuuu bangeeet, Abaaang panutan I!" Verya menjulurkan tangannya seperti ingin memeluk Thomas. Terlihat sangat menggemaskan. Kedua kucing Verya mengeong dan mengeluskan kepala mereka ke kaki Thomas dengan manja. 

Wajah Thomas sedikit memerah dibalik ekspresi tenangnya. Mungkin salah tingkah karena dipuji seorang selebgram di depan banyak orang.

"Otaaar, nanti you I traktirrr makan yang banyak. What do you want to eat? Steak? Spaghetti? Nasi goreng? Mie ayam? Nasi tumpeng? Nasi Padang? Pizza lima meter? Bakso? Semuaaa freee for you. Maacih yaaaaach udah bersaksiii. Mulai sekarang kamoooh jadi best friend I," Verya berkata ceria sambil mengklaim bahwa Otar adalah best friendnya.

"Asiiiik. Beneran traktir yaaaa. Yang ini aku habisin dulu, heheee." Lalu Otar segera berlari, duduk di kursinya, lalu mulai menghabiskan makanan yang dia bawa.

Thomas yang merasa bahwa situasi sudah terkendali baru saja akan meninggalkan kelas, namun Verya menghentikannya.

"Eits, Abang keren, wait doooong. Kita nge-vlog dulu, okeeeh. Lihat sini, Bang. Haaaai, gaaaaes. Astagaaaa barusan ada kejadian keren banget, gaaaes. I dituduh mencuriiii. Tapiii, tenang gaes. Untung ada Abang Thomas, teman I yang problem solver banget,gaeees. Doi berhasil membuktikan bahwa I, princess Verya Van Foulk yang tersyantiq, bukan pencuriii. Nih liat orangnya, gaes. Ganteng khaaaan?" Verya dengan sigap menahan Thomas untuk pergi dan mulai menyalakan kameranya.

"No worries. That's what I'm here for," Thomas berkata sambil melangkah keluar kelas.

Kejadian ini sungguh berkesan buatku. Kalau tidak ada siswa bernama Thomas yang datang menengahi Verya dan Bora, aku yakin kejadian ini akan membesar tanpa ada penyelesaian. Thomas ternyata sudah menampakkan tanda-tanda kecerdasan dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan masalah. Pasti dia akan jadi salah satu murid kebanggaan SMU Aster Biru kelak. 

Masalah selesai, aku kembali ke tujuan awalku: WC. Ah tapi sepertinya aku sudah tidak perlu ke toilet lagi. Efek siswa ganteng di kepalaku sudah hilang karena melihat kejadian barusan. Aku bergegas menuju ruangan Pak Wodin sambil memarahi diriku sendiri karena telah membuat beliau menunggu. 

Pak Wodin sedang berbincang dengan seorang wanita yang sepertinya juga seorang guru saat aku tiba di depan sebuah pintu. Beliau menoleh saat menyadari kedatanganku dan langsung menghentikan perbincangannya. 

"Pak Wodin, maaf sudah menunggu lama." ujarku sambil tersenyum kikuk.

"Apa ada masalah, Ms. Natsir?" Pak Wodin bertanya dengan raut wajah penasaran.

"Emmm, well, nggak ada masalah dengan saya sih, Pak. Hanya tadi…tidak, Pak. Tidak apa-apa." 

Kuputuskan untuk tidak memberitahu apa yang baru kusaksikan sebelumnya. Menjadi pengadu di hari pertama bukanlah suatu hal bijak, walaupun itu mungkin langkah yang benar untuk dilakukan. 

"Hmmm, sepertinya ada sesuatu, tapi kalau Anda tidak mau membicarakan itu, baiklah, Saya tidak akan memaksa," ujar Pak Wodin.

Aku melirik ke arah lawan bicara Pak Wodin; seorang wanita dengan rambut panjang hitam dan dikepang rapi. Cara berpakaiannya yang rapi dan modis menandakan bahwa beliau adalah seseorang yang keibuan dan mengerti fashion. Aku tersenyum kepadanya dan dia balas tersenyum kepadaku dengan ramah.

"Ow ya, Ms. Levita, perkenalkan ini Ms. Gyna Sriwardhani, Guru Math and Science di SMU Aster Biru. Ms. Gyna, perkenalkan ini Ms. Levita Natsir, guru baru kita." Bapak Wodin memperkenalkan kami.

Aku membungkuk memberi salam,"Salam, Ms. Sriwardhani. Saya Levita Natsir. Senang bertemu dengan Anda."

"Salam, Ms. Levita. Panggil saja saya Ms. Gyna. Senang berkenalan dengan Anda." Senyum keibuan Ms. Gyna langsung membuat hatiku terasa hangat dan tenang. Aku yakin Ms. Gyna akan menjadi salah satu guru panutanku di SMU Aster Biru.

"Mari kita ke ruang guru. Saya akan memperkenalkan Ms. Levita dengan para pengajar lain di SMU Aster Biru. Ms. Gyna, mari ikut kami," Pak Wodin memimpinku dan Ms. Gyna  menuju ruang guru.

Aku tak sabar ingin bertemu dengan para rekan kerjaku. Semoga kami bisa bekerja sama dengan baik, bahkan mungkin menjalin pertemanan.