CRANG!
Seketika Indy bangun dari tidurnya saat suara banter itu menyapa. Indy heran di mana ia berada sekarang. Tempat ini begitu gelap. Padahal sebelum tidur Indy ingat betul bahwa ia menghidupkan lampunya.
"Emph!"
Kemudian Indy mengucek matanya dan berusaha menelisik di dalam kegelapan. Hinga matanya menangkap sebuah bayangan yang terasa begitu dekat. Indy sontak bangkit dan duduk di atas tilam tiga kakinya. Sebisa mungkin Indy mencari tahu apa yang terjadi.
"Hei! Apa ada orang di sini?" pekik Indy sambil memanjangkan leher.
Lalu terdengarlah derap langkah kaki dari kamarnya menuju ruang tengah. Tak perlu banyak berpikir lagi. Dapat dipastikan bahwa bayangan tadi adalah sesosok manusia. Indy buru-buru berdiri dan mencari saklar lampu. Begitu dihidupkan, barulah nampak jika pintu kamar Indy telah ternganga lebar. Pun, ada sebuah guci yang pecah di depan lemari.
Indy beringsut guna meraih guci yang selama ini ia jadikan tempat menyimpan uang. Perempuan itu kalang-kabut, karena tidak ada apapun di sana. Gegas Indy ke luar kamar dan tampaklah pintu dapur yang terbuka.
Nyes!
Sekujur tubuh Indy langsung lemas ketika menyadari bahwa rumahnya telah kemalingan. Indy bersimpuh di lantai sebelum pada akhirnya ia mengobrak-abrik isi lemari.
"Uangku! Uangku ke mana? Apa uangku udah dibawa kabur sama maling sialan itu?" Indy kian panik saja.
Selama ini Indy memang menyimpan sisa uanggnya senilai satu juta di guji yang terdapat di dalam lemari pakaian. Siapa sangka jika maling tersebut mampu membuka benda kayu itu dan mengambil isi dalamnya. Barangkali orang itu tak sengaja menyenggol gucinya hingga jatuh, lalu membuat Indy terbangun.
"Gimana aku mau makan kalau begini? Aish!" Indy meremas rambutnya sendiri.
Ia tak lagi melihat maling tersebut pertanda bawa sosok itu sudah enyah dari kediaman Indy. Perasaannya hancur lebur. Kini, Indy tidak memiliki apapun, bahkan uang makan sehari-hari pun ikut ranap
Musibah silih berganti menghampirinya. Mulai dari ditinggal Dito, ditipu Gilang, butiknya kebaran hingga kemalingan. Semua menyerang Indy dalam kurun waktu yang singkat. Membuat wanita yang dulunya hedon itu menjadi seorang gembel dan kembali ke wujud aslinya, yakni karyawan sebuah toko.
Indy terisak tiada henti, hingga tanpa sadar kokokan ayam jantan menembus telinga.
Pagi ini berbeda dengan hari-hari kemarin. Indy berjalan sempoyongan sehabis turun dari angkutan umum menuju toko kelontong milik Lusi. Dia hanya tersenyum sekilas pada orang yang berada di sana. Biasanya Indy akan menyapa penuh riang, bahkan jika belum ada pengunjung Indy akan membicarakan banyak hal dengan mereka.
Indy mulai menyusun barang-barang yang berantakan akibat tangan pengunjung toko. Dia sampai tidak sarapan saking galaunya.
Wanita malang itu sempat beberapa kali mual-mual akibat perut yang kosong dan terus bekerja. Indy juga bolak-balik berhenti dan duduk di lantai. Ketika dia terus melakukan hal itu, Lusi yang sejak tadi memerhatikannya mulai mengambil tindakan. Lusi curiga telah terjadi sesuatu dengan diri Indy, karena perangai yang tak seperti biasanya. Bahkan, saat ini Lusi menduga kalau Indy tengah mengandung.
"Indy. Kamu kenapa?" tanya Lusi yang tiba-tiba saja menghampiri Indy.
Indy terkesiap, lalu mencoba tersenyum ke arah lawan bicaranya. "Gak apa-apa, Mba," katanya tak ingin memperpanjang cerita.
"Jangan bohong! Kamu beda banget hari ini,"
"Beda gimana?"
"Kamu pucat terus bolak-balik mual. Kamu hamil, ya?"
Perkataan Lusi bagaikan peluru yang menghunus jantung Indy hingga robek. Indy sudah lama tidak melakukan hubungan badan, jadi mana mungkin kalau dia sampai mengandung. Karena khawatir dengan pikiran buruk Lusi yang pada akhirnya akan menyebar ke orang lain, maka Indy pun memutuskan untuk menceritakan nasib sialnya.
Indy membiarkan beberapa barang yang belum tersusun itu, lalu duduk di lantai. Lusi pun langsung mengikuti pergerakan karyawannya itu.
"Bukan, Mba. Tadi malam rumahku kemalingan," ucap Indy seraya menundukkan kepala.
"Loh, kok bisa?"
"Aku gak tahu, Mba. Tiba-tiba aja lampu kamarku yang semula terang jadi gelap. Aku dengar suara pecahan kaca dan aku juga lihat bayang-bayang manusia. Waktu aku hidupin lampu orang itu udah pergi dan pintu dapurku juga terbuka." Indy setengah hati membagikan kisahnya.
"Ya, ampun! Jadi, apa yang hilang dari rumah itu?"
Indy menarik napas sebelum ia menjawab pertanyaan Lusi. "Uang sebesar satu juta rupiah, Mba. Aku pusing. Sekarang aku gak punya apa-apa lagi, bahkan untuk makan pun aku gak mampu. Hiks hiks hiks,"
Cairan kristal mendadak luruh dan dari mata dan bertengger di pipi Indy. Ia menangis dengan tulus akibat meratapi nasibnya yang malang. Kini Lusi mengerti mengapa salah satu pekerjanya begitu berbeda hari ini.
"Kamu udah sarapan?"
"Engga, Mba. Makanya aku masuk angin sekarang,"
"Kamu punya uang untuk beli nasi?"
"Punya, Mba,"
Indy meraba saku celananya dan menunjukkan uang sebesar 20 ribu pada Lusi. Perempuan itu jadi iba dengan musibah yang menimpa Indy. Meskipun Lusi memiliki harta berlimpah semenjak membuka usaha, tapi dia juga pernah merasakan apa yang Indy rasa. Lusi paham betul bagaimana hidup dalam kesusahan.
"Tunggu di sini!" kata Lusi, kemudian meninggalkan Indy.
Tak berapa lama kemudian Lusi kembali hadir dan menyerahkan lima lembar kertas bewarna merah pada Indy.
"Mba turut berduka cita, ya. Ini buat kamu. Semoga dapat membantu," katanya.
Indy menyorot uang tersebut dan menatap wajah Lusi. Dia sangat bersyukur, karena masih ada orang yang peduli dengannya.
"Gak usah, Mba. Mba udah baik banget ngasih aku pekerjaan. Musibah ini biar aku yang tanggung sendiri." Indy menampilkan kedua telapak tangannya sebagai isyarat bahwa ia menolak bantuan Lusi.
"Eh, jangan sungkan begitu! Mba ikhlas, malah Mba bakal kecewa kalau kamu tolak,"
"Tapi aku gak enak, Mba,"
"Gak apa-apa. Anggap aja ini pertolongan Tuhan buat kamu, ya!"
"Mba gak keberatan?"
"Ya, enggaklah, Indy!"
"Kalau gitu makasih banyak ya, Mba. Aku bakal gunain uang ini dengan baik,"
Indy malu-malu meraih uang tersebut dari tangan bosnya. Di samping itu dia juga merasa bahagia, karena pemberian Lusi dapat ia gunakan untuk kebutuhan sehari-hari.
"Iya. Jangan simpan uang kamu di tempat yang sama, ya!"
"Iya, Mba,"
Lusi pun meninggalkan Indy sesudah memberikan bala bantuan padanya.
***
"Mas. Temeni aku beli laptop, yuk!" seru Ira ketika melihat suaminya menonton televisi.
Dito melongo dan detik berikutnya ia memelankan volume televisi tersebut. "Laptop kamu mana?"
"Kan, Mas sendiri yang bilang kalau bulan ini mau beliin aku laptop, soalnya yang lama udah rusak parah, Mas,"
Dito mencoba mengingat-ingat janji yang pernah ia ucapkan pada Ira. Begitu mengingatnya, Dito membatin dalam hati. Bagaimana dia hendak membelikan Ira laptop sementara uangnya sudah habis puluhan juta untuk membawa Lusi jalan-jalan beberapa hari lalu.
"Mas lagi pusing, Sayang. Kamu pergi sendirian aja, ya. Nanti Mas transfer lima juta buat beli laptop,"
"Apa, Mas? Lima juta?"
Ira terperangah mendengar ucapan Dito. Padahal selama ini mereka tidak pernah membeli benda apapun di bawah harga 10 juta. Ira merasa ada yang tidak beres. Kemarin Dito menolak untuk mengganti mobil baru dan sekarang ia hanya memberi Ira uang senilai lima juta untuk membeli laptop. Ke mana perginya uang laki-laki itu?
***
Bersambung