Dito yang sudah paham maksud Ira tetap saja berpura-pura bodoh. Sekarang dia harus berhemat untuk memenuhi kebutuhan Lusi. Kalau dulu sangat mudah bagi Dito untuk memberi Indy uang yang sama persis nominalnya dengan Ira, jadi perempuan itu tak pernah curiga. Setelah cafenya pernah mengalami colap, penghasilan Dito jadi berkurang beberapa persen. Tentu saja ia harus lebih sayang mengeluarkan hartanya.
"Ira, mulai sekarang kita harus hemat, ya! Semua ini untuk tabungan masa tua kita," katanya berdalih.
"Tapi 300 ribu ini gak cukup buat belanja bulanan, Mas. Cabe merah aja sekarang mahal banget. Belum lagi perlengkapan mandi dan lainnya."
Ada kemungkinan jika pemberian Dito hanya cukup untuk membayar listrik perbulan saja. Tidak mengapa jika suaminya itu hendak berhemat, justru itu akan lebih baik. Sayangnya, bukan hemat tapi Dito terkesan lebih pelit.
"Ya, kalau begitu jangan belanja bulanan, Ira. Harian aja. Cukup, kan?"
"Pasti aku bakal sering minta uang ke kamu, Mas."
"Jangan selalu juga dong! Bisa bangkrut aku lama-lama, Ira. Pokoknya kamu harus lebih pintar mengatur rumah tangga ini."
Dito berlalu begitu saja meninggalkan istrinya yang termenung di beranda rumah. Dia tidak mau tahu bagaimana nasib Ira, karena dirinya kerap makan di luar. Paling tidak dia bisa meminta masakan Lusi, ketimbang harus makan seadanya.
"Mas Dito kok jadi pelit gini, sih? Kayak ada yang gak beres," batin Ira.
Ia pun memilih duduk di kursi sambil memikirkan bagaimana caranya membagi uang 300 ribu tersebut. Sampai angin malam menusuk tulangnya, barulah ia memilih kembali masuk.
Saat tiba di bilik, Ira mendengar suara orang muntah di kamar mandi. Ia langsung menuju ke sana dan mendapati suaminya sendiri.
"Mas, kenapa?" Ira membulatkan mata.
Tidak tahu apa yang terjadi dengan lelaki itu selagi Ira berada di luar tadi. Ia pun turut memijat leher Dito guna melancarkan kegiatannya.
"Cuci mulut dulu, Mas!" seru Ira.
Dia memapah Dito supaya duduk di ranjang dan memberikan segelas air hangat. Sebelumnya Ira melihat kalau Dito baik-baik saja dan tidak ada tanda-tanda akan sakit.
"Kamu kenapa, Mas?" tanyanya lagi memastikan.
Dito mengusap kawasan bibirnya, lalu berseru, "Duh! Gak tahu, nih. Tiba-tiba aja perutku mual banget. Kayaknya masuk angin."
"Kamu kan udah makan."
"Ya, mana aku tahu, Ira."
Dito menggeser tubuhnya agar lebih tenang. Sebenarnya lelaki itu sudah merasa kurang enak badan sejak siang tadi. Hanya saja ia tak mengatakannya pada siapapun termasuk Ira.
Besoknya kondisi Dito kian memburuk. Ia bolak-balik muntah dan tak mampu beranjak dari kasur, sehingga Ira harus turun tangan membereskan kotoran milik suaminya di sana. Untung saja persediaan obat di rumah masih ada. Jadi, Ira tak perlu mengeluarkan uang 300 ribu yang diberikan Dito untuk keperluan rumah tangga mereka.
"Mas gak usah kerja dulu, ya! Istirahat aja," ucap Ira sambil membantu suaminya makan.
Dito berdehem dan menerima suapan bubur dari Ira. Ia sendrii tidak tahu kenapa bisa demam seperti sekarang. Barangkali Dito terpapar debu jalanan, sehingga membuat kesehatannya terganggu.
"Mas. Aku pergi ke pasar dulu, ya. Kamu gak apa-apa ditinggal, kan?"
"Ya, sudah."
Sejujurnya Ira tidak tega membiarkan suaminya seorang diri di rumah, sementara kondisinya seperti itu. Namun, bahan makanan mereka sudah habis dan mau tak mau Ira wajib menyetoknya kembali.
Ira melangkah ragu dan sesekali menoleh ke belakang. Ia mendapati Dito yang ikut meliriknya dengan ekspresi datar.
Setelah kepergian Ira, pria itu buru-buru mengecek Handphone dan menghubungi Lusi. Ia harus memberi kabar, jika dirinya selama beberapa hari ke depan belum bisa menemui sang pacar.
Lusi yang mendapat kabar duka tersebut tentu saja bersedih. Biasanya selalu ada Dito yang mendengarkan segala ocehannya tentang kegiatan sehari-hari.
Wanita yang penasaran dengan keadaan Dito tersebut menawarkan diri untuk menjenguknya. Dito senang, meski di sisi lain ia khawatir pada Ira.
Namun, Lusi mengatakan bahwa ia mampu mengolah situasi supaya Ira nantinya tak akan menaruh curiga. Karena itulah Dito pun mengizinkan Lusi untuk bertandang ke kediamannya.
Sekarang perempuan bersurai panjang itu sudah tiba di rumah Dito. Ia meminta agar Dito turun saja ke ruang tengah dan pintu depan wajib terbuka. Hal itu berguna agar Ira yang nanti melihat keduanya tak akan curiga.
Berhubung Ira belum sampai, jadi mereka memanfaatkan waktu untuk bermesraan. Lusi memangku Dito di pahanya sambil mengelus dahi panas lelaki tersebut.
"Kenapa bisa demam begini sih, Mas?" katanya khawatir.
"Mas juga gak tahu, Sayang. Ya, emang sih siangnya Mas merasa kurang fit."
"Kamu udah minum obat, kan?"
"Sudah. Ira yang ngasih obatnya tadi."
Lusi terus saja memanjakan Dito dengan segala sentuhan lembutnya. Mereka bermesraan sampai melihat seorang wanita tunggang-langgang membawa sebuah keranjang sayur di depan pagar.
"Eh! Si Ira udah pulang," tukas Lusi dan langsung menjauhkan diri dari Dito.
Keduanya saling membenahi penampilan dan menanti kedatangan Ira di hadapan mereka.
"Ira!"
Lusi menjadi orang pertama yang duluan ngacir.
Melihat kehadiran teman lamanya yang tanpa diundang membuat benak Ira bertanya-tanya. Ia begitu terkejut, karena setelah pertemuannya di toko Lusi, mereka tak pernah berkomunikasi lagi.
"Loh, Lusi?? Kamu sejak kapan ada di sini?" Ira menjatuhkan keranjangnya dan mengobrol dengan Lusi dia ambang pintu.
"Aku sampai lima menit yang lalu. Aku disambut suami kamu, katanya kamu lagi gak di rumah. Jadi, aku tunggu aja, deh."
Ira melongo ke arah Dito, sedangkan suaminya itu berpura-pura cuek dengan menyandarkan tubuh di kepala sofa.
"Kamu tahu rumah ini dari mana?"
"Wah! Kamu lupa? Kan, kamu pernah kasih alamatnya waktu kita ketemu pertama kali."
"Masak, sih?"
"Iya, Ira. Ah, kamu masih muda kok udah pikun. Hahaha."
Lusi memaksakan tawanya supaya menggelegar, sehingga terkesan serius. Sesungguhnya Ira tak pernah memberitahu alamatnya dengan detail saat perjumpaan pertama mereka. Dia mendapatkan rumah itu tanpa salah, karena Ditolah yang memandu.
Ira sejenak berpikir. Mungkin saja ia yang sudah lupa seperti apa yang dikatakan oleh temannya tersebut. Kemudian, ia pun meminta supaya Lusi kembali masuk.
"Mas, masih mau di sini?" tanya Ira pada Dito.
"Karena sudah ada kamu, jadi Mas balik aja ke kamar."
Dito pun tak ingin ketinggalan. Ia berlagak seolah tidak terlalu memedulikan Lusi dam memilih kembali ke peraduan. Dito dibantu oleh Ira untuk berjalan. Sebelum benar-benar meninggalkan Lusi, Dito menoleh ke belakang dan mengerlingkan sebelah matanya.
"Cepat atau lambat suamimu bakal jadi suamiku juga, Ira. Aku sudah mulai nyaman dengan Mas Dito dan jangan salahkan aku, karena semua ini dialah yang memulai." Lusi berbisik pada dirinya sendiri seraya menyaksikan kepergian Ira beserta suami ke tempat lain.
***
Bersambung