Kedua wanita itu menghabiskan banyak percakapan. Ira juga sudah menyuguhkan camilan serta minuman sebagai teman ngobrol mereka. Kini, saatnya bagi Lusi untuk mengutarakan keinginan hatinya. Sejak tadi ia telah menyimpan kalimat tersebut di kerongkongan.
"Ira, apa boleh aku nginap di rumah kamu?" taanyanya penuh sopan.
"Nginap?"
"Iya."
Lusi tetap ingin selalu mengawasi kondisi Dito, meskipun tidak secara langsung. Yang penting dia bisa melihat perkembangannya di rumah tersebut.
Ira menjungkitkan sepasang alisnya. Bertanya-tanya dalam benak tentang sesuatu apa yang membuat temannya ingin bermukim di sana.
"Aduh, gimana ya?" Ira menjeda ucapan.
"Aku masih pengen sama kamu, Ira. Boleh, kan?"
Kejadian beberapa bulan lalu pun kembali terbayang. Ira masih ingat betul bagaimana awal mula kedatangan Indy yang mengaku sebagai Tini, kemudian menghancurkan rumah tangganya perlahan-lahan. Oleh karenanya, Ira tak akan sudi kalau peristiwa itu kembali terjadi dengan hadirnya sosok lain di rumah mereka. Walaupun Ira memang mengenal Lusi, tapi belum tentu perempuan itu berbeda seperti Indy.
"Maaf ya, Lus. Bukannya aku nolak kamu. Aku trauma banget bawa wanita lain di rumah ini," kata Ira berterus terang.
"Maksudnya, Ra?"
"Jadi dulu aku pernah izinin seseorang buat menetap di rumah kami. Sayangnya, lambat laun dia malah jadi bringas dan pelan-pelan merebut Mas Dito dari tanganku. Rumah tangga kami waktu itu nyaris hancur, Lus."
Ira tak segan-segan membongkar rahasia dapurnya sendiri terhadap Lusi. Semua ini karena ia tidak punya pilihan lain. Lagipula, Ira berharap kalau Lusi akan memakluminya dan tidak berpikir bahwa ia tengah menyombongkan diri dengan menolak seseorang untuk bertempat di kediamannya barang sesaat.
"Hah, Mas Dito pernah selingkuh?" Lusi kaget bukan main.
Ia sempat tersinggung dengan perkataan Ira, karena sejatinya ia juga telah merebut Dito dari istri sahnya tersebut. Namun, ia juga kaget ketika mendapati Dito pernah berkhianat sebelum mengenal dirinya. Kini, Lusi sadar bahwa Dito memang seorang pemain cinta. Tandanya Lusi bukanlah wanita pertama setelah Ira. Tiba-tiba saja perasaan takut dikhianati muncul, karena Lusi memang mulai nyaman dengan pria itu. Bukan karena hartanya saja, tapi dirinya memang menemukan pengganti sang suami di diri Dito.
"Pernah, Lus. Awalnya Mas Dito yang bawa perempuan itu ke sini dan meyakinkan aku kalau dia cuma pembantu kami. Eh, tau-tau ujungnya aku yang disiksa mereka. Aku dijadikan babu di rumah suamiku sendiri. Ya, kalau dipikir-pikir aku ini istri rasa pembantu."
"Kenapa kamu masih mau sama Mas Dito?"
"Semua ini karena mertuaku, Lus. Lagian, aku juga masih sayang sama Mas Dito. Jadi, apa salahnya ngasih dia kesempatan buat berubah. Makanya aku gak mau ada sosok asing di rumah ini lagi, karena aku benar-benar trauma, Lus."
Lusi tak pernah menyangka, jika ternyata rumah tangga selingkuhannya pernah berada di ujung tanduk. Ia kian tertarik saja untuk mendengarkan curahan isi hati Ira, sekaligus menguak siapa diri Dito sesungguhnya.
"Semenjak gak ada wanita lain di sini, Mas Dito jadi baik sama aku. Dia selalu bawa aku berpergian," sambung Ira. Ia pun tidak boleh terus-terusan mencoreng nama baik sang suami.
Lusi jadi merasa bersalah pada temannya sendiri. Ira terlalu polos sampai berpikir kalau suaminya senantiasa mencintainya. Padahal Dito sudah menjalin hubungan dengan Lusi semenjak pertemuan mereka di danau kala itu.
"Memangnya siapa nama perempuan yang pernah rebut Mas Dito dari kamu?"
"Namanya Indy."
Degh!
Seketika Lusi terbayang wajah salah seorang pekerjanya. Namun, buru-buru ia menghapus bayangan tersebut, karena berpikir jika Indy yang ia maksud pasti berbeda dengan Indy yang diceritakan oleh Ira.
"Aku gak tahu di mana dia sekarang."
Sekarang Lusi paham bagaimana ketakutan Ira terhadap masa lalunya. Ia pun pamit pulang sembari merenungkan kelakuan nakal seorang Dito. Jangan sampai dirinya pun turut dikhianati oleh lelaki tersebut. Lusi harus berbuat sesuatu supaya Dito jatuh ke pelukannya secara sempurna.
***
Lima hari berlalu. Kini Dito telah sehat dan bisa beraktivitas seperti sedia kala. Tak ingin terlalu lama berhubungan dengan Indy lagi, akhirnya Dito memutuskan untuk memberi pelajaran pada wanita tersebut. Ia hanya tak ingin jika sewaktu-waktu Indy membongkar kebusukannya pada Lusi maupun Ira.
Dito sengaja menanti kepulangan Susi dari toko kelontong di gang rumahnya. Belum terlalu lama menunggu, ia melihat perempuan itu turun dari sebuah angkutan umum.
"Indy!" panggil Dito seraya melambaikan tangannya.
Sebelumnya Dito memang memberitahu lewat pesan singkat bahwa ia tengah sakit. Ketika melihat wajah Dito segar seperti sedia kala, Indy sontak melompat di tempat. Ia turut bahagia dengan kesembuhan kekasihnya.
"Mas Dito kenapa gak ngabarin dulu kalau mau ketemu?" tanyanya, lalu memegang kedua tangan Dito.
"Iya. Kejutan buat kamu. Ah, iya. Gimana kalau kita jalan-jalan?
"Sekarang, Mas?"
"Tentu. Mas mau bawa kamu ke suatu tempat."
"Kita mau ke mana, Mas?"
"Rahasia. Udah, yuk naik!"
Sangat mudah bagi Dito untuk melancarkan misi, karena Indy yang memang sudah menaruh kepercayaan padanya.
Di perjalanan Indy tiada henti membahas masa lalu mereka. Mulai dari perjumpaan hingga perpisahan. Dito merespon ocehan Indy dengan malas. Apapun yang disampaikan oleh wanita itu tiada berharga lagi bagi diri Dito.
Mobil melaju dan memasuki jalanan sepi serta penuh pepohonan. Tentu saja Indy heran, karena dia belum pernah melintasu kawasan seperti ini. Ia juga merasa kalau perjalanan keduanya terlalu makan waktu.
"Kita mau ke mana ya, Mas?" tanya Indy meyakinkan.
Namun, lagi-lagi Dito berkata bahwa lokasi tujuannya adalah rahasia. Ia juga mengimi-imingi Indy dengan sebuah kejutan mewah.
Hingga tibalah mereka di sebuah gubuk reot yang di depannya terdapat empat orang lelaki bertubuh tegap lagi gelap. Indy sontak merasa kikuk dan heran.
"Ayo, turun!"
"Ini lokasinya, Mas?"
"Iya."
Sampai di sini Indy mulai curiga, meskipun ia tetap menuruti perkataan Dito. Indy dimasukkan ke dalam bangunan yang terbuat dari anyaman bambu tersebut. Ia berusaha mencari sesuatu yang indah di sana. Barangkali Dito masih menyembunyikan kejutannya. Malang, sesuatu yang ia harapkan malah terganti dengan kejadian menyeramkan.
Empat orang asing itu menarik sebuah kursi, kemudian mendudukkan Indy secara paksa di atasnya. Dua orang memegang kaki serta lengan Indy dan sisanya mengikat Indy dengan sebuah tali.
Tentu saja Indy menjerit ketakutan. Ia berteriak ke arah Dito guna meminta penjelasan.
"Mas, ada apa ini? Kenapa aku diikat? Mana kejutan yang kamu janjikan, Mas?" Air matanya luruh membasahi pipi.
Sebuah tawa menghiasi bangunan tersebut. Dito dengan lengan kokohnya mencekal dagu Indy, kemudian berseru, "Dasar, gadis bodoh! Bisa-bisanya kamu tertipu denganku. Hahaha."
***
Bersambung