Chereads / ISTRI RASA PEMBANTU / Chapter 35 - MEMULAI SEMUANYA DARI NOL

Chapter 35 - MEMULAI SEMUANYA DARI NOL

Sambil melipati pakaian di kamarnya, Ira mengajak ngobrol suaminya. "Mas. Biasanya setiap enam bulan sekali Mas selalu ganti mobil. Ini udah jatuh tempo loh," katanya.

Dito meletakkan ponsel yang semula tergenggan di tangannya ke atas nakas. Jauh sebelum Ira mengatakan hal tersebut, Dito sudah mengingatnya terlebih dahulu.

"Iya, Mas tahu," ucapnya.

"Jadi, kapan Mas bakal ganti mobil? Kita tetap pilih warna hitam aja ya, Mas,"

"Gak bulan ini ya, Ira,"

Ira sejenak menghentikan aktivitasnya dan melihat sekilas ke arah Dito, "Loh, kenapa, Mas? Biasanya gak pernah ditunda,"

"Gak apa-apa. Mas masih sayang aja sama mobil yang sekarang,"

Dito terpaksa membohongi istrinya demi menyelamatkan diri. Kejadian yang sesungguhnya adalah sisa tabungan Dito tidak cukup untuk mengganti mobil yang lebih bagus lagi. Pasalnya Dito baru saja menyumbangkan uang senilai 200 juta untuk Lusi.

Yang membuat begini adalah café Dito yang baru saja kembali ramai. Jika dulu sebelum tempat itu sepi, Dito tidak perlu pikir panjang untuk memberi siapapun uang, kemudian berbelanja keperluan rumahnya. Sekarang Dito harus lebih menahan selera akibat cafenya yang baru saja merangkak.

"Kalau gitu bulan depan ya, Mas!" pinta Ira.

"Ah, iya-iya,"

Dito memilih mengalah ketimbang harus berdebat dan ujungnya menipu Ira lagi. Mustahil juga kalau ia mengatakan tabungannya tidak cukup untuk menukar mobil baru. Bisa-bisa Ira curiga dan ia mengadukan hal ini pada Alin serta Yugi. Maka, biarlah Dito menenangkan Ira dengan kalimat palsunya. Dito sendiri pun belum tahu apakah bulan depan dia mampu mengganti mobil atau tidak.

***

Akibat kebaran itu Indy terpaksa menjual rumah yang baru ditempatinya selama kurang lebih sebulan dan turut menjual mobilnya juga. Indy wajib mengganti kerugian toko yang ia sewa tersebut pada pemilik aslinya. Tabungan Indy juga ludes. Sekarang ia tidak punya apa-apa alias gembel. Indy menyewa sebuah rumah sederhana di kawasan rumahnya yang dulu dibelikan oleh Dito. Kini, dia harus memulai semuanya dari nol.

Indy menyusuri jalanan untuk mencari tilam tiga kaki, karena rumah sewaannya tidak memiliki barang-barang selain lemari dan meja makan. Bahkan, kursi ruang tamu pun tidak ada di sana.

Indy memasuki sebuah toko kelontong. Di sana ia disambut langsung oleh sang pemilik toko.

"Mau cari apa, Dik?" ucap wanita berambut panjang tersebut.

"Aku mau cari tilam tiga kaki, Mba. Ada?"

"Ah, iya. Kebetulan kami juga menyediakan barang-barang rumah. Mari!"

Toko yang dikunjungi oleh Indy adalah milik Lusi dan yang melayani Indy adalah perempuan itu sendiri. Akibat dana yang diberi oleh Dito masih tersisa, maka Lusi pun memutuskan untuk mengisi toko tersebut dengan berbagai perabotan.

Indy melirik bangunan yang terbilang cukup luas tersebut. Ketika melihat dua orang pegawai yang sibuk bekerja, maka Indy jadi terobsesi untuk ikut bekerja di sana. Siapa tahu pemilik toko itu sedang membuka lowongan.

"Ini, banyak pilihannya. Dilihat dulu," titah Lusi.

"Yang paling murah aja deh, Mba,"

"Oh, kalau gitu yang ini aja. Harganya 150 ribu." Lusi menunjuk sebuah tilam bewarna marun.

"Ya, sudah. Aku ambil satu ya, Mba!"

Sebenarnya tugas Lusi di sana adalah sebagai kasir. Namun terkadang ia turut membantu para pegawainya untuk melayani pengunjung. Sementara Nina yang mencatat barang masuk dan ke luar.

Lusi membawa Indy ke meja kasir dan segera menerima uang dari Indy. Konyolnya setelah urusan jual beli selesai, Indy tak juga pergi dari sana.

"Ada yang bisa dibantu lagi, Dik?" tanya Lusi.

Indy menggigit bibir bagian bawahnya sambil malu-malu dan berkata, "Boleh gak saya ngelamar kerja di sini, Mba? Jadi karyawan biasa juga gak apa-apa,"

"Kamu mau ngelamar kerja? Siapa nama kamu?"

"Indy, Mba,"

"Rumahnya?"

"Aku ngontrak gak jauh dari sini,"

Lusi mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru. Dia belum lama membuka toko ini. Ada baiknya jika Lusi memiliki dua karyawan saja dulu.

"Maaf ya, Indy, tapi Mba belum buka lowongan kerja. Kamu bisa lihat kalau di sini sudah ada karyawan, kan?"

Indy menundukkan wajahnya tanda sedih. Sesungguhnya dia bingung harus mencari uang ke mana lagi, sementara simpanannya hanya tersisa sebesar satu juta rupiah.

"Tolonglah, Mba. Aku janji bakal kerja dengan baik di sini," kata Indy memelas.

"Belum bisa. Maaf, ya!" Lusi menangkupkan tangannya.

Kemudian Indy beranjak dari sana dengan perasaan kecewa. Semakin hari nasib hidupnya kian tragis saja. Indy mengusap matanya yang hampir mengeluarkan titisan air dan hal itu ditangkap oleh Lusi.

Lusi mendadak iba dengan gadis berusia 20 tahun itu. Lalu tiba-tiba saja ia mengejar Indy.

"Tunggu!" teriaknya.

Indy menoleh dan menanti kalimat Lusi selanjutnya.

"Ya, sudah. Kamu boleh kerja di sini,"

"Hah, bener, Mba?" Netra Indy berbinar-binar.

"Iya. Mulai besok, ya!"

"Wah! Terimakasih banyak ya, Mba,"

Indy sampai mencampakkan tilam tiga kaki yang dibopongnya tadi ke lantai dan menciumi tangan Lusi. Ia bahagia sekali, karena mendapat pekerjaan baru. Indy tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini, karena dirinya tak lagi bersama Dito otomatis dia tidak mendapat pemasukan dan hanya mengandalkan dirinya sendiri.

Indy pulang ke rumahnya dengan hati yang berbunga-bunga. Ke depannya dia harus lebih membesarkan hati dengan keadaan barunya.

***

Kletek kletek

Indy menyusun beberapa kardus berisi mie instan agar terlihat rapi. Tiga hari sudah Indy menjabat sebagai karyawan di toko kelontong milik Lusi. Indy sudah mengenal empat wanita yang berada di sana. Bahkan, tak jarang ia ikut bergabung dengan mereka ketika pengunjung toko sedang sepi.

Indy mengintip ke bagian depan ketika sebuah mobil menghadiahkan dentuman klakson ke toko Lusi. Indy sedikit terganggu dengan suara tersebut. Kemudian tampaklah Lusi terbirit-birit dari meja kasir guna mengejar mobil tersebut. Indy jadi penasaran siapa sosok di balik kaca hitam itu. Barangkali dia adalah sanak saudara Indy. Tidak mungkin suaminya, karena Lusi adalah seorang janda dan Indy tahu itu.

Jantung Indy berdetak tidak normal tatkla sang pengemudi menampilkan wajahnya dan menyapa Lusi dengan sumringah. Indy seakan menelan pil pahit. Ia masih belum percaya, meskipun sudah melihatnya secara langsung.

Dito! Pria itu hadir dan melambaikan tangan ke arah Lusi.

Secepat kilat Indy bersembunyi dan menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan. Batin Indy bertanya-tanya kenapa Dito bisa mengenal Lusi, bahkan mereka terlihat begitu akrab.

Karena penasaran, Indy pun memilih tempat yang lebih dekat dan mulai menguping pembicaraan sepasang insan di depan sana.

"Duh! Di sini gak ada ruang pribadi, Mas. Eheheh. Di meja kasir aja duduknya, ya," kata Lusi dan suaranya tertangkap jelas oleh Indy.

"Iya. Gimana usaha kamu?"

"Wah! Lumayan banget, Mas. Persis kayak usaha bos aku dulu. Makasih ya, Mas. Berkat modal dari kamu akhirnya aku bisa bangkit lagi,"

"Iya, sama-sama, Lusi,"

"Modal? Jadi, semua ini dari uang Mas Dito? Sebenarnya ada hubungan apa mereka berdua?"

Indy semakin kaget saat tahu bahwa Dito adalah sumber dana toko kelontong yang saat ini tengah dijejakinya. Rasa penasarannya kian membengkak, tapi Indy tak mampu ambil tindakan. Selain karena malu terhadap Dito, dia juga takut jika Lusi memecatnya dari pekerjaan ini. Ada baiknya jika Indy menyelidikinya secara perlahan.

Ketika sedang asyik menguping, seorang wanita mendadak muncul di sebelah Indy. "Hei, ngapain kamu di sini? Kok gak kerja?" kata Nina menegur.

***

Bersambung