"Ah, ya sudahlah. Ira, kamu duduk aja dulu di sana, ya. Aku dan Nina masih ada urusan nih. Nanti aku pasti temui kamu lagi," ucap Lusi.
Nina dapat merasakan ada yang tidak beres dengan diri sepupunya tersebut. Barangkali antara Lusi dan Ira ada masalah yang tidak diketahui olehnya. Kemudian Ira menuruti perkataan Lusi. Dia tidak menaruh curiga, karena memahami kondisi tuan rumah. Pasti banyak yang harus diselesaikan oleh keduanya.
Sedangkan Lusi buru-buru menarik Nina ke kawasan dapur yang sepi penghuni. "Ira memang temen SMP kamu?" tanyanya.
"Iya, Lus. Kenapa? Kamu kayak ketakutan begitu," balas Nina mengungkapkan isi hatinya.
"Kenapa Ira bisa ada di sini? Kamu yang undang dia?"
"Bukan. Kamu kan tahu soal postingan aku kemarin. Nah, di situ si Ira komen dan dia mau datang ke sini. Emang kamu gak baca? Aku tag kamu loh, Lus,"
"Enggak. Aku gak tahu,"
"Emangnya ada apa sih?" Nina kembali bertanya, karena Lusi tidak menjawab pertanyaannya.
"Haduh. Asal kamu tahu aja ya, Nin. Dito yang modalin usaha kita itu ya suami si Ira,"
"Hah? Dito punya istri?"
"Iya. Makanya aku kaget banget pas lihat Ira tadi. Kukira dia datang bareng Dito, tapi kayaknya dia gak tahu menahu soal tingkah suaminya itu,"
Nina bagaikan bermimpi di siang bolong ketika mengetahui kebenaran ini. Dipikirnya Dito adalah seorang lajang ataupun duda. Nina memang tak pernah mengenal suami Ira, mengingat hubungan keduanya yang tak dekat.
"Ya, ampun, Lusi. Kamu gimana, sih? Kan, kamu tahu kalau Dito itu suami orang. Kenapa kamu terima bantuan segitu banyak dari dia?" Nina mulai khawatir.
Mata Lusi menyisir penjuru ruangan. Dia harus jeli. Jangan sampai ada satu manusia pun selain mereka berdua yang mengetahui pembahasan tersebut.
"Ya, mau gimana lagi? Masak aku nyia-nyiain kesempatan emas. Lagian ya, Nin. Semua ini gak bakal datang dua kali dan Dito itu orang kaya. Kalau cuma 200 juta gak bakal kerasa di dia,"
"Ira gak tahu soal ini?"
"Ya, enggaklah,"
"Aku bingung, Lus. Sumpah! Jadi takut mau mulai usaha ini. Jangan-jangan gak berkah lagi,"
"Hus! Jangan ngomong begitu. Dito sendiri yang pesan ke aku supaya gak ngadu ke Ira. Udah, ah! Rahasia ini cuma kamu yang tahu. Kuharap kamu gak bocorin ke siapapun termasuk Ira," titah Lusi memeringatkan.
Lusi beranjak ke depan untuk kembali menjumpai rekan SD-nya itu. Lusi tidak boleh kelihatan gugup. Sementara Nina masih terpaku di dapur. Sesungguhnya dia bingung harus bersikap bagaimana. Nina dan Lusi memiliki karakter yang berbeda meskipun keduanya bersaudara dan kerap bertemu. Lusi tipe orang yang mudah menerima bantuan orang lain tanpa memikirkan efek sampingnya, sementara Nina tidak begitu. Dia lebih jeli untuk menerima bantuan dari siapapun.
***
"Aduh! Capek banget,"
Indy mencampakkan tubuhnya di hamparan ranjang. Sebulan sudah dirinya menggeluti dunia fashion. Toko butik Indy semakin ramai, karena barang-barang import yang dijualnya begitu menggoda dan harganya tidak terlalu mahal. Jadi, siapapun masih bisa menjangkaunya. Indy bekerja seorang diri. Sengaja dia tidak menggunakan pegawai agar memeroleh keuntungan yang lebih.
Selama itu pulalah antara Indy dan Dito tak lagi berkomunikasi. Sekarang Indy berusaha untuk melupakan pria itu dan tidak berharap apapun darinya. Indy bertekad untuk menjadi perempuan mandiri dan menemukan pria yang jauh lebih tampan dan kaya dari Dito. Perlahan-lahan usahanya itu mulai membuahkan hasil.
Nyaris saja mata Indy terpejam guna memasuki alam mimpi, tiba-tiba ia mendengar teriakan Ozan dari luar kamar. Dengan malas Indy bangkit dan membuka pintu biliknya kembali.
"Ada apa, Zan?" tanya Indy sedikit kesal.
"Bu. Barusan ada warga datang ke sini dan bawa kabar. Katanya toko butik Ibu kebakaran,"
"APA?"
Detik itu juga Indy ngacir ke luar tanpa menutup pintu kamarnya lagi dan meninggalkan Ozan yang belum selesai berbicara. Berita semacam apa ini? Indy baru saja pulang dari tokonya dan sewaktu ia tinggal tempat itu masih baik-baik saja.
Antara yakin dan tak yakin. Oleh karena itu, Indy mengeluarkan mobilnya dari garasi untuk membuktikan ucapan Ozan. Dia langsung tancap gas menuju lokasi.
Tap!
Benar saja. Toko itu sudah lenyap dilahap api dan dua mobil pemadam kebaran turut berhadir membantu. Seluruh warga juga mengelilingi tempat tersebut seraya menanti kehadiran Indy.
"Kenapa tokoku bisa terbakar? Kenapa!"
Indy buru-buru turun dari mobilnya, bahkan dia sampai mencekal kerah baju beberapa masyarakat untuk mendapatkan informasi. Mereka mengatakan bahwa kebaran itu terjadi karena arus pendek di toko milik Indy. Tidak ada tanda-tanda kesengajaan, karena polisi sudah turun untuk memeriksanya.
"Tokoku…!
Indy berputar-putar di depan bangunan yang sudah tandas dilalap api tersebut. Banyak orang yang menahan tubuhnya agar tidak tercebur ke dalam abu. Indy frustasi. Pasalnya dia baru saja menerima barang-barang baru dalam jumlah banyak. Otomatis uang tabungannya hanya tersisa 100 juta lagi, sementara yang lain sudah habis dimakan si jago merah.
Tak lama setelah itu muncullah Ozan bak pahlawan kesiangan. Dia menenggelamkan kepala Indy dalam pelukan dan ikut bersimpuh di tanah. Ozan begitu terpukul ketika tahu bahwa majikannya mengalami musibah. Padahal selama ini Indy cukup memperlakukannya dengan baik. Ozan tidak mengetahui apa salah Indy, sehingga bencana mengerikan seperti itu menimpa dirinya.
Lelah menangis, akhirnya Indy pingsan di pelukan Ozan. Beberapa warga yang melihat mulai undur diri. Begitupun dengan polisi dan pemadam kebakaran yang ada di sana. Semua meninggalkan Indy, Ozan dan toko yang sekarang telah menjadi abu.
Ozan berusaha menggendong Indy dan memasukkannya ke dalam mobi. Beruntungnya Ozan bisa membawa benda beroda empat tersebut. Ozan langsung melarikan majikannya ke rumah sakit. Indy tidak bisa dirawat di rumah, karena Ozan tidak tahu menahu soal itu.
***
Tiga hari kemudian.
"Ozan…"
Sosok berjenis kelamin pria itu mengangkat kepalanya dari brankar pasien. Dilihatnya Indy berusaha menyandarkan badan di kepala brankar.
Tiga hari berturut-turut Indy berada di rumah sakit ditemani oleh Ozan. Saban hari ia menangis atas kejadian yang baru saja menimpanya. Belum lagi pemilik asli toko tersebut yang berulang kali menelepon untuk minta ganti rugi. Semuanya benar-benar merusak mental Indy.
"Iya, Bu?" jawab Ozan.
"Hari ini aku sudah boleh pulang, kan?" lirihnya.
"Boleh, Bu. Saya emang nunggu Ibu bangun. Ibu mau pulang sekarang juga?"
Indy mengangguk sebagai jawaban. Kemudian, dia mengambil uang di dalam tas dan memberikannya pada Ozan. Indy memerintahkan agar Ozan melunasi seluruh biaya opnamenya selama di rumah sakit. Seberes itu, keduanya pun pulang ke kediaman Indy.
"Ozan. Ada yang mau aku bicarain sama kamu." Indy kembali memulai obrolan sesampainya di rumah.
"Iya, Bu. Ada apa?"
"Sebelumnya terimakasih, karena kamu sudah menjalankan tugas dengan baik selama ini. Sekarang aku harus menanggung kerugian dengan membayar toko yang sudah hangus itu pada pemilik aslinya, bahkan uangku pun belum cukup untuk mengganti semuanya. Maaf ya, Zan. Mulai detik ini kamu aku berhentiin kerja. Semoga kamu sukses ke depannya, ya!"
Sepasang bahu Ozan turun mendengar ucapan majikannya. Ia seakan tidak siap kehilangan pekerjaan dan kembali menjadi agen rumah dengan penghasilan yang tidak seberapa itu.
***
Bersambung