Chereads / ISTRI RASA PEMBANTU / Chapter 32 - BERTEMU LAGI

Chapter 32 - BERTEMU LAGI

Indy menyisir ruangan rumahnya yang sudah lengkap dengn furniture, mulai dari sofa, kulkas, lemari dan masih banyak barang-barang yang lainnya. Indy juga membeli mobil sebagai kendaraannya. Tidak terlalu mahal, yang penting Indy aman di dalamnya tanpa terkena panas dan hujan.

Sekarang uang Indy hasil penjualanan rumahnya tersisa 700 juta lagi dan Indy berencana untuk membangun sebuah tempat usaha. Indy tak yakin jika dia bisa menyimpan harta dengan baik dan lama. Jadi, dia memutuskan untuk mengola uang tersebut.

Untung saja Indy pernah minta diajarin menyupir mobil oleh Dito pada waktu itu, sehingga dia tak perlu pusing-pusing bagaimana caranya mengendarai transportasi roda empat tersebut.

Indy memasuki mobilnya dan membelah keriuhan kota pada siang hari. Rencananya wanita itu akan menyewa sebuah ruko di pusat kota.

Tak perlu waktu lama, Indy pun menemukan lapak yang cocok untuknya berdagang. Lokasinya tidak terlalu jauh dari rumah dan kawasannya cukup ramai. Indy pun segera melunasi uang sewa selama setahun penuh. Ia takut jika ruko bewarna cream itu dihuni oleh orang lain.

Setelah pekerjaannya usai, Indy langsung membuka gawainya dan memesan pakaian online. Indy mengambil seluruh baju yang akan dijualnya nanti di luar negri. Butuh waktu selama tujuh hari agar barang-barangnya sampai ke tangan. Indy sungguh tidak sabar ingin membuka usaha barunya.

***

Tiga hari setelah pertemuan di danau kala itu. Dito berkeinginan untuk menemui Lusi kembali dengan harapan ia dapat melupakan Indy perlahan-lahan. Karena jika bersama Ira, dapat dipastikan bahwa Dito akan sulit menghilangkan mantannya itu dari ingatan.

Dito pun mengunci dirinya di ruangan pribadi agar tak ada yang bisa masuk dengan sembarang. Kemudian dia memberanikan diri untuk menghubungi Lusi, meskipun saat ini adalah jam bekerja.

"Halo. Siapa, ya?"

Tak lama setelahnya, terdengarlah suara lembut seorang wanita. Dito memencet dadanya sendiri sambil mengembangkan senyum. Lusi menjawab teleponnya dengan cepat.

"Hai, Lusi. Ini Mas Dito,"

"Oh, Mas Dito. Ada apa, Mas?" Suara Lusi sumringah di seberang sana.

"Kamu apa kabar, Lus?"

"Baik. Kalau Mas sendiri?"

"Semakin baik setelah dengar suara kamu," kata Dito merayu.

"Ah, Mas Dito memang jagonya gombal!"

Dito menggigit bibir bawahnya. Ia persis seperti anak lelaki yang baru mengenal cinta alias puber.

"Malam ini kamu sibuk gak, Lus?"

"Enggak tuh, Mas. Kenapa, ya?"

"Mas mau main ke rumah kamu. Boleh?"

Lusi begitu kaget mendengar ucapan lawan bicaranya. Secepat itukah Dito meminta sebuah pertemuan kembali?

"Ya, sudah, Mas. Nanti aku share lokasinya, ya." Dengan senang hati Lusi menerima ucapan Dito.

Dito tak sabar menunggu hari beranjak malam. Dia sungguh ingin untuk melihat bibir ranum serta rambut hitam pekat milik Lusi lagi. Kali ini Dito tak akan mengajak Ira, bahkan dia juga tidak memberitahu perempuan itu. Ira lama-lama bisa menaruh curiga kalau sampai tahu Dito bertemu dengan Lusi.

Enam jam berlalu. Kini waktu yang dinanti-nanti pun tiba. Dito mempersiapkan dirinya dengan matang, mulai dari gaya rambut hingga aroma parfum yang begitu menggoda. Lusi juga sudah mengirimkan di mana lokasi rumahnya. Sungguh tak disangka, jika tempat tinggal wanita itu tak jauh dari rumah Indy berada. Namun, Dito tidak tahu jika mantannya itu sudah pindah rumah.

Thin! Thin!

Klakson mobil Dito menembus telinga Lusi.

Wanita bersurai sepunggung itu tunggang-langgang dari dalam menuju beranda rumah. Dia melambaikan tangan pada Dito dan menyambut lelaki itu penuh semangat.

"Ayo, masuk, Mas!" ajak Lusi.

Keduanya duduk di sofa yang terdapat di ruang tengah. Rupanya Susi juga sudah mempersiapkan semuanya dengan menghidangkan banyak makanan di atas meja. Dito merasa diistimewakan kali ini.

"Langsung dimakan aja, Mas!" perintah Lusi.

Dito pun menyantap sepotong agar-agar sebagai menu pembukanya. Sesekali ia melirik tatanan rumah Lusi yang tampak begitu sederhana, tapi mewah.

"Kamu di sini sendirian, Lus?"

"Iya, Mas. Mau sama siapa lagi? Ehehehe. Oh, ya. Ke mana Ira?"

"Ira lagi ngumpul sama temen-temennya. Tadi udah diajak, tapi dia nolak." Dito terpaksa membohongi Lusi.

"Wah, masak sih, Mas?"

"Iya. Ira itu emang hobinya melanglang buana, Lus. Mas aja terkadang pusing dibuatnya,"

Dito memang hobi sekali mencari-cari kesalahan Ira, bahkan memfitnahnya. Dito merasa tidak puas apabila Ira baik di mata orang-orang. Dengan begitu, Dito akan memiliki alasan pada calon selingkuhannya kenapa ia tidak menginginkan istrinya lagi.

Lusi sendiri tidak tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga orang di hadapannya itu. Yang jelas, Lusi dapat merasakan bahwa Dito ingin menjalin hubungan yang lebih dekat lagi dengannya.

Keduanya pun saling berbagi cerita. Selalu ada bahan yang dapat mereka perbincangkan dan berakhir dengan candaan. Hingga saat detik-detik menjelang pulang, Dito bertanya tentang profesi yang digeluti Lusi sekarang ini.

"Oh, ya. Kamu kerjanya apa ya, Lus?"

"Semenjak ditinggal suami aku kerja jadi karyawan di toko kelontong, Mas. Lumayan besar sih tokonya,"

Awalnya hidup Lusi bahagia dan ia tidak bekerja sama sekali, tapi semua berubah tatkala sang suami berpulang. Lusi hanya mendapatkan peninggalan rumah serta pesangon dari perusahaan tempat suaminya bekerja yang kini sudah ludes ia gunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup.

"Berarti sebulan terakhir, ya? Emangnya kamu gak mau pindah kerjaan gitu? Cari yang lebih baik,"

"Ya, pengen banget, Mas. Ngeliat Bos aku yang punya banyak keuntungan dari dagangannya, aku jadi punya keinginan untuk buka usaha kelontong, tapi ya gitu, modalnya belum ada,"

"Memangnya perlu berapa duit?"

"Sekitar 200 juta, Mas. Sekalian sewa tempatnya,"

Dito menimbang-nimbang sesuatu. Dia pun sontak ingin menjadi pahlawan kesiangan dengan memberi bantuan pada Lusi. Kebetulan sekali café Dito sudah ramai seperti sedia kala. Jadi, uang 200 juta hanyalah gajinya selama dua bulan.

"Oh, 200 juta. Kalau gitu Mas bakal ngasih kamu uang untuk buka usaha kelontong,"

"Hah?"

Mulut Lusi berubah menjadi goa. Dia mendekatkan kepalanya pada wajah Dito untuk menelisik adakah kebohongan di sana. Mereka hanyalah dua orang yang baru saja mengenal. Lalu, kenapa bisa Dito sudah berbaik hati padanya?

"Gak usah, Mas! Ira bisa marah besar kalau sampai tahu,"

"Ya, jangan kasih tahu, Ira. Mas tulus mau bantu kamu, Lus. Diterima, ya!"

Telinga siapa yang tak memanas mendengar penawaran menggiurkan tersebut. Sesungguhnya Lusi sangat ingin menerima. Mumpung ada orang baik, kenapa tidak sekalian saja ia manfaatkan? Begitu pikirnya.

Lusi sudah merasakan hidup tanpa bantuan dari siapapun pasca kehilangan sang suami dan rasanya begitu sakit. Setiap hari Lusi berangan-angan untuk menjadi sukses seperti sedia kala dan kini impiannya nyaris terjadi. Lusi tak akan menyiakan kesempatan yang barangkali tak akan terjadi lagi. Meskipun Dito adalah suami teman lamanya, tapi bukan berarti Lusi harus menolak tawaran dari lelaki itu. Lusi hanya mengulur waktu agar dirinya tidak kelihatan matrealistik.

"Kamu yakin, Mas?"

"Apa yang harus membuatku ragu, Lus?"

"Kalau begitu aku mau, Mas. Makasih banyak ya, Mas. Kamu baru hadir di kehidupanku, tapi sudah sudi membantu. Aku berhutang budi padamu, Mas,"

Lusi pun meninggikan nama Dito yang telah menolongnya di masa sulit. Hal itu bertujuan agar Dito merasa dihargai dan diperlukan keberadaannya. Siapa tahu suatu saat nanti Dito kembali berbaik hati dengan memberi pertolongan bentuk lain pada Lusi, walaupun tanpa sepengetahuan Ira.

***

Bersambung