Untung menghilangkan kesedihan hatinya pasca dikhianati, Dito pun memutuskan untuk berlibur ke sebuah danau. Jaraknya tiga jam dari kota tempat ia tinggal. Dito juga mengajak Ira untuk turut menikmati liburan dengannya. Bukannya Dito mencintai Ira, lebih tepatnya dia sekaligus mencari perhatian pada Alin dan Yugi agar mereka percaya bahwa Dito telah berubah.
Setelah sekian lama, akhirnya pasangan suami istri itu kembali menikmati pesona alam. Tentu saja Ira bersorak gembira dan menyetujui ajakan suaminya. Mereka pun meninggalkan rumah selama dua hari penuh.
Sekarang keduanya sedang menikmati keindahan alam. Di mana gulungan ombak danau itu mampu menarik perhatian Dito. Dia pun mengayunkan kaki untuk menyaksikan lebih dekat lagi. Dito melakukannya seorang diri, karena istrinya tengah berlayar ke penjuru lain untuk mencari makanan.
Bush!
Sengaja Dito menenggelamkan kakinya di air hijau tersebut. Setelah cukup puas dihempas ombak, Dito pun beranjak kembali ke sebuah pondokan yang ia sewa bersama Ira. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang bentuk tubuhnya begitu menyerupai Indy.
Kaki Dito spontan tertarik ke sana, meskipun otaknya menolak. Dito memegang lengan wanita itu sambil berseru, "Indy! Kamu di sini juga?"
Tap!
Orang yang dipanggilnya Indy itu menoleh. Malangnya, Dito harus menelan pil lahit ketika paras sosok itu sangat berbeda jauh dengan Indy. Wajahnya bulat serta terdapat lesung pipi yang menghasi sepasang sudut bibirnya, sementara Indy tak memiliki itu semua. Wajah Dito merah padam. Dia telah salah memanggil orang.
"Hei! Jangan pegang-pegang istri saya dong, Mas,"
Seketika ada lelaki yang menghampiri keduanya. Ia berasal dari penjuru lain dan Dito tidak tahu itu.
"Maaf! Astaga. Kukira wanita ini temanku," kata Dito seraya menangkupkan kedua tangannya di dada.
Dito langsung ngacir tanpa menanti jawaban pria tersebut. Dia pun kembali ke pondok dan sudah mendapati Ira di sana.
Rupanya ke mana pun Dito pergi, bayang-bayang Indy masih terbawa olehnya.
"Loh, Mas! Dari mana aja? Aku sempet nyariin kamu loh," kata Ira yang barusan menemukan Dito.
"Maaf, Sayang. Mas tadi habis dari toilet buang air," bohongnya.
"Oh, ya sudah. Mas. Aku nemu makanan yang enak. Kita ke sana, yuk!"
"Oke!"
Ira dan Dito saling bergandengan menuju tempat yang dikatakan oleh Ira. Sesekali Dito masih membayangkan bahwa yang sedang ia rangkul tangannya adalah Indy. Sepertinya sulit sekali bagi Dito untuk melupakan perempuan itu.
Keduanya sudah sampai dan mereka memilih meja nomor 10. Baru saja sampai, tapi perhatian Ira sudah teralihkan pada seorang wanita yang duduk di meja 11, tepat di sebelah mereka. Dia terlihat merenung seorang diri.
"Kok kayaknya aku pernah liat, tapi di mana, ya?" batin Ira.
Kemudian Ira mencoba mengingat tentang wanita itu sambil memerhatikan parasnya lamat-lamat. Beberapa detik setelah itu, barulah Ira dapat mengingatnya kembali. Dia bernama Lusi, teman Ira sewaktu sekolah dasar.
"Lusi!" Ira sedikit berteriak, karena suasana yang berisik.
Lusi menoleh ke kanan, bersamaan dengan itu bibirnya melengkung dan ia melambaikan tangannya. Lusi tidak sesulit Ira untuk mengingat masa lalu.
"Ya, ampun! Ira? Kamu Ira, kan? Gak nyangka banget bisa ketemu di sini." Lusi balik memekik.
"Sini!"
Ira melaungkan tangannya agar mereka bisa mengobrol lebih dekat. Siapa yang menyangka jika dia akan bertemu dengan rekan masa ciliknya dahulu.
"Wah! Kamu makin cantik aja, Lus," ucap Ira penuh ketulusan.
Tubuh tinggi semampai, bibir ranum serat rambut panjang hitam pekat menjadi ciri khas dari wanita yang kerap disapa dengan sebutan Lusi itu. Dito pun membenarkan ucapan Ira dengan menganggukkan kepala dan tersenyum pada orang di hadapannya tersebut.
"Ah! Kamu bisa aja, Ira. Oh, ya. Ini suami kamu?" tanya Lusi.
"Iya, saling kenalan gih,"
Kemudian Lusi melebarkan telapak tangannya tepat di depan Dito. Tanpa ragu Dito pun membalas Lusi dengan perlakuan yang sama.
"Lusi,"
"Dito,"
Keduanya pun saling melempar senyum dan menganggukkan kepala sekali lagi.
"Berdua aja, Ira?"
"Iya. Kamu sendiri sama siapa ke sini, Lus?"
"Seperti yang kamu lihat," jawab Lusi cengengesan.
"Sendiri?" Ira menubrukkan sepasang alisnya.
"Iya,"
"Suami kamu mana? Denger-dengar kamu udah nikah, ya? Setahun lalu,"
Lalu wajah Lusi seketika menjadi muram. Matanya menatap meja yang atasnya bermukim sebuah asbak rokok.
"Kenapa, Lus?" Ira kebingungan.
"Iya, aku udah nikah setahun lalu. Sayangnya suamiku meninggal,"
"Hah, serius? Aku turut beduka cita, Lusi. Maaf, ya. Aku gak tahu." Ira jadi menyesal kenapa ia harus bertanya demikian.
"Meninggal karena apa ya, Lusi?" Dito mulai ikut nimbrung. Ia turut prihatin dengan keadaan Lusi.
"Kecelakaan, Mas,"
"Semoga amal ibadahnya diterima oleh Sang Maha Kuasa dan kamu tetap tabah ya, Sus,"
"Terimakasih, Mas,"
Tak lama setelah itu, pelayan pun datang untuk memberikan menu. Lusi yang sebenarnya sudah makan, terpaksa harus memesan camilan guna menghargai Ira yang sudah mengajaknya untuk bergabung.
"Duh! Kok perutku jadi sakit begini. Mas aku ke toilet dulu ya, Mas." Ira permisi pada suaminya.
"Iya, Ira,"
Seperginya Ira, Dito mulai berani mendongakkan wajah dan menilik wajah wanita di depannya itu penuh serius. Dito menyukai warna merah yang berada di bibir Lusi.
Merasa bahwa ia sedang diintai membuat Lusi risih dan membalas tatapan Dito. "Ada apa, Mas?" tanyanya.
"Eh! Gak ada apa-apa, Lus,"
Dito gugup, tapi setelahnya dia berusaha untuk menetralkan keadaan. Dito tidak boleh kelihatan lemah di hadapan perempuan manapun.
"Memangnya kamu belum kepikiran buat cari pengganti suamimu, Lus?" Dito jadi penasaran dengan sosok Lusi, makanya dia bertanya seperti itu.
"Hahaha. Pasti ada, Mas. Namanya aku juga kepengen punya keturunan, kan? Cuma, ya, belum waktunya aja. Suamiku baru meninggal, Mas,"
"Perempuan secantik kamu ini pasti mudah nemuin pasangan, Lus,"
"Wah! Mas Dito ngawur deh,"
"Oh, ya. Aku boleh minta kontak kamu, ga? Barangkali kita bisa ketemu di lain waktu,"
"Uhuk! Uhuk!"
Lusi tak menyangka jika Dito berani meminta kontaknya dengan alasan seperti itu. Lusi pun buru-buru meraih segelas air karena terbatuk.
"Eh! Pelan-pelan, Lus," kata Dito.
Setelah keadaan kembali hening, barulah Lusi beritikad untuk merespon ucapan Dito.
"Memangnya Ira gak marah kalau kamu save nomorku, Mas?" Lusi khawatir saja jika hal itu akan menjadi boomerang bagi dirinya sendiri.
"Loh, ngapain harus marah? Bahkan, Ira bisa minta nomor kamu dari aku, Lus,"
"Ya, siapa tahu kan, Mas. Ira cemburu,"
"Gak, lah! Ira itu fleksibel. Dia bukan tipe perempuan yang cemburuan begitu," ucap Dito berdusta. Entah wanita mana yang sanggup menahan cemburu.
"Ya, sudah. Kalau begitu boleh deh, Mas," balasnya.
Lusi membacakan beberapa digit nomor dan langsung disimpan oleh Dito di ponselnya. Setelah bertukar kontak dan tak lma kemudian, Ira pun kembali untuk melanjutkan kegiatannya yang tertunda.
"Kelihatannya dia bukan tipe lelaki setia." Lusi menyembunyikan senyumnya sambil membatin tentang diri Dito. Untuk apa dia mengajak Lusi bertemu di lain waktu jika bukan ingin melakukan pendekatan?
***
Bersambung