"Selamat tinggal, Indy!" ucap Dito dengan kepasrahan hatinya.
Hari ini Ira pergi bersama rekan-rekannya untuk sekadar bertatap muka. Hal itu menjadi kesempatan bagi Dito untuk menghanguskan semua kenangannya bersama Indy. Dito membongkar foto-foto mereka, barang pemberian Indy dan segala sesuatu yang menyangkut dengan gadis itu, kemudian membakarnya di belakang rumah. Dito juga sudah menghapus galeri di Hp-nya serta menghapus nomor wanita tersebut.
Dito begitu menyayangkan pilihannya yang ternyata salah. Hatinya begitu hancur tatkala melihat kekasihnya dijamah oleh pria lain. Meskipun berat, tapi Dito bertekad untuk melupakan Indy.
"Aku nyesal kenal kamu, Indy," ucapnya sambil memerhatikan kobaran api.
Setelah apinya padam, Dito buru-buru membuang sisa-sisa abu yang berada di sana. Jangan sampai Ira melihatnya, karena dia pasti akan bertanya-tanya.
Dito memasuki kamar, lalu membuang tubuhnya di hamparan ranjang. Ia belum bisa membayangkan bagaimana hidupnya tanpa perempuan itu. Hingga sampai sekarang Dito belum mampu mencintai Ira kembali. Dia hanya berakting supaya Papa dan Mamanya tidak murka.
***
"Ya, sudah. Kamu aku terima kerja di sini, tapi kamu jangan macem-macem ya, Zan!"
Setelah menimbang selama beberapa waktu, akhirnya Indy menyetujui untuk menerima Ozan sebagai penjaga rumahnya. Indy tidak berani mengambil resiko dan kehilangan hartanya sebanyak dua kali. Namun dia juga harus hati-hati terhadap Ozan, karena pria itu adalah sosok asing baginya.
"Wah! Terimakasih, Bu. Rumah Ibu pasti terhindar dari maling," katanya sumringah.
"Sekarang kamu bantu saya pindahan, ya! Kan, kamu udah janji," kata Indy menuntut janji Ozan.
"Siap, Bu!"
Mereka pun kembali ke rumah lama Indy untuk mengambil beberapa baju serta barang-barang pribadi Indy. Segala bentuk furniture rumah tidak dibawa, karena dia turut serta menjual benda-benda itu.
Indy sendiri tidak tahu bagaimana hubungannya dengan Dito. Dia masih merasa bersalah, sehingga tidak berani menghubungi lelaki itu. Di dalam lubuk hati Indy yang paling dalam, dia masih mengharapkan Dito. Barangkali Indy akan menemui pria itu kembali. Semua hanya tinggal menunggu waktu saja.
Indy memerintahkan Ozan untuk berjaga di beranda rumah. Sesekali dia juga akan berkeliling di kawasan tersebut demi menjaga keamanan. Ozan begitu mempersiapkan semuanya dengan matang. Tak lupa ia membawa senter sebagai penerang dan sebuah pentungan.
Malam ini Indy membelikan Ozan cemilan serta segelas susu. Indy belum bisa memasak, mengingat dirinya baru saja pindah rumah. Besok Indy akan ke pasar untuk memenuhi kebutuhannya sekaligus membeli furniture rumahnya. Indy begitu prihatin melihat kondisi gedung yang hanya terdapat lemari serta kursi plastik di dalamnya.
"Zan. Ini buat kamu," kata Indy, lalu menyerahkan sebuah nampan pada Ozan.
"Apa itu, Bu?" Ozan memanjangkan lehernya.
"Lihat aja sendiri. Kamu pasti laper, kan?"
Setelah sadar bahwa Indy membawakannya makanan, Ozan langsung merebut nampan itu dari tangan Indy. Namun, Indy melihat ada sesuatu yang berbeda dari laki-laki itu. Ozan tampak muram. Berbeda sekali saat mereka bertemu siang tadi.
"Kamu kenapa, Zan? Lagi ada masalah?" tanya Indy penasaran.
Seketika Ozan menepuk-nepuk mukaknya sambil cengengesan.
"Emangnya muka saya kelihatan lagi ada masalah ya, Bu?" Dia bertanya balik.
"Iya. Perasaan kamu tadi siang masih ceria deh,"
"Iya nih, Bu. Saya sedih, karena sepupu saya habis kena tipu,"
"Kena tipu gimana maksud kamu?"
Indy pun mendadak penasaran dengan cerita Ozan. Dia beranjak ke dalam untuk mengambil kursi plastik dan meletakkannya di sebelah Ozan. Tampaknya Indy begitu nyaman dengan sosok Ozan, meskipun mereka baru mengenal.
"Sepupu saya ikut investasi gitu, Bu. Eh! Gak tahunya cuma investasi bodong,"
"Hah, maksud kamu?"
Tiba-tiba saja Indy teringat akan nasibnya yang juga mengikuti sebuah investasi. Kini, Indy semakin tertarik untuk mendengarkan keluh kesah Ozan. Sekaligus ia ingin menggali informasi tentang investasi tersebut.
"Itu loh, Bu. Kemarin sepupu saya dapat kenalan. Jadi, orang itu nawarin investasi dan menjanjikan hasil yang cukup banyak. Eh, dia malah ngilang setelah sepupu saya ngasih uangnya,"
"Duh! Kok ceritanya sama kayak aku, ya," batin Indy. Perasaannya mulai tidak enak.
"Emangnya berapa uang sepupu kamu itu?"
"Sekitar delapan jutalah, Bu. Pas ditelpon nomornya udah gak aktif. Sepupu saya kena tipu, Bu. Dia udah gak punya apa-apa lagi, karena berharap kalau uang delapan juta itu bakal dapat keuntungan yang gede."
"Siapa nama orang itu?"
"Namanya Darma. Kenapa? Ibu kenal, ya?"
"Loh. Kok lain, ya?" Indy bergeming, tapi masih bisa ditangkap oleh telinga Ozan.
"Apanya yang lain, Bu?"
"Eh! Ini, Zan. Sebenarnya aku juga ada ikut investasi begituan sih, tapi nomor orang yang ngajak aku itu juga mendadak gak aktif. Udah empat hari malah,"
"Loh! Jangan-jangan Ibu ditipu juga,"
Perkataan Ozan sontak membuat bulu kuduk Indy meremang. Apakah benar jika harta benda Indy sudah dibawa kabur? Namun, keduanya memiliki nama yang berbeda.
"Aku mikirnya sih kalau dia belum berhasil aja nyairin uangnya, tapi dengar cerita kamu kok aku jadi takut ya, Zan?"
"Emang siapa namanya, Bu? Kalau Darma juga, ya, udah pasti itu orang yang sama dan Ibu kena tipu,"
"Bukan, Zan. Namanya Gilang,"
"Oh, ya? Beda, Bu. Ah, saya baru ingat. Sepupu saya tadi sempat kirim fotonya,"
"Mana? Coba lihat. Cepetan, Zan!"
Karena didesak Indy, akhirnya Ozan gegas meraba saku bajunya dan mencari gambar orang yang dimaksud. Ozan pun menunjukkan ponselnya tepat di depan wajah Indy.
"Ini, Bu,"
Degh!
Indy sontak membisu di tempat.
Gambar seorang lelaki yang tertera di ponsel Ozan tak lain dan tak bukan adalah wajah Gilang. Sepasang mata Indy membola. Merasa tak percaya dengan apa yang ia lihat saat ini.
"Kamu gak salah, Zan?"
"Engga. Emangnya kenapa, Bu?"
"Ini Namanya Gilang, bukan Darma,"
"Orang dia ngakunya ke sepupu saya Darma kok, Bu,"
Kepala Indy mendadak pusing. Kini, dia mulai berspekulasi yang tidak-tidak tentang Gilang.
"Ya, ampun! Dia orang yang sama, Zan. Dia juga ngajak saya investasi kemarin. Saya kasih gelang dan uang sebanyak 10 juta. Argh! Pasti dia udah kabur,"
Indy meremas rambutnya sendiri tanda frustasi. Sebelumnya Indy masih mengira jika Gilang belum berhasil mencairkan uangnya. Namun setelah mendengar cerita Ozan serta melihat foto tersebut, barulah Indy percaya jika dirinya sudah ditipu.
"Astaga! Ternyata Ibu juga jadi korbannya? Kurang ajar banget tuh orang, tapi kenapa dia ngaku dengan nama yang berbeda ya, Bu?"
"Mungkin dia sengaja ngelakuin itu supaya identitasnya gak diketahui, Zan,"
Ozan manggut-manggut tanda mengerti. Dia begitu prihatin terhadap nasib Indy yang juga menjadi korban kejahatan Gilang.
"Ah, sudahlah, Zan. Aku mau masuk dulu," ucap Indy tanpa menunggu respon lawan bicaranya.
Indy benar-benar terjerat sial. Dia jadi menyesal, karena sudah menuruti perkataan Gilang untuk bermain ranjang dengannya serta menyerahkan harta bendanya. Kini, Indy harus kehilangan semuanya, termasuk Dito. Ini yang dinamakan sudah jatuh tertimpa tangga pula. Gilang palsu berhasil menghancurkan hidupnya.
***
Bersambung