Seperti malam biasanya, Dito selalu mengujungi kamar selingkuhannya di saat Ira tengah tertidur pulas.
Indy melingkarkan lengannya ke tubuh Dito dan menempelkan kepalanya di dada bidang lelaki tersebut. Malam ini Indy ingin menyampaikan isi hatinya.
"Mas," lirih Indy.
"Iya, Sayang?" Dito mengelus rambut wanita itu.
"Aku muak banget kerja di sini. Aku juga sering kesel, karena Ira suka ngatur-ngatur aku. Masak makananlah, siram bungalah. Pokoknya ada aja deh yang dia suruh," keluh Indy. Bibirnya menjungkit tanda sebal.
"Ya, gimana, Sayang? Itukan emang tugas kamu. Kita sudah sepakat di awal, kan?"
"Ih! Mas bela perempuan tua itu?" Seketika Indy bangkit dari pembaringan dan menghentakkan kedua tangan di kasur.
Dito mengikuti posisi Indy. Ia meraba pipi kekasihnya penuh hangat.
"Bukan gitu maksudnya, Sayang. Semua ini supaya kita bisa dekat dan Ira gak curiga." Dito mencoba menjelaskan.
Sejujurnya Indy iri dengan posisi Ira sebagai istri sah Dito. Indy ingin dialah nyonya besar di rumah itu. Ia juga ingin memiliki pembantu yang bisa disuruh kapan saja. Indy menginginkan apa yang ada di diri Inah menjadi miliknya, termasuk Dito.
"Besok bawa aku jalan-jalan, Mas. Aku capek kalau harus kerja terus. Malah rumah kamu besar banget," pinta Indy dengan wajah khas orang memelas.
"Kalau Ira tahu gimana?"
"Dia gak bakal tahu. Ya, kalau dia tanya aku tinggal bilang ada urusan penting di luar. Gak mungkin dong dia kepo sama urusanku,"
Dito menimbang-nimbang ucapan Indy, sebelum akhirnya ia menganggukkan kepala.
"Ya, sudah. Kalau itu mau kamu,"
Indy kegirangan mendengar jawaban Dito. Akhirnya dia bisa keluar rumah lagi setelah Ira membawanya ke mall sebulan lalu. Indy sudah berandai-andai ingin membeli barang-barang seperti apa. Dito harus membayar jasanya selama ini.
Keduanya pun tertidur pulas setelah puas bercerita dan bersenggama. Hingga menjelang subuh, Dito kembali ke kamarnya agar tidak ketahuan oleh Ira.
Namun, Dito merasakan aura tidak enak di sana. Dilihatnya bibir Ira yang mengering serta menggeletuk. Dito meletakkan telapak tangannya di leher Ira.
"Ya, ampun. Ira demam lagi," gerutunya kesal.
Dito tidak tahu kapan perempuan itu mulai sakit. Seingatnya Ira memang ada mengeluh sebelum mereka mendaratkan tubuh di ranjang tadi malam.
"Gimana mau pergi kalau Ira sakit begini," gemingnya.
Dito tidak berniat untuk membangunkan perempuan itu dan memintanya makan. Dito kembali melanjutkan tidurnya hingga pagi menjelang.
"Ma- Mas…" Suara Ira menyapa Dito lebih dulu.
Dito terbangun dan mendapati istrinya bak mayat hidup. Wajah Ira pucat pasi serta keringat menetes dari pelipisnya.
"Ira, kamu kenapa?" tanya Dito pura-pura tidak tahu.
"Mas. Badanku gak enak banget. Kayaknya aku demam deh." Ira memegang dahinya sendiri.
"Masak sih?"
"Iya, Mas. Tolong suruh Tini untuk buat bubur ayam ya, Mas,"
"Iya-iya,"
Dito turun dari kasur dan menuju kamar Indy. Berhubung Ira sudah bangun, jadi Dito tidak berani menyembulkan diri ke dalamnya. Dia hanya memanggil wanita itu melalui pusat pintu.
"Indy. Sini!" Dito meliurkan kelima jarinya.
"Apa, Mas? Kamu dong yang ke sini,"
"Gak bisa, Ira sudah bangun,"
Indy berdecak kesal. Meski begitu, ia tetap mengindahkan perkataan Dito dan menyusulnya di ambang pintu.
"Ira sakit dan minta dibuatin bubur sama kamu,"
"Hah, sejak kapan dia sakit?" Dahi Indy berkedut.
"Gak tahu. Mungkin tadi malam. Mas juga bingung gimana kita mau pergi, ya,"
"Loh! Gak bisa gitu dong, Mas. Kan, Mas udah janji sama aku." Indy begitu kaget mendengar perkataan Dito.
"Siapa yang bakal jagain Ira coba?"
"Ngapain Mas peduli sama dia, sih?"
"Bukan gitu, Indy. Nanti Ira bisa curiga,"
"Ah, Mas! Selalu itu alasannya. Aku gak mau tahu, pokoknya aku mau tetap keluar hari ini,"
Dengan egoisnya Indy tetap memaksakan kehendak. Ia lupa dengan Ira yang kala itu pernah merawatnya saat sakit. Indy beranjak ke dapur dan membuatkan bubur untuk Ira. Ia meminta agar Dito mengantarkan makanan tersebut untuk istrinya.
"Setelah kamu antar bubur ini, kita keluar ya, Mas," pinta Indy.
Dito tak bisa berbuat banyak selain menuruti kemauan selingkuhannya. Ia melakukan ini, karena Dito memang tidak mencintai Ira. Dito tak peduli bagaimana kondisi wanita itu saat ditinggal sendirian di rumah. Namun Dito berharap, semoga Ira tidak curiga dengan menghilangnya Indy.
***
13:00
Ira mencoba keluar dari kamarnya setelah tubuhnya terasa lebih ringan. Untungnya Ira masih memiliki stok obat, sehingga ia tak perlu menghubungi dokter.
Lagi-lagi Ira dikagetkan dengan kondisi rumah yang berantakan. Ira langsung mencari keberadaan Indy di kamarnya, karena menyangka jika perempan itu sedang memainkan ponsel seperti kemarin.
"Loh! Kok gak ada?"
Ira kaget saat tidak melihat Indy di kamarnya. Ira pun bergerak ke dapur dengan sisa tenaganya.
"Ya, ampun. Piring-piring belum dicuci," batin Ira.
Ira juga merasa bahwa lantai yang dia injak masih kotor serta meja makan yang penuh debu. Ira menyangka ada yang tidak beres dengan pembantunya. Indy terlihat lebih malas setelah Ira selalu memanjakannya akhir-akhir ini.
"Tini!" panggil Ira.
Ira berangsur dari belakang ke depan. Ia juga mengitari seluruh kawasan rumah untuk mencari keberadaan pembantunya.
"Ke mana Tini? Dia juga gak ada nunjukin batang hidung sejak tadi pagi," gumam Ira sekali lagi.
Ira pun memilih untuk menghubungi Indy via telepon. Sayangnya, perempuan itu tak mengangkat panggilan meskipun tersambung. Ira jadi semakin penasaran. Tidak biasanya Indy keluar tanpa izin.
Ira bukan tipikal orang yang suka dengan suasana kotor. Setelah dua jam menanti kehadiran Indy, tapi perempuan itu tak kunjung datang, akhirnya Ira memutuskan untuk membersihkan rumah.
Ira memesan makanan online sebagai asupan sebelum bertempur. Ia memulai pekerjaannya dengan mencuci piring terlebih dahulu.
"Duh! Kepalaku masih suka pusing," keluh Ira, tapi tetap melanjutkan kegiatannya.
Sejenak Ira mengistirahatkan diri sebelum akhirnya ia kembali melanjutkan pekerjaan. Ira menyapu dan mengepel bangunan luas tersebut sambil menahan sesak di dadanya.
***
"Mas. Aku mau tas itu." Tunjuk seorang wanita pada benda bewarna hitam pekat.
Saat ini Indy dan Dito sedang berada di sebuah mall terbesar di kota mereka. Keduanya berangkat pada pukul 10 pagi dan masih berada di sini hingga pukul 13:30. Indy tiada henti-hentinya menyinggahi setiap toko. Bahkan, mereka sampai menyewa jasa pembawa barang saking banyaknya membeli benda-benda di mall.
"Sayang. Mas capek nih. Kita belum ada istirahat dari tadi." Dito mulai kelelahan. Tiga jam sudah ia menemani Indy berkeliling.
"Ih, baru juga sebentar. Sabar dong, Mas. Sesekali loh aku keluar," balas Indy tak ingin kalah. Ia terus saja mengambil barang-barang yang diinginkan.
Indy tahu bahwa sejak tadi Ira menghubunginya. Indy juga sengaja tidak merespon panggilan perempuan itu. Dia akan membuat alasan setelah bertemu Ira nanti.
"Andai aja aku jadi istri satu-satunya Mas Dito. Pasti setiap hari bisa foya-foya kayak gini dan gak perlu kerja jadi pembantu. Mulai sekarang aku harus mikirin gimana caranya menyingkirkan Ira si perempuan kampungan itu." Tiba-tiba saja Indy terpancing untuk segera melancarkan aksinya.
***
Bersambung