Ira bergegas menghampiri Indy ketika ia melihat wanita itu nangkring di dapur. Baru saja Ira hendak melaporkan hilangnya Indy dari rumah mereka pada Dito. Rupanya perempuan berkulit putih itu sudah muncul lebih dulu.
"Tini. Kamu dari mana aja?" tanya Ira tak sabaran.
Agak tersentak karena bersuara di tengah keheningan. Indy langsung berbalik badan dan menghentikan aktivitas memasaknya barang sejenak.
"Ck! Buat kaget aja," batin Indy.
"Maaf, Bu. Aku kemarin ada urusan," jawab Indy.
"Urusan apa? Kamu hilang dari pagi sampai malam loh,"
Rupanya Ira tak ingin mengubur rasa penasarannya terhadap Indy. Ia tak akan berhenti mengoceh sebelum wanita itu menjawab pertanyaan.
"Anu, Bu," Indy bingung. "A- aku jenguk temen sakit," jawabnya asal. Indy kira Ira tak akan kepo dengan urusannya.
"Di mana dan kenapa bisa selama itu?"
"Di rumah sakit, Bu. Temen aku sebatang kara. Jadi, ga tega ninggalin dia," bohong Indy. Padahal dia tengah bersenang-senang dengan suami majikannya sendiri.
Ira geleng-geleng kepala. Indy menjenguk orang sakit, sementara ia mengabaikan majikannya yang juga sama-sama sakit.
"Kenapa kamu gak angkat telepon dari Ibu?"
"Sekali lagi maaf ya, Bu. Aku gak ada lihat Hp." Indy kembali berdusta.
"Tini. Lain kali kalau mau pergi kamu harus lihat situasi rumah dulu, ya. Kamu ninggalin rumah dalam keadaan kotor. Ibu juga sakit loh kemarin dan Ibu bersihin rumah sendirian. Kamu juga kalau ditelepon itu diangkat dong. Kalau gitu Ibu kan gak kecarian." Ira mengeluarkan unek-uneknya terhadap prilaku Indy. Tak ingin kejadian yang sama terulang kembali.
Indy hanya bisa menggerutu kesal di dalam hati. Ingin melawan, tapi ia belum memiliki kekuatan. Indy tak ingin gegabah. Dia harus menunggu saat-saat lemah Ira.
"Iya, Bu," balas Indy irit bicara. Ia tak sudi menatap wajah Ira.
"Ya, sudah. Jangan diulangi lagi, ya! Kamu lanjut kerja gih,"
Ira meninggalkan Indy yang saat itu juga membalik tubuhnya menghadap kuali. Indy mengaduk masakan penuh emosi. Entah kapan posisi Ira bisa diraihnya dan perempuan itulah yang menjadi pembantu di rumahnya sendiri.
"Hah! Awas kamu, Ira," umpat Indy setelah kepergian Ira.
***
"Aaaaakh! Aku seneng banget,"
Seketika Ira berhenti saat mendengar teriakan Indy dari dalam kamarnya.
"Kenapa dia?" gumam Ira. Ia pun menempelkan telinga pada daun pintu.
Dari situlah Ira dapat dengan jelas mendengar segala macam perkataan asistennya. Tidak tahu entah apa objek yang tengah dibicarakan.
"Kalau gini aku kan bisa tampil lebih cantik dari biasanya,"
"Tapi mau ke mana, ya? Aku aja jarang keluar. Ah, masa bodohlah, karena yang penting aku udah punya semua barang-barang ini,"
"Barang-barang?" Ira membatin.
"Pasti aku tampil elegan kalau pakai dress hitam ini,"
Ira terus saja menguping Indy yang sedang berbicara pada dirinya sendiri. Lama-lama Ira jadi penasaran. Dia pun berencana untuk melihat barang apa yang dimaksud oleh Indy.
"Tini!"
Tok! Tok! Tok!
"Iya, Bu?" Indy menyahut dari dalam sana.
"Tolong kamu sapu halaman, ya,"
Ira menjauhkan diri dari kamar Indy, tapi bukan berarti dia pergi. Sengaja Ira menanti kepergian gadis berhidung mancung itu agar dia dapat masuk ke kamarnya.
Selang beberapa waktu kemudian, tampak Indy keluar kamar sambil mencepol rambutnya. Ira langsung beraksi, tatkala Indy benar-benar menghilang.
"Hah?"
Ira membeliak kaget saat dia menemukan banyak barang berserakan di atas ranjang Indy. Ada berbagai jenis pakaian wanita, kosmetik, tas, sepatu dan benda-benda lain. Ira duduk di kasur pembantunya guna melihat barang tersebut lebih dekat lagi.
"Dari mana dia punya uang? Ini kan mahal,"
Ira tahu bagaimana kondisi keuangan Indy. Wanita itu hanya mampu membeli barang-barang non merk. Pasti telah ada yang memberinya uang, makanya Indy bisa berbelanja.
"Sebenarnya Tini dari mana sih? Jenguk temen atau belanja?" Ira semakin penasaran dengan Indy.
Tak ingin ketahuan, karena sudah masuk kamar tanpa izin, akhirnya Ira keluar sebelum rasa ingin tahunya usai.
***
Malam ini Dito pulang cepat dari cafenya, karena ia ingin beristirahat lebih awal. Dito juga memilih untuk makan di rumah bersama sang istri.
Kltak…
Mangkuk yang dihidangkan oleh Indy beradu dengan meja.
Ira memerhatikan pembantunya itu penuh tanda tanya. Kecurigaan yang pernah hilang, kini perlahan tumbuh. Indy seperti orang yang sedang menyembunyikan sesuatu.
"Tini," panggil Ira.
Indy tak menyahut. Ia hanya menolehkan wajah pada Ira sebagai bentuk jawaban.
"Kamu dari mana kemarin?" Ira mengulang pertanyaan yang sama.
"Dari rumah temen, Bu,"
"Yakin cuma dari sana?" Ira menatap pembantunya penuh selidik.
Dito pun sontak dibuat kaget dengan pertanyaan istrinya. Kenapa Ira jadi ikut campur dengan urusan orang lain? Dito khawatir, jika sebenarnya Ira sudah tahu tentang rahasia mereka.
"Bener, Bu. Kan, Ibu udah nanya tadi siang." Begitupun dengan Indy. Parasnya spontan tegang.
"Ya, sudah. Ibu cuma tanya itu doang. Kirain kamu habis belanja seharian,"
Degh!
Dito dan Indy saling tatap. Sindiran Ira menyadarkan keduanya.
"Makan apa yang udah ada di depan, Ira. Gak baik banyak bicara gitu." Tiba-tiba Dito menyela. Ia ingin menyelamatkan Indy dari pertanyaan istrinya.
"Kamu boleh pergi," ucap Ira seraya mengibaskan telapak tangan.
"Kamu kenapa nanya gitu ke Tini?" Kini, giliran Dito yang mengintrogasi Ira.
Wanita berdaster itu membenakan posisi duduk. Sambil menyuapkan nasi ke mulut, ia membalas ucapan suaminya. "Aku heran sama Tini,"
"Kenapa?"
"Kemarin dia hilang seharian dengan alasan jenguk temen sakit, tapi aku liat di kamarnya banyak barang-barang baru, Mas,"
"Mati aku!" Dito berseru dalam hati.
"Kamu masuk ke kamarnya?"
"Iya. Gak ada salahnya juga, kan? Meskipun itu kamar Tini, selagi masih di dalam rumah ini, maka itu jadi hak kita juga, Mas,"
Dito membenarkan ucapan Ira. Oleh karena itu ia hanya berdehem tanpa membantah.
"Kayaknya Tini bohong deh, Mas. Dia pasti ketemu pacarnya kemarin,"
Kembali Dito dibuat keringat dingin oleh ucapan istrinya. Dito tidak tahu apakah Ira benar-benar polos atau perkataannya merupakan sebuah sindirian.
"Mau bohong atau enggaknya, biarkan itu jadi urusan dia, Ira. Ngapain kamu yang ikut campur," kata Dito tak suka.
"Iya, Mas. Aku tahu, tapi gara-gara itu aku jadi kerja sendirian di rumah. Tini kutelepon gak diangkat,"
"Nanti aku bakal tegur dia. Satu lagi, kamu jangan suka urusin hidup orang ya, Ira. Mas gak ingin punya istri kayak begitu. Fokus aja sama diri kamu,"
"Iya, Mas,"
Sampai sekarang Ira belum menaruh curiga terhadap suaminya sendiri. Segala perkataan Dito ia anggap sebagai bentuk nasihat.
Sedangkan Dito harus buru-buru mengabarkan hal ini pada selingkuhannya. Ia tak mau Indy gegabah dengan meninggalkan kamar tanpa terkunci.
"Mas. Kenapa melamun? Habisin tuh makananya." Ira menyenggol bahu Dito dan saat itu juga ia langsung tersadar.
***
Bersambung