Tak terasa dua bulan sudah Ira mengabdikan diri pada suami dan madunya. Tubuh wanita malang itu begitu kering kerontang. Mata cekung serta pipi tirus menjadi saksi bisu atas kekejaman dua manusia yang kerap menyiksanya.
Kamar Ira juga sudah dipindahkan. Ia tidur di tempat Indy alias kamar pembantu. Indy dan Dito tak ada bedanya dengan pasangan suami istri. Mereka ke mana-mana berdua, tidur bersama, bahkan mulai menata masa depan. Ira tidak tahu kapan mereka akan menikah. Yang jelas, Ira sering mendengar jika keduanya mengangan-angankan seorang anak lelaki.
Indy juga sudah menjadi perempuan yang bebas. Ia dihadiahi sebuah mobil untuk berpergian ke mana pun Indy mau. Dito memperlakukannya bak ratu. Hal itu semakin membuat Indy menjadi besar kepala.
Pagi ini Indy merengek minta ikut ke café. Sudah berbulan-bulan ia tak pernah mengunjungi tempat itu semenjak tinggal di kediaman Dito.
"Ayo, Mas!" Indy menarik pergelangan tangan Dito.
Keduanya mengendarai sebuah mobil menuju café. Untungnya orang tua Dito tak pernah bertanya masalah rumah tangganya. Mereka mengira bahwa anak-anaknya dalam keadaan baik.
"Akhirnya sampai juga," ucap Indy setelah dirinya dan Dito berkendara selama 20 menit.
Indy mengeluarkan kakinya dari mobil dengan adegan slowmo. Ia berjalan penuh kecongkakan. Tubuh Indy semakin berisi karena hidupnya bahagia bersama Dito. Tanpa segan-segan ia merangkul lengan pria itu.
Seluruh pekerja café terperangah saat melihat kehadiran Indy. Selama ini mereka tidak mendengar bagaimana kabar wanita tersebut, bahkan tak ada yang mengetahui jika Indy menetap di rumah Dito.
Indy berjalan dengan membusungkan dada dan dagu yang sedikit maju. Matanya melirik para pegawai dari ujung kaki hingga rambut.
"Ngapain kalian lihat-lihat aku?" tanya Indy sinis.
Karyawan di sana masih tak percaya dengan apa yang mereka lihat, terlebih saat Indy bersuara. Perempuan itu dikenal sebagai wanita yang ramah dan memiliki keuletan dalam bekerja. Siapa sangka jika perangainya berubah setelah beberapa bulan tidak berjumpa.
"Pasti mereka heran lihat penampilanku," batin Indy. Ia memutar bola mata.
Beberapa pekerja berkumpul seberes kepergian Indy dan Dito. Ada sesuatu yang membuat batin mereka bertanya-tanya.
"Eh, kenapa Indy bisa barengan sama Pak Dito? Mesra lagi. Apa mereka pacaran?" tanya seorang wanita berambut ikal.
"Gak tahu, tapi gimana sama istri Pak Dito?" ucap karyawan lainnya.
Pekerja di sana tidak terlalu mengenal Ira, meskipun tahu seperti apa wujudnya. Selama ini Ira jarang ke café, karena ia merasa malas dan tak ingin ikut campur urusan bisnis suaminya.
"Mungkin Pak Dito udah cerai sama istrinya,"
"Indy sombong banget sekarang. Padahal dulu kita sering tolongin dia, ya." Pekerja rambut ikal kembali bersuara.
"Iya. Aku ingat banget pernah ngasih hutangan sewaktu Indy dicopet,"
Tak ada yang menyangka jika teman mereka mendadak berubah seperti itu. Beberapa menit mengobrol, akhirnya para karyawan café memutuskan untuk kembali bekerja.
Tengah hari setelah menyantap makan siang, Indy keluar dari ruangan pribadi Dito. Ia ingin mengenang kejadian beberapa bulan silam. Di mana dirinya harus mondar mandir melayani para tamu.
"Beruntung banget nasibku," geming Indy seraya menyelipkan anak rambutnya ke belakang telinga.
Indy memerhatikan salah seorang karyawan wanita yang dahulu pernah memarahinya. Dia melangkahkan kaki ke arah sosok tersebut.
"Cika!" panggil Indy.
Cika menoleh, kemudian tersenyum menatap Indy.
"Iya?" jawabnya.
"Kamu kupecat!"
Degh!
Wanita berambut panjang itu memiringkan kepalanya guna lebih dekat pada bibir Indy. Mimpi apa dia kemarin sehingga hari ini mendengar penuturan semacam itu? Cika tak percaya. Ia menganggap bahwa Indy sedang bercanda dengannya.
"Nanti aja kalau mau bercanda ya, Indy. Aku masih riweh nih," jawab Cika, lalu berangsur ke belakang.
Sepasang alis Indy saling bertautan. Dia sedang tidak main-main saat ini. Dikejarnya Cika hingga dapur café.
"Lancang kamu, ya!" Indy menarik rambut Cika.
"Eh, kenapa?"
Cika yang mendapat perlakuan sedemikian rupa lantas saja menjadi kaget. Sepertinya Indy tidak bercanda dengan ucapannya.
"Kenapa kamu bilang?"
Beberapa karyawan yang melihat kejadian tersebut langsung berkumpul di dapur. Mereka menyaksikan apa yang dilakukan oleh Indy terhadap Cika.
"Kamu kenapa, Indy?" tanya Cika kebingungan.
"Jangan lancang kamu! Panggil aku Ibu Indy." Indy meletakkan kedua tangannya di pinggang.
Tentu saja tingkah konyol Indy mengundang tawa diantara beberapa karyawan. Mereka menganggap jika Indy sudah gila jabatan.
"DIAM!" Indy mengamuk saat tahu bahwa dirinya sedang ditertawakan. "Kalian kira aku gila apa! Dengar, ya. Mulai sekarang akulah yang berkuasa atas café ini. Kalian gak berhak melawan apalagi nertawain aku kayak tadi," lanjutnya mulai serius.
"Dan, kamu Cika! Aku ingat banget dulu kamu pernah marahin aku gara-gara aku terlambat datang. Sekarang aku mau balas dendam sama kamu,"
Semua yang berada di sana sontak terdiam. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, tapi Indy berkata penuh keseriusan.
"Aku marah karena ada sebab," ucap Cika tak terima.
"Gak peduli! Intinya kamu kupecat,"
Cika tak mengerti dengan kondisi otak Indy saat ini. Oleh karena itu, dia berlari ke ruangan pribadi Dito dan segera mengetuk pintunya. Di belakang sana, Indy serta beberapa karyawan mengekor. Penasaran dengan apa yang terjadi setelahnya.
Dito keluar ruangan setelah mendengar suara pintu yang diketuk. Dia heran melihat beberapa karyawan sudah ngumpul di hadapannya.
"Ada apa?" tanya Tirta bingung. Ia semakin tak mengerti saat melihat Cindy di sana.
"Aku baru aja pecat si Cika, Mas. Eh, malah dia gak terima,"
"Mas?" bisik para pekerja. Seingat mereka Indy memanggil Dito dengan sebutan Bapak.
"Kenapa kamu pecat dia?"
"Ya, karena aku gak suka aja. Dulu dia pernah marahin aku, Mas,"
"Ya, sudah kalau memang begitu keputusannya,"
Dito segera kembali ke ruangannya tanpa ingin mendengar jawaban sang korban. Dito juga tahu, jika ia banyak berbicara pasti Indy akan ngambek.
"Kalian dengar sendiri, kan? Silahkan pergi dari sini, Cika,"
Indy menarik rambut Cika hingga kuncirnya terlepas. Ia menyeret Cika ke luar dalam keadaan kepala miring. Seluruh pengunjung café menjadi heboh melihat kelakuan anarkis Indy, bahkan diantara mereka ada yang mengambil videonya untuk disebarluaskan.
"Mampus. Hahaha,"
Indy tertawa puas setelah sukses mendorong tubuh Cika hingga perempuan itu nungging di kakinya. Tindakan bodoh Indy membuat para pekerja benar-benar ketakutan. Buru-buru mereka kembali bekerja agar tidak menjadi korban selanjutnya.
***
Indy pulang lebih dulu, karena merasa energinya sudah terkuras banyak untuk memarahi seluruh karyawan café. Seharian ini kerjaan Indy hanya mencari-cari kesalahan mereka. Walaupun banyak yang mencibir, semua itu tak menjadikan mental Indy down. Ia merasa berkuasa dan paling tinggi di atas segalanya.
Indy sudah menyiapkan hadiah untuk Ira. Tak puas menyakiti hati para pekerja café, Indy juga ingin menambah kekesalan pada manusia baru. Indy menemui Inah yang sedang makan di dapur. Ia menyerahkan sebuah paper bag bewarna merah muda.
"Hadiah buat kamu," ucap Indy.
Ira mengerutkan wajah, seakan tak percaya dengan ucapan Indy.
"Ambil aja. Mumpung aku lagi baik nih. Itu baju buat kamu,"
Ira meraih paper bag lalu mengintip isinya. Sepasang sudut bibir wanita itu melengkung ketika menyaksikan kain biru di dalamnya. Ternyata Indy tidak berbohong. Dia benar-benar membelikan Ira pakaian.
Ira pun membuka paper bag dan mengambil isinya. Betapa kagetnya Ira ketika kain biru itu sudah terbentang lebar. Ternyata itu adalah sebuah kain lap yang Indy peroleh dari café. Dia sengaja mengerjain Inah.
"Indy. Tega sekali kamu bohongin aku," ucap Ira sedih. Padahal dia sudah berharap jika Indy benar-benar membelikannya baju baru.
***
Bersambung