Sama seperti Ira, Indy juga merupakan anak yatim piatu semenjak kecil. Dia terbiasa bekerja dan mengontrak sana sini sebelum akhirnya bekerja di sebuah café, lalu bertemu Dito. Wajar saja jika Indy enggan kembali pada masa-masa buruk tersebut.
"Ya, sudah. Mas bakal cari kontrakan buat kamu, ya." Dito berusaha mendinginkan hati Indy.
"Loh! Kok ngontrak sih, Mas? Aku mau dibeliin rumah satulah. Aku gak mau kalah dari Ira." Bibir Indy manyun tatkala perkataan Dito tak sesuai dengan hatinya.
"Iya-iya. Kita cari rumah sekarang, ya,"
Dito dan Indy keluar ruangan guna menuju lapak parkir. Indy begitu bahagia, karena hubungan mereka tak mampu terpisahkan meskipun orang tua Dito telah turun tangan. Selain itu, Indy merasa masalah kemarin membawa keberuntungan tersendiri untuknya. Sekarang Indy bisa menikmati rumah baru dan atas namanya sendiri.
Sengaja mereka mencari gedung yang agak jauh dari kediaman Dito. Keduanya tak ingin kembali ketahuan.
Dito pun meninggalkan Indy dan kembali ke café setelah mereka berhasil menemukan rumah baru. Sebuah bangunan berukuran luas yang hanya ditempati oleh Indy seorang.
"Makasih banyak ya, Mas. Aku seneng banget." Indy melompat-lompat bak anak kecil.
"Iya, Sayang. Mas pergi dulu, ya,"
Dito melenggang seusai menyelesaikan kegiatannya bersama Indy. Dia belum berani terlalu lama meninggalkan café. Siapa yang bisa menjamin jika Alin dan Yugi tidak mengunjunginya di sana.
***
Dito pulang lebih awal, karena orang tuanya yang meminta. Tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh Alin dan Yugi. Dito hanya mencoba patuh agar tidak terjadi masalah baru.
Sesampainya di rumah, Dito menemukan seluruh keluarganya berkumpul di ruang tamu. Sepertinya tinggal kehadiran Dito yang mereka tunggu.
"Ira. Suami kamu udah pulang tuh. Cium dong tangannya," ucap Alin. Sengaja ia menerapkan kebiasaan baru diantara Ira dan Dito.
Sebenarnya hal itu memang kerap mereka lakukan. Namun, semenjak Dito ketahuan pacaran dengan Indy, Ira tak lagi memedulikan kegiatan tersebut. Lagi pula, kala itu Dito tak sudi berdekatan dengan dirinya.
Tanpa senyuman Ira menempelkan bibirnya ke punggung tangan Dito. Sedikit grogi, karena mereka sudah lama tidak melakukannya.
"Nah, sekarang Dito cium dahi istri kamu," kata Alin lagi.
"Ck! Sialan," gumam Dito tanpa diketahui oleh siapapun.
Bersamaan dengan itu Dito langsung mengecup singkah kening Ira. Sesungguhnya dia begitu kesal dengan perintah Alin, tapi tak mampu membangkang.
"Begitukan bagus," timpal Yugi tersenyum puas.
"Ya, sudah. Ayo, kita berangkat!"
Dito tersentak ketika keluarganya berlomba-lomba menuju pintu utama. Dia baru saja pulang, tapi kenapa sudah harus pergi lagi.
"Mau ke mana?" tanya Dito.
"Kita mau makan malam. Ayo!"
Sudah cukup bagi Alin dan Yugi untuk memarahi putra mereka. Kini, saatnya menyatukan Ira dan Dito kembali. Mereka tak akan pulang ke rumah sebelum anak-anaknya akur.
"Kenapa gak di rumah aja, Ma?" Dito belum juga berangkat dari posisinya.
"Sudahlah, Dito. Kamu jangan banyak tanya,"
Lelaki bertubuh jangkung itu mendengus kesal. Dengan malas, Dito melangkahkan kakinya guna mengekori tiga manusia di depan sana.
Seusai melewati keramaian Kota, mereka tiba di sebuah restoran bintang lima dengan tema out door. Tak ada siapapun di sana. Dito sampai heran kenapa tempat sebagus itu terlalu sepi.
Dito tak banyak tanya. Dia hanya mengikuti ke mana Alin dan Yugi membawanya pergi. Begitupun dengan Ira.
"Sebenarnya kita bisa aja sih makan di café kamu, tapi semua ini biar berbeda aja," kata Alin setelah mereka duduk.
"Baguslah! Aku juga gak mau kalau sampai Ira datang ke cafeku," balas Dito dalam hati.
"Kami juga sengaja booking restoran ini untuk kita aja," imbuh Yugi.
"Hah, kenapa, Pa?" Dito dibingungkan dengan keputusan orang tuanya.
Belum sempat menjawab pertanyaan Dito, dua orang pelayan menghampiri meja mereka untuk menghidangkan makanan. Ternyata Alin dan Yugi telah menyiapkan semuanya dengan matang.
"Dito. Suapan pertama kamu kasih buat Ira, ya." Lagi-lagi Alin menginterupsi.
Sekarang Dito mengerti maksud orang tuanya berbuat demikian. Dito sangat membenci situasi ini. Dia menganggap bahwa Ira akan besar kepala dan diharapkan kehadirannya.
Meski begitu, Dito tak juga dapat berkilah. Dia pun menarik kedua sudut bibir dan memasukkan sendok berisi makanan ke dalam mulut Ira. Dito ingin menciptakan suasana romantis sesuai pemikiran orang tuanya. Semoga saja mereka tak lagi mencurigai Dito.
"Maafin Mas ya, Sayang." Dito berseru lirih.
Alin dan Yugi tersenyum. Sudah lama mereka tidak menyaksikan kemesraan anak serta menantunya. Sedangkan itu, Ira tidak tahu apakah semua ini tulus dari hati Dito atau tidak.
Sedang asyik menikmati makan malam, tiba-tiba datang musisi menghampiri mereka. Pria yang memakai tuxedo coklat itu menyanyikan beberapa lagu romantis sebagai pengiring malam.
Buru-buru Dito menyantap makanannya dan meminta izin untuk pergi ke toilet. Tidak ada misi khusus selain menghindari aktivitas yang menurutnya terlalu berlebihan itu.
"Aku makin muak aja liat muka Ira,"
Di kamar mandi, Dito meluapkan semua emosi terpendamnya. Ia mengepalkan tangan kemudian meninju tembok. Dito kembali ke mejanya setelah dirasa berhasil menumpahkan amarah.
Dito sempat mendengar satu lagu lagi sebelum sang musisi tersebut pergi.
"Gimana? Kalian suka, kan?" tanya Alin antusias pada kedua anaknya.
Ira mengangguk samar serta tersimpul indah. Dia sangat bersyukur bisa memiliki mertua sebaik Alin dan Yugi. Mereka benar-benar memperlakukannya seperti anak sendiri.
"Aku suka banget, Ma. Berasa kayak muda lagi," ucap Dito menutupi kebohongannya.
"Kalian itu harus sering-sering begini. Mama dan Papa aja begitu kok. Iyakan, Mas?"
"Iya, Sayang,"
Yugi menyetujui perkataan istrinya. Dia turut bahagia dapat berkumpul dengan Dito dan Ira. Yugi tidak tahu apakah dia bisa melakukan kegiatan menyenangkan seperti ini lagi, mengingat usia tak lagi muda. Yugi hanya berusaha untuk menikmati momen-momen terakhir bersama keluarga.
"Iya, Ma, Pa. Aku bakal sering ajak Ira jalan-jalan," kata Dito.
"Bagus dong! Kalau begitu, Ira besok ikut kamu ke café, ya,"
Degh!
Dito tertohok akibat ucapannya sendiri. Rupanya Alin mengambil kesempatan atas hal tersebut. Dito berpikir keras. Selama ini dia sudah membawa Indy ke café. Lalu, apa kata para karyawannya jika Ira juga mendadak nangkring di sana?
"Ira di rumah aja nemeni Papa dan Mama. Nanti aku pasti bawa Ira ke café kok. Lagian, di café lagi numpuk kerjaan. Aku khawatir gak bisa bagi waktu sama Ira." Dito berkilah. Bagaimana pun juga dia harus membatalkan rencana Alin.
"Ngapain ditemenin? Kami kan berdua," jawab Yugi.
Dito dibuat pusing oleh kehadiran orang tuanya. Baginya, Alin dan Yugi terlalu menuntut banyak atas rumah tangga yang ia jalani.
"Emangnya kamu mau dibawa ke café, Ira?" Dito melabuhkan pandangan pada istrinya. Perasaannya campur aduk, berharap Ira akan menjawab dengan kata "tidak".
***
Bersambung