Pemilik rumah megah yang bernama Abdi tersebut meminta agar Indy sekaligus merangkap menjadi pembantu di sana. Abdi tak ingin kediamannya dipenuhi beberapa orang asing. Akibat sangat membutuhkan uang, akhirnya Indy menerima tawaran tersebut meskipun tugas yang ia jalani akan semakin berat. Abdi menjanjikan akan memberi bulanan sebesar 10 juta kepada Indy atas kerja kerasnya.
Pagi ini Indy sampai lupa sarapan demi aktivitas baru yang ia geluti. Indy tidak boleh terlambat. Bisa-bisa ia kehilangan pekerjaan dan tak bisa makan. Beruntung, karena Abdi sudah memberi uang muka kepada Indy, sehingga wanita itu bisa memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Saat ini Indy sudah tiba di rumah Abdi. Rupanya ada tiga manusia yang menghuni tempat itu, yakni Abdi, anak serta ibunya. Indy memandang ruangan yang begitu kotor. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Uga, anak laki-laki Abdi. Indy menyugar rambutnya ke belakang seraya membuang napas. Mulai hari ini dia harus bergaul dengan seorang bocah tengil dan nenek tua.
Tugas yang pertama Indy lakukan adalah memasak. Dia pun mulai mencari bahan-bahan makanan yang sudah disediakan oleh Abdi di dapur. Saat Indy sedang fokus memotong sayuran, tiba-tiba seorang wanita berambut putih mendatanginya.
"Kamu pembantu baru di sini, ya?"
Indy langsung berbalik badan dan menghentikan kegiatan. Dia melihat orang tua tersebut menggendong seorang cucu.
"Iya, Bu," balas Indy.
"Panggil saya Oma,"
"Eh, iya, Oma,"
"Anak saya sudah gaji kamu mahal. Jadi, kamu harus nurutin semua omongan saya!"
Degh!
Seketika perasaan Indy diliputi oleh ketakutan. Indy dapat melihat dari tingkah perempuan tua itu bahwa dia adalah sosok yang begitu cerewet dan tukang ngatur. Kalau tidak demi menyambung hidup, maka Indy tak akan sudi menjadi babu di rumah Abdi.
"Iya, Oma," balas Indy, kemudian kembali melanjutkan kegiatan.
"Siapa nama kamu?"
"Indy,"
"Kamu sudah tahu siapa saya?"
"Sudah. Oma Windi dan Uga, kan?" Indy berbicara sambil meracik bumbu.
Sebelum ia bekerja, Abdi sudah lebih dulu menjelaskan setiap detail bagian rumah serta keluarganya. Jadi, Indy tak perlu bertanya apapun lagi.
Windi beranjak ke tempat lain setelah puas mengobrol dengan Indy. Dilepaskannya Uga di ruang tengah dan membiarkannya bermain.
Selang 20 menit kemudian masakan Indy pun matang. Dia memanggil Windi setelah menghidakan makanan tersebut di meja.
"Kamu jangan ke mana-mana!" kata Windi ketika Indy hendak beringsut.
Windi memerintahkan agar pembantunya itu menemaninya makan, karena Indy harus membantu Uga untuk menyuapkan nasi ke mulutnya.
"Ah, masakanmu ini kurang asin!" Windi buru-buru minum setelah suapan pertama.
Tubuh Indy menggeletar. Baru hari pertama bekerja, tapi Windi sudah mengomentari dirinya. Bagimana jika sebulan ke depan? Mungkin Indy akan dijadikan sup oleh orang tua tersebut.
"Kamu bisa masak gak sih?" tanya Windi.
"Maaf, Oma,"
Tak ada yang dilakukan Indy selain menundukkan wajahnya, sedangkan Windi terus menatapnya dengan tajam.
"Besok kamu harus lebih jeli lagi kalau masak, ya. Awas aja kamu!"
"I- iya, Oma," lirih Indy.
Wanita itu bersyukur karena Windi tak sampai memintanya untuk memasak dua kali. Jika hal itu sampai terjadi, berarti Indy sudah terkena karma atas apa yang pernah ia lakukan pada Ira kala itu.
Indy melanjutkan tugas lain seberes membantu Uga makan. Alangkah kotornya rumah Abdi. Persis seperti bangunan yang sudah lama tak berpenghuni.
"Bibi! Aku mau es krim,"
Entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja Uga sudah sampai di ruang keluarga saat Indy menyapu tempat itu.
"Hah? Panggil Tante aja," kata Indy yang merasa tak terima dipanggil Bibi. Baginya, sebutan seperti itu sangatlah tua.
"Gak mau!" kata Uga melawan.
"Ck!" Indy berdecak sebal. Ia pun memilih mengalah ketimbang harus berdebat dengan bocah cilik.
"Emangnya ada es krim di kulkas?"
"Gak ada. Kita keluar yuk, Bi,"
Lelaki berusia tujuh tahun itu menarik sebelah tangan Indy. Jemari mungilnya terus saja melekat sampai Indy mengambil tindakan.
"Bibi masih beresin rumah, Uga. Nanti aja, ya,"
"Sekarang aja, Bi. Ayo!"
Seketika Uga mencampakkan gagang sapu hingga benda itu jatuh ke lantai. Uga semakin mengencangkan tarikannya, sehingga mau tak mau Indy harus mengekorinya.
"Akh! Nenek sama cucu sama aja," geming Indy.
Bagi anak kecil sinar mentari tak akan terasa. Namun bagi orang dewasa seperti Indy, hal itu tentu saja membuat ia kepanasan. Sang surya menyorot bumi dengan pendar kuningnya. Ingin sekali Indy meninggalkan Uga dan kembali ke rumah untuk berlindung.
Bocah berambut ikal itu pulang dengan perasaan bahagia setelah memeroleh apa yang ia inginkan. Uga pun langsung masuk ke kamar dan mulai memainkan game.
Malangnya, jalan Indy tak semulus Uga. Ia malah dihadang oleh Windi saat hendak menyambung pekerjaan.
"Dari mana kamu, Indy?"
"Dari luar, Oma. Tadi Uga minta temenin buat beli es krim,"
Windi menggelengkan kepalanya berulang kali seraya menarik sepasang sudut bibir. Tangannya tercegak di pinggang.
"Kamu masih nyapu tadi, kan? Tuh, liat! Sampahnya berserakan lagi," kata Windi, lalu menunjuk ruang televisi.
"Maaf, Oma. Aku dipaksa Uga buat temeni dia ke luar,"
"Kamu nyalahin cucuku? Kamu yang gak bisa ngatur anak kecil,"
Indy spontan merasa serba salah. Rupanya hal sekecil itu pun dipermasalahkan oleh Windi.
"Bukan gitu, Oma,"
"Alasan! Kamu jangan sepele dengan kerjaan ini, ya. Bisa-bisa kamu saya pecat!"
"Ampun, Oma. Jangan pecat saya,"
Gegas Indy menangkupkan kedua tangan serta membungkukkan badannya. Gara-gara menuruti keinginan Uga dia jadi terkena imbasnya.
"Awas aja kalau kamu terus-terusan buat salah di sini," ucap Windi kemudian berlalu.
***
"Capek banget sumpah! Gak tahan aku lama-lama begini,"
Indy merebahkan tubuhnya di sofa. Perempuan itu baru saja pulang dari kediaman Abdi untuk menunaikan tugas. 10 hari telah berlalu. Indy benar-benar melakukan seluruh pekerjaannya dengan totalitas.
Indy sering membereskan rumah berulang kali, karena Uga yang tidak bisa menjaga kebersihan. Belum lagi Indy harus memenuhi segala permintaan Windi. Mulai dari menggosokkan tubuhnya saat mandi, mengambilkan makannya hingga mendengarkan segala macam ocehan wanita tua tersebut. Energi Indy benar-benar dikuras habis. Pantas saja Abdi menawarkannya gaji seharga 10 juta. Ternyata pekerjaan itu sangatlah berat. Mungkin hanya akan ada beberapa orang saja yang mampu menunaikannya.
Tepat di hari kesepuluh ini, Indy ingin meluapkan keluh kesahnya pada Dito. Semenjak bekerja, Indy jadi jarang berkomunikasi dengan kekasihnya itu. Indy sudah tidak tahan lagi. Dia mendapat kabar bahwa Dito mulai aktiv di café pasca kecelakaan.
"Lebih baik aku datangi Mas Dito sekarang buat minta uangnya," batin Indy. Dia pun menuju toilet untuk membersihkan tubuh dan pergi ke café Dito. Tidak peduli jika banyak karyawan yang akan menghinanya kembali.
***
Bersambung