Indy merasakan sakit yang luar biasa di kawasan pipinya. Sebenarnya Indy bisa saja mendorong nenek tua itu untuk membalaskan dendamnya. Namun, Indy tak kuasa berbuat demikian karena dalam hal ini memang dialah yang bersalah.
"Bisa-bisanya kamu masuk kamarku tanpa izin, ya!"
Windi pun mendahului Indy guna mencari keberadaan putranya. Dia ingin mengadukan kejadian ini pada Abdi.
"Abdi!" pekik Windi.
Dor! Dor! Dor!
Kedua tangan Windi dengan lincahnya menggedor pintu kamar Abdi. Tak perlu waktu lama, lelaki itu pun keluar.
"Ada apa, Ma?" tanya Abdi diliputi rasa penasaran.
"Indy curi gelang Mama," lapor Windi.
"Hah? Mana dia?"
Kepala Abdi sontak berputar guna mencari keberadaan maling di rumahnya. Namun, Abdi sama sekali tidak melihat Indy.
"Gak ada, Ma,"
"Ya, ampun. Ke mana dia?"
Windi sama kagetnya dengan Abdi. Baru saja dia meninggalkan Indy, tapi wanita itu sudah menghilang dari pandangan.
"Mungkin dia kabur. Ayo, kita cari!"
Sementara itu, Indy mengambil kesempatan atas perginya Windi menemui Abdi. Daripada menanti mereka yang jelas-jelas akan menghakiminya, maka lebih baik Indy kabur dengan membawa gelang tersebut.
Abdi mengelilingi area rumahnya baik bagian dalam maupun luar. Sayang seribu sayang, kini ia sadar bahwa Indy telah tiada.
"Dia udah kabur, Ma,"
Tubuh Windi bergetar hebat. Bukan karena kehilangan benda yang sejatinya dapat ia beli lagi. Namun, dirinya tidak menyangka jika Indy akan berbuat hal licik tersebut. Indy kelihatan begitu polos saat bekerja di rumahnya.
"Dasar pembantu kurang ajar! Gak tahu diri banget dia. Dikasih hati minta jatung," Windi mendumel.
"Gimana ceritanya, Ma?"
"Mama juga gak tahu. Tiba-tiba aja dia ada di kamar dan Mama lihat ditangannya udah ada gelang,"
"Kenapa dia nyuri di rumah ini? Apa dia gak mau kerja lagi?"
"Jangan-jangan dia emang ngerencanain semua ini,"
Windi dan putranya mendaratkan bokong di sofa ruang tengah. Cukup lelah juga mencari Indy yang cabut entah ke mana.
***
"Ah! Rasain kalian semua. Untung aku bisa kabur," ucap Indy yang baru saja tiba di rumahnya.
Wanita itu sengaja lari demi melindungi diri saat Windi lengah. Beruntung karena tidak ada penjaga rumah yang curiga. Indy berlagak seolah tidak mengalami masalah apapun.
Tak ada yang mengetahui ke mana arah Indy berlayar. Oleh karena itu, dia dapat pergi dari kediaman Abdi tanpa rasa cemas.
"Rezeki nomplok nih," batin Indy sambil menerawang gelang yang ia curi dari Windi.
Indy tahu bahwa benda itu sangatlah mahal. Dia bisa mencukupi kebutuhan selama beberapa bulan ke depan. Tak peduli konsekuensi apa yang ia terima dari perbuatan keji tersebut.
Keesokan harinya ketika Indy tengah menyantap sarapan pagi, teleponnya berdering dan menampilkan nama Gilang. Indy mengerutkan alis. Komunikasinya dengan Gilang berakhir sekitar tujuh hari lalu.
"Ada apa, Gilang?" sapa Indy.
"Aku gak nyangka kalau kamu seorang pencuri. Hahaha,"
Degh!
Gawai Indy spontan mencelos dari tangannya sendiri. Indy sampai lupa jika ia terikat dengan Abdi melalui Gilang. Sekujur tubuh Indy memanas. Bagaimana jika Gilang memberitahu di mana lokasi Indy tinggal?
"Aku mohon jangan kasih identitasku sama Abdi. Aku terpaksa ngelakuinnya, karena lagi butuh uang," kata Indy memelas setelah telepon kembali menempel di telinganya.
"Hahaha. Abdi baru aja telepon aku dan tanya soal kamu,"
"Terus, kamu jawab apa?" Perasaan Indy semakin tak karuan menunggu jawaban lawan bicaranya.
"Kelihatannya kamu takut banget,"
"Aku gak mau dijeblosin ke penjara,"
"Aku bakal tutup mulut dengan dua syarat,"
"Apa syaratnya?"
"Temui aku di café louwis sekarang,"
Rupanya kebahagiaan dan rasa tenang Indy hanya berangsur sekejap. Ia tak menyangka jika Gilang yang sempat menghilang kembali hadir dan meneror dirinya. Indy tidak tahu apa yang akan dilakukan oleh lelaki itu, tapi yang jelas Gilang pasti memanfaatkan situasi ini.
Saking penasarannya, Indy sampai menghentikan acara sarapan paginya dan bergegas ke lokasi tujuan. Baru saja sampai di sana, ternyata Gilang sudah menyapa terlebih dahulu.
Keduanya duduk berhadapan dan memilih meja paling sudut. Gilang tidak hentinya tersenyum nakal. Memerhatikan setiap inci dari tubuh Indy.
"Jangan bertele-tele, Gilang. Langsung ngomong aja," ucap Indy memberi peringatan.
"Oke." Gilang membenahi posisi duduknya dan kembali berseru. "Aku butuh dana untuk investasi. Kamu baru gajian, kan? Jadi, kamu harus masukin uang kamu untukku. Tenang aja, kamu juga bakal dapat keuntungan dari sini,"
"Investasi?" Dahi Indy berkerut.
"Iya. Kamu cukup kasih uang kamu dan gelang itu ke aku. Tiga hari lagi uangnya bakal balik dan kamu udah bisa dapat keuntungan,"
"Sial! Tahu banget dia kalau aku habis gajian," batin Indy.
"Aku gak bisa, Gilang! Jangan-jangan kamu mau bohongin aku,"
"Hahaha. Untuk apa, Indy? Seluruh uangmu gak ada artinya dengan keuntungan yang bakal aku dapatkan tiga hari lagi,"
"Apa jaminannya setelah uangnya aku serahin ke kamu?"
"Kamu boleh pegang semua identitasku. Tiga hari lagi kamu bakal jadi orang kaya raya kayak aku, Indy,"
"Kamu gak main-main, kan?"
Gilang menggelengkan kepalanya seraya menyesap sebatang rokok. Dia mengembuskan asap tepat di wajah Indy.
"Tidak, manis," jawabnya.
Indy menimbang-nimbang perkataan rekannya itu. Gilang memang memiliki segalanya termasuk mobil mewah yang kerap ia gunakan untuk berpergian. Indy membenarkan dalam hati. Barangkali hidupnya akan berubah setelah bekerjasama dengan Gilang.
***
"Setelah sekian lama akhirnya aku bisa bawa mobil dan pegang uang lagi,"
Tepat di hari ini, Ira memberikan uang hasil penjualanan yang ia simpan ketika Dito sakit. Suaminya itu benar-benar bahagia. Dia langsung memborong perhiasan untuk diberikan kepada Indy.
Namun, Dito harus menemui rekan bisnisnya di café Louwis terlebih dahulu. Pemilik tempat itu ingin menyampaikan kerjasama antar keduanya.
Nasib buruk benar-benar berpihak pada Indy. Tanpa dia sadari, Dito melihatnya sedang berduaan dengan lelaki lain. Mereka tampak serius membicarakan sesuatu.
"Hah, Indy? Sama siapa dia?"
Dada Dito seakan ditimpa oleh batu besar. Ia menduga bahwa Indy sudah menemukan sosok baru, karena Dito tak pernah lagi memanjakannya. Namun, Dito tak akan gegabah. Dia ingin memastikan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Indy dan sosok asing itu.
Dito pun memutuskan untuk mengintai keduanya dan membatalkan janji temu dengan sang empunya café Louwis. Dito tidak tahu mereka sedang membahas apa, karena jarak mereka yang cukup jauh.
Sementara itu, Indy langsung menyetujui tawaran Gilang. Selain karena untuk melindungi diri, dia juga bisa mendapatkan keuntungan.
"Oke. Aku setuju. Sekarang juga aku kasih uang dan gelangnya,"
Kebetulan sekali Indy memang membawa uang dan gelang yang baru saja ia dapatkan dari keluarga Abdi. Dia langsung menyerahkan dua benda itu pada Gilang. Begitupun dengan Gilang, pria itu juga memberikan seluruh kartu identitasnya pada Indy.
"Apa syarat yang kedua?" tanya Indy.
***
Bersambung