Chereads / ISTRI RASA PEMBANTU / Chapter 23 - PERAWAT JOMPO

Chapter 23 - PERAWAT JOMPO

"Cerita aja kalau kamu ada masalah. Jangan sungkan begitu," kata Gilang sekali lagi.

Indy menarik oksigen di hadapan lawan bicaranya. Ia tak dapat menyembunyikan rasa gundah. Bahkan Gilang yang merupakan orang asing pun bisa tahu jika wanita itu tengah memiliki masalah.

"Iya, Gilang. Aku lagi terkendala masalah keuangan," jawab Indy pada akhirnya.

Gilang merebahkan sebelah lengannya dan mendarat di kepala bangku taman, kemudian bertanya, "Memangnya kamu gak kerja?"

Indy sejenak membisu di tempat. Dia juga lupa kapan terakhir kali menjadi pelayan di café Dito.

"Selama ini aku dikirimin uang dari kampung. Orang tuaku gak izinin aku buat kerja." Indy berdusta.

"Emangnya usaha orang tua kamu apa?"

"Papaku punya kebun kelapa sawit yang luas,"

Terpaksa Indy mengarang cerita demi mempertahankan citranya di hadapan Gilang. Pria itu tidak tahu jika Indy mendapatkan uang dari suami orang.

"Kenapa gak minta sama mereka aja?"

"Semakin lama aku semakin sungkan, Gilang. Mau sampai kapan? Aku juga udah coba cari kerjaan, tapi belum ketemu juga,"

Gilang menganggukkan kepalanya samar.

"Maaf ya, Indy. Aku gak bisa bantu kamu, karena seluruh uangku baru aku investasikan ke sebuah perusahaan besar,"

Dada Indy sebah mendengar penuturan Gilang. Dipikirnya pria itu akan menawarkan bantuan, karena sudah perhatian dengan keadaannya. Ternyata dugaan Indy salah. Gilang hanya sebatas ingin tahu saja.

"Uangku bakal kembali dan mendapatkan keuntungan setelah dua bulan ke depan," sambung Gilang.

Indy tak menjawab. Kepalanya kian pusing, karena tak mendapatkan bantuan.

"Tapi aku punya kerjaan sih kalau kamu mau." Gilang kembali bersuara.

"Oh, ya?" Sepasang netra Indy membulat.

"Orang tua temenku lagi butuh asisten. Kalau kamu bersedia, aku bisa bawa kamu ke sana,"

"Jadi perawat jompo?"

"Ya, begitulah. Itu pun kalau kamu mau. Dengar-dengar sih gajinya lumayan banyak. Temenku pengusaha sukses,"

Kembali menjadi babu di tempat orang lain merupakan hal yang sangat Indy hindari. Karenanya, dia sangat bersyukur bisa dekat dengan Dito dan mendapatkan jatah bulanan. Sayangnya, saat ini lelaki itu sedang ditimpa musibah, sehingga tak bisa memberi uang pada Indy.

Awalnya Indy menduga bahwa ia akan mendapatkan bantuan berupa materi dari teman barunya. Namun, Gilang pun sedang tidak memegang uang. Ia hanya menawarkan pekerjaan pada Indy.

Indy mulai berpikir. Kepada siapa lagi dia harus mengadu? Dia tidak berasal dari keluarga kaya seperti yang baru saja dikatakannya pada Gilang. Jika Indy memilih diam saja, kemungkinan Indy akan mati karena kelaparan.

"Apa kuambil aja tawaran Gilang, ya? Untuk sementara waktu. Kalau Mas Dito udah sembuh, aku gak bakal sudi jadi perawat jompo," gumam Indy.

"Aku pikirin dulu, ya," kata Indy pada Gilang. Dia akan memberi kabar pada pria itu tentang keputusannya.

***

Indy tak dapat berpikir seorang diri. Ketika sudah kembali ke rumah, buru-buru ia menghubungi Dito untuk menceritakan semuanya.

"Mas. Sampai kapan Mas gak kasih aku uang bulanan?" tanya Indy tatkala Dito mengangkat teleponnya.

"Mas belum tahu, Sayang. Siapa juga yang mau sakit coba?"

"Aku mau kerja, Mas, tapi cuma sebulan doang. Aku harap bulan depan Mas udah bisa kasih uang untukku,"

"Kamu mau kerja apa?"

"Aku terpaksa jadi perawat jompo, Mas. Mau gimana lagi?"

Di tempat lain, Dito begitu terperanjat mendengar perkataan Indy. Ia mendadak kasihan dengan pacarnya itu. Dito berharap semoga ia segera pulih, sehingga bisa membiayai kehidupan Indy lagi.

"Maafin Mas ya, Sayang," kata Dito.

"Ya, sudah. Pokoknya bulan depan aku harus dapat uang bulanan ya, Mas. Aku gak maulah terus-terusan jadi pembantu orang,"

"Iya, Indy. Kalau begitu nanti lagi ngobrolnya, ya. Mas takut ketahuan Ira,"

Keduanya memutuskan sambungan telepon. Hari-hari Dito hanya dihabiskan dengan istri yang sebenarnya tak lagi ia harapkan. Dito sangat merindukan Indy. Namun, apa boleh buat. Situasi tak mendukungnya untuk bersua dengan wanita tersebut.

***

Setelah berpikir matang, akhirnya Indy kembali menemui Gilang untuk menyetujui tawaran lelaki itu dua hari lalu. Indy harus rela bekerja demi memenuhi asupan perutnya.

Pagi ini Gilang membawa Indy menemui rekannya di pusat kota. Gilang benar. Ternyata sosok itu memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Gilang tidak berlama-lama di sana. Dia meninggalkan Indy dan calon majikannya.

Lelaki yang berstatus sebagai rekan Gilang itu mulai menjabarkan apa-apa saja yang harus dilakukan oleh Indy. Detik itu juga Indy sudah bisa bekerja.

***

"Mas mau makan, ya?"

Ira menemui Dito yang tengah berjalan ke arah dapur. Gegas dia menarik lengan Dito dan menggiringnya untuk kembali ke kamar.

"Kenapa kamu bawa Mas ke sini?" tanya Dito.

"Biar aku aja yang ambilin ya, Mas,"

Setelah itu, Ira beranjak ke dapur dan kembali hadir dengan sebuah nampan di tangannya. Ira duduk di sisi ranjang, lalu membantu Dito untuk duduk.

"Kalau mau apa-apa bilang aja, Mas. Jangan sungkan, karena Mas kan lagi sakit,"

Perlahan Ira memasukkan sendok ke mulut Dito. Dia menyuapi suaminya penuh kasih sayang. Tak ia biarkan Dito melakukan aktivitas seorang diri.

Dito menerima suapan itu dengan lahap. Selama ini Ira merawatnya penuh kesabaran dan tak pernah mengeluh.

"Uhuk-uhuk!" Tiba-tiba pria itu tersedak.

"Eh, kenapa, Mas? Ini diminum dulu," ucap Ira. Sebelah tangannya meraih gelas yang berada di meja nakas.

"Gak usah buru-buru, Mas. Kayak orang telat kerja aja,"

Ira menarik kedua sudut bibirnya, sehingga membentuk huruf U. Bahagia sekali saat sang suami selalu berada di sisinya. Ira tak peduli jika belakangan ini mereka mengalami krisis ekonomi. Selagi Dito berada di sisinya dan tidak macam-macam, maka Ira bisa hidup dengan tenang.

Setelah selesai makan, Ira mengambil air hangat dan mulai mambasuh tubuh Dito. Laki-laki itu memerhatikan gerakan lembut Ira yang meraba seluruh permukaan kulitnya.

"Gimana sama kepalanya, Mas? Apa masih sering sakit?" tanya Ira di sela pekerjaannya.

"Sesekali masih sakit,"

"Pokoknya Mas gak boleh telat makan dan wajib rutin minum obat, ya. Aku do'ain semoga Mas Dito lekas sehat. Mas pasti kangen sama café, kan?"

"Aku juga kangen sama Indy." Diam-diam Dito menjawab dalam hati.

Dito hanya mengangguk dan tersimpul indah. Lebih tepatnya ia sudah bosan dengan semua ini. Dito ingin kembali ke dunianya. Di mana ia dapat bebas melakukan apapun tanpa diketahui oleh orang lain.

"Sore ini aku ke café ya, Mas. Mau lihat keadaan di sana,"

"Iya, Ira,"

Selama ini Iralah yang kerap memantau situasi café yang dititipkan oleh Yugi kepada Dito tersebut. Ira hanya sekadar memastikan bahwa semuanya berjalan lancar. Ira tidak pandai bagaimana cara mensiasati supaya café itu kembali ramai.

"Langsung telepon aku kalau ada apa-apa ya, Mas," kata Ira di sela basuhan terakhirnya.

Dito memandangi wajah istrinya yang perlahan menua itu lekat-lekat. Tak dapat dipungkiri bahwa Ira merupakan perempuan terbaik setelah ibunya. Dito belum pernah merasakan Indy merawatnya, karena selama ini wanita itu hanya hadir di saat Dito berada di atas saja.

"Ira-Ira. Kamu memang baik. Sayangnya aku sudah hilang respect sama kamu," gumam Dito. Matanya tak lepas dari paras sang istri.

***

Bersambung