"Mau, Mas,"
Dito sontak membatin mendapati keputusan istrinya. Dia menyumpahi Ira di dalam hati. Bisa-bisanya wanita itu menyetujui agar dirinya ikut ke café.
"Tuh kan, bener," kata Alin bersemangat.
Sebelum Dito pulang, Alin dan Ira sempat bercerita panjang lebar. Dari sanalah Alin tahu bahwa Ira jarang ke café, bahkan tidak mengenali karyawan yang bekerja di sana. Alin menyarankan agar Ira segera berbenah. Dia harus mengetahui bagaimana lingkungan suaminya bekerja agar tidak terulang kejadian menyedihkan seperti kemarin. Oleh karena itu, Ira mengiyakan pertanyaan Dito.
"Kurang ajar si Ira. Ngapain dia pakai ikut segala sih. Apa kata semua pekerja nanti? Hah!" sungut Dito geram, tapi sebisa mungkin ia menampilkan senyum kebahagiaan.
"Oh, jadi kamu mau ikut? Ya, sudah. Aku senang kok," jawabnya.
Setelah puas menikmati angin malam dan suasana restoran, keluarga Dito pun kembali menempuh perjalanan singkat menuju rumah. Ira merasa beban di bahunya sedikit berkurang. Ini merupakan kali pertama ia menghirup udara bebas setelah terkurung selama empat bulan.
***
Pagi ini Ira mendapati sesuatu yang berbeda. Seusai sarapan pagi, Dito menarik lengannya menuju garasi mobil setelah berpamitan pada Alin dan Yugi. Dito mengekspresikan kebahagiaannya dengan totalitas. Berulang kali ia memuji Ira. Semua itu Dito lakukan agar orang tuanya segera pulang ke luar kota, karena mengira hubungan anak-anaknya telah membaik.
"Daaaa." Sepasang suami istri itu melambaikan tangan.
Ira jadi salah tingkah saat ia hanya berduaan dengan Dito saja. Padahal, dulu ia kerap melakukan hal itu. Ira seperti ABG yang baru merasakan cinta.
Dito memutar musik romantis sebagai pengiring di perjalanan. Dito tahu jika Ira belum sepenuhnya yakin, jadi Dito juga sedang berusaha untuk meluluhkan hati Ira.
"Mas senang kalau kamu ikut, Sayang. Sejak dulu kamu kan paling malas kalau diajak ke café," ujarnya memecahkan keheningan.
"Eh! Eum. I- iya, Mas," balas Ira kaget.
"Kalau kamu malas di luar, kamu masuk aja ke ruangan Mas, ya," timpal Dito. Dia berdo'a supaya Ira tidak berkeliaran dan bercakap-cakap dengan para karyawan.
Ira hanya mengangguk sebagai bukti jawaban. Jantungnya berdegup tak menentu menghadapi suaminya sendiri. Sementara itu, Dito terus saja mengoceh hingga mobil tiba di lokasi tujuan.
"Nah. Kita sudah sampai." Buru-buru Dito turun dan membukakan pintu untuk Ira.
Kehadiran Ira spontan mengundang tanda tanya di benak para pekerja. Mereka sempat mengira jika Dito telah bercerai dengan istrinya, karena sering membawa Indy ke café. Nyatanya, Ira malah bersanding dengan Dito pagi ini. Siapa yang tak menaruh curiga? Mereka jadi mempertanyakan kesetiaan Dito.
"Mas. Aku di sini aja, ya." Ira menghentikan langkah saat melintasi meja 24.
"Masuk aja. Di luar panas," jawab Dito beralasan. Kini, yang ia khawatirkan tadi terjadi.
"Gak, Mas,"
"Yakin? Kamu gak mau temeni Mas di ruangan?"
"Aku mau di sini dulu. Nanti pasti aku temui Mas lagi,"
Dito berdecak kecil. Tak mungkin ia memaksa Ira untuk membersamai dirinya, sementara perempuan itu menginginkan bersantai di luar. Akhirnya, Dito pun melenggang pergi. Dito menyadari jika para karyawan menatapnya nanar dan penuh teka-teki. Namun, Dito tak memedulikan itu semua. Lagi pula Dito yakin, kalau mereka tak akan berani macam-macam.
Belum lama Ira bermukim di meja 15, tiba-tiba seorang wanita menghampirinya. Ira tersenyum hangat serta membalas sapaan sosok tersebut.
"Eh, Bu. Lama banget gak ke sini,"
"Iya. Selama ini Saya banyak kegiatan di luar." Ira mencoba berbohong.
"Berarti benar dugaanku, kalau Pak Dito selingkuh sama Indy." Pelayan itu bermonolog dengan dirinya sendiri.
"Oh, begitu. Ya, sudah. Saya lanjut kerja ya, Bu. Permisi," sambungnya seraya membungkukkan badan.
Ira jadi menyesal kenapa tidak dari dulu saja dirinya memantau kegiatan Dito di café. Perselingkuhan tak akan terjadi, karena Dito menemukan Indy di tempat ini. Ira tidak tahu di mana perempuan yang telah merebut suaminya itu berada. Dia hanya meminta pada Sang Maha Kuasa agar dijauhkan dari segala macam bentuk pengkhianatan.
Tring…
Ira meraih gawainya di dalam tas ketika benda itu berdering panjang. Dilihatnya nama Ulya tertera di sana.
"Iya, Ul?" sapa Ira.
"Kamu di mana? Udah lama banget nih gak ketemu,"
"Aku di café suamiku,"
"Kamu bisa pulang. Aku lagi di perjalanan mau ke rumah kamu,"
Ira langsung menepuk jidatnya. Baru saja ia menginjakkan kaki di café, tapi temannya sudah memintanya untuk kembali. Tidak mungkin Ira menolak, karena Ulya sedang di perjalanan.
Tok! Tok! Tok!
Krit…
Ira membuka pintu ruangan Dito.
"Mas. Aku mau pulang sekarang," katanya.
Dito terkejut dan langsung menghentikan aktivitasnya. Apa Ira sudah bosan di café itu?
"Loh, kenapa?"
"Temenku mau ke rumah, Mas. Kasihan dia udah di jalan,"
Dito bersorak dalam hati mendengar perkataan Ira.
"Ya, sudah. Mas antar, ya,"
"Eh! Gak usah, Mas. Lanjut aja kerjanya. Aku bisa pulang naik taksi kok," tolak Ira yang tak ingin mengganggu Dito.
"Kamu yakin, Ira?"
"Iya, Mas,"
"Hati-hati ya, Sayang,"
Dito bangkit dari kursinya dan mengecup dahi Ira. Nyaris saja Ira mati berdiri dibuat Dito. Setelah itu, Dito ikut mengantarkan kepergian istrinya hingga mendapatkan taksi.
"Kamu hubungi aku di saat yang tepat Ul," batin Ira. Kebetulan sekali rekannya itu datang ketika dirinya sudah terbebas dari jeratan Dito dan Indy.
Dito merasa lega seusai kepulangan istrinya. Kini, Dito dapat fokus bekerja tanpa harus memikirkan Ira. Sayangnya, satu jam setelah kepergian wanita itu, sosok lain datang ke ruangannya tanpa kabar terlebih dahulu.
BRAK!!!
Dito menoleh tatkala mendengar suara pintu didobrak.
"Sayang,"
Tak lain dan tak bukan perempuan itu adalah Indy. Saat itu juga Dito menyapu dadanya berulang kali. Indy hadir satu jam setelah Ira pulang. Apa jadinya kalau mereka bertemu? Bisa-bisa Ira mengamuk dan mengadukan hal itu pada Alin dan Yugi.
"Indy. Kenapa kamu gak bilang dulu kalau mau ke sini?" tanya Dito dengan nada panik.
"Emangnya kenapa, Mas? Biasanya juga begitu,"
"Ira tadi ada di café. Untung dia udah pulang saat kamu datang,"
"Oh, ya? Aku gak tahu, Mas." Indy pun sama terkejutnya dengan Dito. "Ngapain dia ke sini? Tumben," lanjutnya, kemudian duduk berhadapan dengan Dito.
"Biasalah. Mama yang rencanain semua ini. Lain kali kalau kamu mau ke café bilang dulu, ya," ucap Dito memperingatkan.
"Ah! Mama kamu emang nyebelin. Aku keluar dulu deh, Mas mau cari angin,"
Hingga sekarang, Indy masih kesal saja dibuat orang tua Dito. Dia ingat betul bagaimana Alin menjambak rambutnya tanpa ampun. Indy pun memutuskan keluar ruangan. Anehnya, beberapa pekerja memandangnya dengan sinis. Indy jadi heran. Ia pun menghampiri para karyawan.
"Kalian ngetawain aku?"
Perempuan yang tadi berbicara dengan Ira membalas sorotan Indy dengan tak kalah tajam. Dia tidak takut, karena sudah mengetahui kebenarannya.
"Gak usah belagu! Kamu cuma perebut suami orang dan kami sudah tahu semuanya,"
Dezing!
Seketika jiwa Indy dirajam oleh penuturan rekan kerjanya dulu.
***
Bersambung