Nasib Ira sungguh miris, karena Indy enggan memberinya makan sementara cacing di perutnya sudah berdemo. Ira malah disuruh membereskan sisa-sisa kotoran di depan sana. Berulang kali Ira memohon, tapi Indy dengan kejamnya tetap menolak permintaan wanita itu.
Alhasil, lagi-lagi Ira mengalah dan patuh terhadap perintah mantan pembantunya sendiri. Dalam keadaan lemas, Ira membuang tanah berserta bunga dan dedaunan ke tempat sampah. Ira mengeluh dalam hati tanpa bisa menghentikan kezaliman Indy.
Setelahnya, Ira menemui Indy yang kini bersantai dengan seluruh rekannya di beranda rumah. Mereka asik tertawa dan membahas sesuatu yang Ira tak mengerti.
"Ada apa lagi, Ira? Banyak mau sih tingkah kamu." Indy semakin kesal dibuat Ira yang tak kunjung berhenti menerornya.
"Indy. Aku laper banget," ucap Ira meminta haknya.
"Kamu mau makan?"
"Iya,"
"Ya, sudah. Kamu cuci piring dulu, ya. Habis itu boleh makan,"
Ira begitu senang mendengar penuturan Indy. Akhirnya dia bisa makan malam, meskipun harus menyelesaikan pekerjaan terakhir.
Ira pun berkutat dengan piring kotor di wastafle. Setelah itu, Ira menuju meja makan untuk mengambil nasi dan lauk.
Anehnya, Ira tak menemukan apa-apa di sana selain air mineral. Ira menyatukan sepasang alisnya dan kembali menemui Indy.
"Indy, kok gak ada apa-apa lagi di meja makan?" Ira kebingungan.
Indy membeliakkan mata, lalu menutup mulutnya. Pertanyaan Ira mengundang tawa diantara teman-teman Indy.
"Ups! Kosong, ya? Berarti sudah habis dong,"
Degh!
"Kamu bohongin aku?" Ira berusaha menahan api di dadanya.
"Bukan, Ira. Aku gak tahu kalau nasi dan lauknya ternyata sudah habis," ejek Indy.
Kedua bahu Ira mendadak turun. Indy bukannya tidak tahu, melainkan ia memang sengaja.
"Ya, sudah. Kalau gitu aku masak aja deh," ucap Ira. Belum sempat kakinya teranyun, tapi Indy kembali bersuara.
"Mau masak? Coba lihat sesuatu di belakang rumah,"
Jelas saja Ira merasa heran dengan perkataan Indy. Untuk apa perempuan itu menyuruhnya ke buntut rumah? Karena penasaran, Ira pun menarik langkah guna memastikan keadaan.
Tap!
"Apa?"
Dari ambang pintu dapur, Ira bisa melihat banyaknya bahan-bahan masakan yang berserakan di perkarangan rumah. Benda-benda itu tak dapat dimasak lagi karena sudah hancur tak berbentuk. Ira langsung lari dan membuka lemari tempat bahan makanan. Miris sekali. Rupanya tempat itu sudah kosong melompong.
Tak lama setelah itu, Indy berserta rekan-rekannya muncul dari arah depan. Senyum merekah menghiasi wajah mereka.
"Indy. Siapa yang udah buang semua sayuran sampai gak ada sisa begini?" Ira sampai mengencangkan suaranya.
"Kami semua. Terus, kamu mau apa?" Indy meletakkan sepasang tangannya di depan dada.
"Astaga, Indy. Jadi, semua ini permainan kalian?"
"Hahahaha." Gelak tawa menghiasi ruangan.
"Tega banget kalian semua!"
Ira tak kuasa menahan kepedihan di hatinya. Indy sengaja memanggil seluruh rekannya untuk mempermainkan Ira. Wanita malang itu tersedu-sedu. Bersamaan dengan hiruk pikuk suasana rumah, tiba-tiba saja Dito melenggang hadir. Dia baru saja pulang dari café.
"Wah. Rame banget," tukas Dito yang tidak tahu akan adanya keributan.
Kedatangan Dito semakin mengundang isak tangis Ira. Dia berlari mengejar suaminya dan langsung memeluk pria itu.
"Mas!" Ira menunpahkan air matanya di dada Dito.
Siapa yang tidak terkejut dengan peristiwa semacam ini. Hal itu juga berlaku untuk Dito. Dia terlonjak kaget dan langsung melepaskan tubuh Ira.
"Ada apa?" tanyanya penasaran.
Ira mengusap kasar seluruh wajahnya yang sudah penuh dengan cairan asin.
"Indy sengaja panggil temen-temennya buat nyiksa aku di sini, Mas. Aku disuruh kerja berulang kali dan gak dikasih makan. Aku capek, Mas, Hiks hiks hiks,"
Ira mengadukan segala macam bentuk kejahatan yang telah Indy berikan pada Dito. Berharap jika suaminya akan iba, kemudian mengusir seluruh orang asing di sana.
"Terus?" tanya Dito dingin.
"Aku mau kamu bawa Indy pergi dari rumah kita, Mas. Aku udah gak tahan,"
"Eh! Siapa kamu berani usir-usir aku?" sambung Indy yang merasa tidak terima dengan ucapan Ira.
Rupanya ada salah seorang rekan Indy yang begitu tertarik dengan kejadian ini. Bahkan, dia sampai mengambil video dan berencana untuk menyebarkannya di media sosial. Tak ada yang menyadari akan hal itu.
"Kamu jangan manja, Ira! Dulu, Indy juga pernah ada di posisi kamu," balas Dito, kemudian beranjak pergi.
"Tapi Indy gak pernah kusiksa, Mas. Indy kerja sesuai porsinya. Keterlaluan kalian semua. Haaah!"
Api besar telah berkobar di dalam jiwa Ira. Lama sudah ia diperlakukan dengan tidak layak oleh suami dan madunya sendiri. Malam ini adalah puncak dari kesabaran Ira. Selain malu, Ira juga merasa dirinya sudah tidak memiliki harga diri. Ira bak binatang. Diperlakukan sesuka hati tanpa welas asih.
Ira berlari menuju lemari piring, meraih benda-benda itu, lalu membantingnya hingga pecah di lantai. Dengan tenaga yang masih tersisa, Ira juga menggulingkan dispenser hingga airnya tumpah dan membuat seisi dapur jadi banjir.
Ira mengamuk atas perlaukan Dito dan Indy. Melihat Ira yang tak ubahnya wong kesetanan, Indy dan teman-temannya menjadi agak gentar. Mereka perlahan mundur dan meminta agar Dito yang mengambil alih.
"Mas, tolong! Istri kamu jadi orang gila," pekik Indy.
Dito dibuat pusing dengan Ira yang tiba-tiba saja mengamuk. Direngkuhnya tubuh perempuan itu dan menyeretnya secara paksa.
"Lepas, Mas! Aku mau pergi dari tempat jahannam ini,"
Ira meronta-ronta di tempat. Ditendangnya kaki Dito sampai lelaki itu kesulitan menghindar. Saking bingungnya mengatasi Ira, Dito sampai memanggil orang-orang suruhannya untuk membawa Ira ke kamar.
"Cepat, masukkan orang gila ini ke kamarnya!" tukas Dito.
Dua orang pria sudah cukup untuk menghentikan amukan Ira. Dia dijebloskan ke ruangannya sendiri, kemudian pintu dikunci dari luar. Ira menggedor pintu sambil meneriakkan nama Dito dan Indy.
"Kaget aku lihat istri kamu itu," cercah Indy.
"Akh! Ira itu cocoknya dimasukin ke rumah sakit jiwa,"
Dito menarik langkah menuju kamarnya untuk mandi dan berganti pakaian. Kejadian malam ini benar-benar menguras emosi dan tenaganya.
Sedangkan Indy menggiring kelima rekannya yang hendak pulang. Keenamnya menyempatkan diri untuk bercakap-cakap terlebih dahulu.
"Makasih banget loh kalian udah hadir di rumahku. Hahaha." Indy tertawa puas.
"Pinter kamu, Indy. Kamu bisa merebut Dito dari Ira si perempuan kampung itu,"
"Jelas dong. Hahaha."
"Maaf, ya, gara-gara aku kalian jadi repot sampai bawa-bawa tanah dan bunga segala," kata Indy seraya menangkupkan kedua tangannya.
Ternyata Indy memang sudah merencakan hal ini sematang mungkin untuk mengerjai Ira. Dia beruntung, karena memiliki teman-teman yang sefrekuensi dengannya.
"Aku pasti panggil kalian lagi kalau mau ngerjain si Ira. Hahaha," kata Indy dengan bangganya.
***
Bersambung