Tak ingin berlama-lama berhadapan dengan sekawanan pria tersebut, akhirnya Ira kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel. Di sana masih ada Indy yang sedang merebahkan tubuh di sofa. Ira tidak melirik wanita itu barang sedetik pun. Ia hanya fokus mencari gawainya untuk menghubungi pihak kepolisian. Ira merasa sebagai tahanan tanpa kesalahan.
Ira memindai tatapannya ke seantero kamar. Diobrak-abriknya ruangan itu, tapi ia tak kunjung menemukan ponselnya. Indy jadi penasaran dengan apa yang dilakukan oleh Inah.
"Nyari apa kamu?" tanya Indy ketus.
"Bukan urusanmu!" balas Ira tak kalah sombong.
Indy terus memerhatikan gerak-gerik Ira, sampai dia paham bahwa madunya itu sedang mencari sebuah ponsel.
"Oh, kamu nyari Handphone, ya?"
Pekerjaan Ira berhenti selama beberapa detik, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk kembali mencari benda pipih tersebut. Namun, Ira terpaksa harus menghentikan kegiatannya setelah mendengar seruan Indy.
"Percuma, karena Handphone kamu udah ditarik sama Mas Dito,"
"Dari mana kamu tahu?" Ira spontan memelototi perempuan itu.
Indy berpindah haluan dan ia berdiri persis di hadapan Ira. Ia menyombongkan diri, karena tahu bahwa Ira tak dapat melawan.
"Mas Dito ngurung kamu di sini. Kamu pasti bakal cerita ke orang-orang kalau sampai kabur,"
"Untuk apa lagi aku bertahan di tempat terkutuk ini?"
"Untuk dijadikan pembantu. Kan, sudah kubilang kalau mulai hari ini kaulah yang bekerja di rumahmu sendiri. Hahaha,"
Indy berkata dengan congkak. Tak ada lagi kepatuhan dalam dirinya terhadap Ira. Baginya, Ira hanyalah orang tua yang sudah penyakitan dan tak mampu melakukan apa-apa.
"Aku gak mau ngabisin energi untuk debat sama kamu. Sekarang lakuin aja tugasmu." Indy mendorong kursi roda Ira dan membawanya keluar ruangan.
Indy juga mengambil sebuah sapu dan mencampakkannya di kaki Ira. Ia tak segan-segan melakukan itu di hadapan kelima orang asing sewaan Dito.
"Aku gak peduli sama kondisi kamu. Pokoknya rumah ini harus bersih," cercahnya, kemudian berlalu pergi.
Berulang kali Ira menepuk dada. Ia memberi semangat pada dirinya sendiri. Posisi Ira spontan jatuh saat kejadian tadi pagi. Jika begini, Ira lebih baik tidak mengetahui kebusukan Dito daripada harus kehilangan harga diri.
Ira pun mulai menyapu lantai dengan susah payah. Bagaimana tidak? Ia membereskan semuanya dari kursi roda. Kelima pria itu terus saja memata-matai Ira. Ia bak daging siap santap.
Selesai menyapu, Ira berangsur ke bagian belakang rumah untuk mengambil kain pel. Ia juga berusaha keras agar bisa mengisi air di ember. Ira mengerjakan tugasnya dengan telaten. Sesekali ia mengusap pipinya yang dijatuhi oleh air mata.
***
Cit…
"Mas, akhirnya kamu pulang juga," ucap Ira yang langsung mengejar suaminya.
Ira menjalankan kursi rodanya ke pusat pintu. Ia mendongak menyaksikan wajah lelaki yang sudah mengkhianatinya. Meskipun Ira begitu lelah, tapi dia tetap menanti kepulangan Dito tanpa tidur terlebih dahulu.
"Ada apa?" tanya Dito yang heran melihat gelagat istrinya.
"Mas. Kamu tahu, gak? Aku disuruh kerja seharian sama Indy. Padahal aku masih sakit begini, Mas. Aku capek banget," adu Ira pada suaminya.
Dito merapatkan bibir, kemudian membuka kemejanya. Ia mendaratkan bokong di hamparan ranjang.
"Terus?" tanyanya dingin.
"Aku mau kamu bawa Indy pergi, Mas. Usir aja dia dari rumah kita. Aku benci sama Indy,"
Tawa kecil terlihat menghiasi wajah Dito. Ada-ada saja tingkah istrinya itu. Dito telah membawa Indy ke rumah mereka dan tidak mungkin ia mengizinkan wanita itu pergi.
"Jangan mimpi kamu!"
"Loh, kenapa, Mas? Indy kan bukan bagian dari keluarga kita." Ira kaget mendengar jawaban Dito.
"Ira. Aku gak mungkin ngusir dia. Kamu tahu kalau aku cinta sama Indy, kan?"
"Jadi, dia bakal selamanya tinggal di sini?" Ira melongo menanti jawaban Dito.
"Iyalah. Mau di mana lagi?"
"Indy kan punya rumah sendiri, Mas." Jelas saja Ira tak terima hidup satu atap dengan madunya.
"Itu milik orang tuanya. Sudahlah, kamu jangan banyak komentar, Ira. Aku pemegang kekuasaan tertinggi di sini," terang Dito. Ia semakin lelah mendengar celoteh istrinya.
"Aku gak mau jadi pembantu di rumahku sendiri, Mas,"
Rupanya Ira belum puas juga. Dia senantiasa melontarkan kalimat-kalimat yang mengundang emosi Dito.
"Ini rumahku, bukan rumahmu,"
"Ya, aku gak mau jadi pembantu di rumah suamiku,"
"Ira!" Tiba-tiba Dito berdiri. "Bisa gak sih kamu itu diem dan terima keadaan? Udah sakit-sakitan, belagu lagi," kata Dito mencaci.
"Hah, kamu semakin kasar aja bicaranya, ya." Ira membuang muka. Sakit sekali saat tahu bahwa suaminya telah berubah dalam sekejap.
"Terserah kamu mau bilang apa. Intinya, seluruh pekerjaan di rumah ini harus kamu yang selesaikan. Kamu juga gak boleh keluar. Kalau kamu melawan, jangan salahkan aku kalau kamu mati di tanganku,"
Ancaman Dito seketika membuat telinga Ira memanas. Ini merupakan kali pertama Dito memberinya sebuah ultimatum. Ira begitu sedih, karena suaminya dapat berubah secepat itu.
"Kenapa harus siksa aku, Mas? Kalau udah gak cinta, ceraikan aja aku!"
Ira pun tak ingin kalah. Jika Dito bisa egois, maka ia pun tak akan sudi diinjak. Ira memang sangat mencintai Dito, tapi bukan berarti ia ikhlas disiksa.
"Cerai? Hahaha. Sampai kapan pun aku gak akan ceraikan kamu," balas Dito dengan tawa besarnya.
"Kenapa? Bukannya kamu udah cinta mati sama Indy?"
"Karena kamu adalah asetku, Ira. Papa ngasih aku sebuah café, karena aku menikah sama kamu,"
Selain karena awalnya Dito mencintai Ira, lelaki itu juga menginginkan usaha Papanya jatuh ke tangannya.
"Tega kamu, Mas. Kamu biarin aku hidup menderita di sini." Buku-buku tangan Ira menjegul. Sayangnya, ia tak mampu melakukan apapun.
Segala bentuk ucapan Ira tak lagi Dito hiraukan. Pria itu tidak sudi menambah beban baru di hidupnya. Dito pun merebahkan tubuh di kasur dan mulai memejamkan mata.
***
Semua kejadian ini membuat Ira tersadar, jika Dito bukanlah lelaki baik seperti saat mereka berkenalan dulu. Akibat wanita tidak tahu diri, Dito jadi kehilangan akalnya.
Ira juga berusaha keras memikirkan bagaimana caranya kabur. Namun melihat kelima orang suruhan Dito membuat Ira jadi pesimis. Wanita itu hanya mengharapkan keajaiban Tuhan. Secepatnya ia ingin keluar dari tempat terkutuk tersebut.
Pagi ini Ira mulai menjalankan tugasnya sebagai seorang pembantu. Ira mondar mandir untuk mengantarkan hidangan ke meja makan. Di sana sudah ada Indy dan Dito yang menunggu. Sepasang manusia itu saling melempar canda tawa.
Ira memerhatikan Dito dan Indy, kemudian berdehem. Ia memberi kode bahwa pekerjaannya telah selesai. Tangan Ira bergerak untuk meraih sendok nasi. Indy yang menangkap pemandangan tersebut, langsung menangkis lengan Ira.
"Mau ngapain kamu?" tanyanya sinis.
"Makan," jawab Ira irit bicara.
Indy merampas piring yang berada di tangan Ira, lalu mengambil sesendok nasi dan kuah sup. Indy menghentakkan piring tersebut di meja.
Kltak!
"Kamu makannya di dapur aja. Ini khusus pemilik rumah dan calon istrinya,"
Ira terkesiap. Makanan yang diberi Indy tak ubahnya santapan kucing.
"Apa-apaan ini?" Ira tak terima.
"Kamu mau marah? Coba aja kalau bisa,"
Dengan semangat Indy mendorong kursi roda Inah dan menghentikannya di dapur. Indy juga tak segan-segan menotol dahi Inah dengan buku-buku tangannya.
"Dengar, ya. Sekarang kamu itu cuma pembantu di sini. Jadi, gak usah sok! Kamu turutin semua omonganku atau kamu bakal lebih menderita,"
Indy ngeloyor pergi setelah memberi pengertian pada Ira. Sedangkan wanita malang itu merasa hidupnya sudah tidak berguna lagi. Ira mengintip suaminya yang tidak memberi reaksi apa-apa, seakan ia setuju dengan tindakan Indy.
Karena tak ada yang membela dan Ira pun tak dapat melawan, akhirnya Ira mencoba mengalah dan makan di dapur dengan makanan seadanya. Ira menangis dalam diam. Andai Ira tahu jika Dito akan berubah, maka dia tak akan memilih lelaki itu sebagai suaminya.
"Rasakan kamu, Ira! Ini belum seberapa. Lihat aja apa yang bakal aku lakuin ke kamu." Indy tertawa puas melihat penderitaan Inah.
***
Bersambung