"Ayo, Ira!" seru Dito pada istrinya yang belum keluar kamar juga.
Malam ini Dito akan menghadiri acara ulang tahun pernikahan rekan bisnisnya. Ia sudah berpesan pada Ira untuk bersiap secepat mungkin, karena Dito tidak suka menunggu.
"Iya, Mas," balas Ira, kemudian mengunci pintu kamarnya.
Tak heran jika Ira berpenampilan biasa saja. Dito tak lagi mengomentari wanita itu, karena ia tahu Ira tak akan pernah berubah.
"Sudah?" tanya Dito memastikan.
"Sudah, Mas,"
Keduanya melenggang pergi. Namun, tiba-tiba saja Ira menghentikan langkah, karena ia melihat seseorang dengan wajah murung dari kejauhan.
"Kenapa?" Dito ikut berhenti.
Ira mendapati Indy yang tengah berdiri lurus melihat kepergian mereka. Seketika hati Ira tersentuh. Ia menganggap jika Indy akan kesepian kalau ditinggal tanpa teman.
"Kasihan Tini, Mas. Ajak aja dia,"
Ucapan Ira membuat Dito nyaris tertawa. Sepertinya Ira telah jatuh hati pada madunya sendiri.
"Kamu yakin mau ajak Tini?"
"Iya,"
"Ya, sudah,"
Ira pun berjalan ke arah Indy dan menyampaikan maksud hatinya.
"Kami mau pergi ke pesta ulang tahun pernikahan. Kamu mau ikut, Tini? Cepat ganti pakaian,"
Indy pun sampai syok mendapat tawaran sedemikian rupa. Ternyata Ira masih berwelas asih, meskipun ia telah melakukan kesalahan kemarin.
"Mau, Bu. Tunggu, ya,"
Indy langsung masuk ke kamarnya dan bersiap. Senang sekali bisa keluar rumah lagi. Hal seperti ini menjadi langka semenjak Indy menjadi pembantu di rumah Dito.
15 menit kemudian, Indy keluar menggunakan dress hitam yang baru saja ia beli bersama Dito kemarin. Pria itu terperangah melihat penampilan Indy yang begitu elegan. Andai Indylah yang saat ini menjadi istrinya, pasti Dito sangat bangga menunjukkan wanita itu di depan publik.
"Ayo, Pak, Bu," titah Indy.
Ketiganya pun segera masuk ke mobil dan membelah keramaian Kota.
"Halo, Brother," sapa sang empunya rumah ketika Dito sukses menginjakkan kaki di sana.
Mereka pun bersalam-salaman. Tak terkecuali Indy. Dia juga turut berkomunikasi dengan rekan-rekan Dito.
"Ini istri kamu? Cantik juga,"
Krak!
Seluruh yang berada di sana tercengang mendengar penuturan lelaki bernama Gio. Ia merupakan teman yang tidak terlalu dekat dengan Dito, sehingga ia tak tahu membedakan mana istri mana pembantu.
Ira yang mendengar hal tersebut lantas saja menjadi insecure. Gio tersenyum ke arah Indy tanpa tahu status perempuan tersebut.
"Eh, bukan. Istriku yang ini." Dito menunjuk Ira.
Ira mencoba tersenyum, meskipun hatinya terluka. Ia melihat penampilan Indy yang memang pantas dicap sebagai istri Dito. Tidak seperti dirinya yang hanya menggunakan dress kumuh. Entahlah. Meskipun begitu, Ira tak juga ingin berubah. Ia kerap berpakaian sembarangan di depan siapapun.
"Oh, maaf. Kukira istrimu yang itu." Gio menggaruk hidungnya yang tak gatal.
Indy tersenyum samar. Ia merasa berada di atas awan akibat ucapan Gio.
"Memang aku yang pantas jadi istri Mas Dito." Indy berkata dalam hati.
Semua orang yang berada di sana melanjutkan pesta dengan berbagai macam cara. Ada yang memilih makan dan ada pula yang memutuskan untuk mengobrol dengan rekan. Acara berjalan lancar dan keluarga Dito kembali ke rumah pada pukul sebelas malam.
Ira langsung merebahkan tubuh di atas ranjang. Ia merasakan lelah yang tiada tara. Ah, lebih tepatnya fikiran Ira yang lelah. Sejak tadi, ia tiada henti memikirkan ucapan Gio. Ira jadi sadar jika penampilannya malam ini sangat jauh dari Indy. Padahal di mana-mana, pembantulah yang statusnya berada di bawah majikan.
***
"Loh, Tini. Leher kamu kok merah-merah?" tanya Ira yang teramat kaget melihat kondisi Indy.
Tak sengaja Ira melihat Indy yang sedang berdiri di depan cermin kamarnya. Kebetulan pintu ruangan itu ternganga lebar. Melihat kehadiran Ira, Indy langsung menutup lehernya dengan telapak tangan. Namun, semua sudah terlanjur. Ira sudah lebih dulu menangkap pemandangan tersebut. Padahal awalnya Indy berniat untuk menggunakan pakaian yang menutupi kawasan leher.
Wajah Indy menegang. Ia berjalan ke arah Ira penuh keraguan.
"Kenapa leher kamu? Tadi malam baik-baik aja," pungkas Ira. Ia tidak memfilter ucapannya.
Indy langsung merubah ekspresinya saat itu juga. Tangannya bergerak naik turun di kawasan leher.
"Aduh. Iya nih, Bu. Gak tahu kenapa tiba-tiba gini. Aku tahu pas bangun tidur. Gatel loh, Bu. Apa alergi makanan, ya?" Indy mengelabui keadaan.
"Makan apa emangnya kamu?"
"Tadi malam aku makan seafood, Bu. Terus, paginya langsung merah dan gatel-gatel ini,"
Indy memasang paras kusam. Ia menciptakan drama seolah lehernya sedang terserang gatal-gatal sungguhan.
"Mampus! Ini akibat ulah Mas Dito yang gak pakai otak." Indy bermonolog. Tadi malam Dito melancarkan aksinya tanpa perkiraan.
Ira yakin tidak yakin mendengar jawaban pembantunya tersebut. Dia tahu persis itu tanda apa, karena Ira juga pernah memilikinya. Namun di sisi lain, Ira juga tahu kalau Indy tak pernah bertemu siapapun. Hanya ada satu pria di rumah mereka. Apakah mungkin Dito yang melakukannya? Tidak. Ira tak pernah menduga hal seperti itu.
"Kamu perlu obat untuk gatal-gatal?" Ira tetap perhatian, walaupun Indy telah membohonginya.
"Gak usah, Bu. Nanti pakai minyak punyaku aja," tolak Indy halus. Ia tahu tanda merah itu akan hilang dengan sendirinya selama beberapa hari ke depan.
"Ya, sudah kalau kamu gak mau,"
Ira mengangkat kaki menuju kamarnya sendiri. Tak ingin terlampau suuzon dengan Indy. Ira ingat perkataan suaminya untuk tidak mencampuri urusan orang lain.
Ira merasa sesak yang luar biasa. Ia pun bergegas untuk masuk ke kamar mandi guna membuang air. Saking tidak tahannya, Ira sampai tak hati-hati dan langsung lari begitu saja. Ia tidak sadar jika lantai kamar mandi tersebut licin, sehingga Ira terpeleset lalu terguling ke bawah.
BRAK!!!
Ira terpental. Bokongnya tergelincir di hamparan lantai serta kedua kakinya berusaha mendayung untuk menghentikan pergerakan. Ira merasakan sakit yang luar biasa pada anggota tubuh bagian bawah. Ia pun menjerit minta tolong.
"Toloooong!"
Ira merangkak menuju pintu kamar mandi dan membukanya. Wanita itu tak dapat berdiri. Ira juga kaget saat melihat sekujur kakinya bewarna merah kebiruan. Terpeleset di kamar mandi membuat kaki Ira lebam-lebam.
"Tolong!" Sekali lagi Ira memekik.
Tidak ada Dito di sini. Pria itu sudah pergi terlebih dahulu tanpa sarapan pagi. Ira hanya mengandalkan Indy yang posisinya sedang di dapur.
"Tini!" Ira berusaha keluar dari bilik kecil itu.
Indy yang mendengar laungan suara Ira langsung ngeloyor ke arah sumber. Ia mendapati Ira sudah setengah basah dengan posisi terbaring di lantai kamar, tepatnya di dekat kamar mandi.
"Loh, kenapa, Bu?" Indy kaget. Baru saja dia mengobrol dengan perempuan tersebut.
"Aduh, Tini. Sakit banget kaki Ibu. Tolong panggilkan supir di bawah untuk ke rumah sakit, ya," pinta Ira. Sejak tadi ia sibuk mengelus-elus kaki lebamnya.
"Ibu terpeleset?"
"Iya. Cepat panggil supir di bawah,"
"Iya, Bu. Tunggu, ya,"
***
Kejadian dua hari lalu membuat Ira terpaksa harus menggunakan kursi roda jika ingin berpindah tempat. Dito juga memasang bel yang terhubung langsung ke seluruh ruangan rumah agar memudahkan Ira untuk memanggil Indy, jika ia memerlukan bantuan. Ira belum bisa berjalan hingga beberapa waktu ke depan, tapi bukan berarti ia mengalami lumpuh. Kedua kaki Ira terkilir akibat terpeleset di kamar mandi.
"Duh! Aku lapar dan belum minum obat sejak tadi,"
Ira mengeluh, karena Indy yang tak kunjung datang membawakannya makanan. Berulang kali Ira memencet bel agar Indy menemuinya, tapi Ira kerap mendapat hasil nihil. Ira mulai kesal. Entah di mana pembantunya itu.
"Tini selalu menghindar setiap kali aku sakit." Ira mulai memperhitungkan kesetiaan asisten rumah tangganya tersebut.
***
Bersambung