"Aku Indy. Karyawan di café Mas Dito. Soal kebakaran dan aku gak punya rumah, semua itu cuma omong kosong. Aku pindah ke sini supaya bisa selalu dekat sama Mas Dito." Indy memperkenalkan dirinya.
"Malang banget nasib kamu. Setiap malam Mas Dito selalu ke kamarku saat kamu udah tidur dan kembali sebelum subuh. Mas Dito juga ngasih aku jatah bulanan, bahkan nominalnya jauh lebih besar daripada jatah kamu," lanjutnya. Sesekali Indy tersenyum jumawa.
"Aku pakai nama samaran supaya kamu gak mudah menemukan identitasku. Ira-Ira. Kamu memang perempuan polos, ya! Seharusnya kamu cari tahu seluk belukku dan gak asal terima pembantu. Hahaha." Deretan gigi putih Indy tampak. Perutnya naik turun karena tertawa.
Perkataa Indy bagai kilatan petir. Ira menatap wajah pucat pasi suaminya tanpa kedip.
"Benar yang perempuan itu katakan, Mas?" Ira meminta jawaban.
"Jujur aja, Mas. Percuma bohong, karena Inah juga tahu." Indy menyarankan.
Dito terjebak dalam pilihan yang sulit. Namun saat itu juga ia tersadar, bahwa kebohongan mustahil menyelamatkannya. Ira sudah terlanjur menangkap basah mereka.
"Iya, Ira. Wanita ini namanya Indy dan kami berpacaran sudah berbulan-bulan,"
"Hiks hiks hisk. Kenapa, Mas? Kenapa kamu bohongi aku selama ini?" Ira mencengkram punggung tangan Dito sambil mendongak.
"Ira, maafkan aku. Jujur, aku memang pernah cinta sama kamu, tapi dulu. Perasaan itu sudah hilang, karena kamu gak cantik lagi." Pada akhirnya Dito mengakui segalanya.
"Alasan macam apa itu, Mas?" Ira terkesiap.
"Ira. Berulang kali aku bilang sama kamu untuk perbaiki penampilan, tapi kamu gak pernah dengerin omonganku. Apa salah kalau aku tergoda sama Indy yang jauh lebih cantik? Aku laki-laki normal, Ira,"
Ira meremas dadanya sendiri. Diliriknya dari ekor mata wajah Indy yang tersenyum puas. Ira benar-benar malu. Ia merasa tidak pantas menjadi wanita.
"Eh, Ira! Sudahlah. Kamu terima nasib aja. Kamu itu udah jelek, tua lagi. Beda banget sama aku yang masih muda dan cantik ini," ucap Indy tanpa perkiraan.
"Diam kamu, Jalang! Aku gak ngomong sama kamu." Ira menunjuk paras Indy.
"Jalang? Ngaca, Ira. Faktanya suami kamu yang dekati aku duluan,"
Emosi mendengar penuturan Ira, Indy pun mendekatkan diri dan langsung menjambak rambut Ira. Perempuan itu meringis kesakitan. Ia tak dapat melawan, karena kondisi yang tak memungkinkan.
"Lepas!" Ira berteriak.
"Indy, udah! Lepas. Jangan anarkis begitu,"
Dito jadi bingung sendiri melihat tingkah dua manusia di depannya. Dito merengkuh tubuh Indy dan menyeretnya untuk masuk ke kamar.
"Jangan sentuh fisik Ira, karena akan berbahaya untuk kita," titah Dito mempertingatkan.
Kemudian ia mendorong kursi roda Inah menuju kamar. Di sana, mereka bisa ngobrol sepuasnya tanpa campur tangan Indy.
"Maafkan aku, Ira. Kuharap kamu bisa ngerti dan gak menyalahkan aku sepenuhnya." Dito memilih untuk duduk di sofa kamar.
"Aku bisa berubah, Mas. Aku juga bisa berdandan cantik seperti perempuan di luaran sana. Kamu gak harus ambil keputusan secepat ini!"
"Terlambat, Ira. Aku sudah bicara dari dulu sama kamu, tapi selalu diabaikan. Aku cinta sama Indy. Aku gak bisa lepasin dia,"
Ira meremas rambutnya tanda frustasi. Siapa sangka di pernikahannya yang ke lima tahun, ia akan dihadiahi oleh sebuah pengkhianatan.
"Berarti kamu bohong soal ketemu Indy pagi itu, Mas? Sewaktu aku nunggu kamu pagi-pagi di café." Ira teringat kejadian dua bulan lalu.
"Iya, aku bohong. Aku kesal sama kamu dan aku mutusin untuk bermalam sama Indy,"
"Astaga, Mas. Kamu ini suami macam apa sih?"
Ira benar-benar ingin membenturkan kepalanya ke tembok kamar. Andai boleh meminta, Ira pasti sudah bermunajat agar Tuhan mencabut nyawanya detik ini juga.
"Aku gak mau berdebat, Ira. Kamu tenang aja, karena aku gak bakal ceraikan kamu. Udah, ya. Kamu istirahat aja di sini. Aku mau cari angin dulu,"
Dito berlalu dan membiarkan Ira seorang diri di kamarnya. Sebelum benar-benar pergi, Dito mengambil ponsel Ira dan memasukkannya ke dalam saku.
"Mas!"
Dito menoleh saat suara familiar menyapanya. Ternyata ada Indy yang sejak tadi menunggunya di ruang tamu.
"Ke mana istri kampungan kamu itu?" Indy membelokkan kepala ke kanan dan kiri.
"Kutinggal di kamar. Kamu udah puas kan, Indy?" sindir Dito yang agak kesal akibat Indy tak memfilter ucapan.
Indy bangkit dan bergelayut manja di lengan Dito. Tentu saja dia bahagia, karena memang hal itu yang dia inginkan.
"Jangan ngambek begitu dong, Mas. Jelek tahu," cercah Indy, lalu menowel dagu Dito.
"Mas gak bisa bayangin kalau hal ini sampai tercium ke orang tua,"
"Kita harus lakuin sesuatu, Mas,"
"Mas udah ambil Hp Ira, jadi dia gak bisa hubungi siapapun. Mas juga bakal kurung dia di rumah ini,"
"Ide bagus, Mas. Jadi, aku bisa bebas deh,"
Indy membentangkan kedua tangan seraya mendongakkan wajah. Ia juga menghirup oksigen dalam-dalam. Indy sedang membayangkan kenikmatan yang ia peroleh di rumah ini. Mulai sekarang semuanya akan terbalik. Ira menjadi pembantu dan Indylah majikannya. Apa yang dirasakan Indy dahulu akan dirasakan juga oleh Ira.
"Terserah kamu. Mas mau keluar dulu nenangin pikiran,"
Dito tak akan membiarkan pengkhianatannya diketahui oleh orang lain. Ia keluar rumah guna mencari cara terbaik untuk menyembunyikan semuanya. Dito sudah mengambil Handphone Ira dan sekarang dia berencana untuk meyewa beberapa pria guna menjaga rumah mereka. Jagan sampai Inah lari dari pengawasan.
Pagi itu juga Dito menghadirkan lima laki-laki gagah dan tinggi di kediamannya. Ia juga memberitahu Indy untuk memata-matai pergerakan Ira ketika di rumah. Setelahnya, perasaan Dito menjadi lega. Ia tak perlu memikirkan Ira dan orang tuanya lagi.
Seberes kepergian Dito ke café, Indy mulai melakoni peran barunya. Ia memasuki kamar Ira tanpa izin dan mendapati wanita itu tengah tertidur pulas di ranjang.
"Eh, bangun!" Indy memukul kaki Ira.
"Aaaaakh!" Ira sontak terbangun dan memegang kakinya yang memar itu. "Apa-apaan kamu, Indy?"
"Denger, ya! Mulai sekarang akulah Nyonya di rumah ini. Kamu gak bisa membantah omonganku," ucap Indy penuh kesombongan.
"Jangan mimpi kamu, Indy. Kamu itu tak lebih dari seorang pelakor!"
"Jaga mulutmu ya, perempuan tua!"
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat keras di pipi Ira.
"Kalau kamu masih mau hidup, kamu harus jadi pembantu di rumahmu sendiri. Kamu udah terkepung, Ira. Kamu gak bisa keluar dari sini,"
Ira meraba pipinya yang sudah dicap lima jari oleh Indy sambil memikirkan perkataan wanita itu. Gegas Ira menaiki kursi rodanya menuju ruang tamu.
Ira melihat lima orang pria berpakaian serba hitam di sana. Ira terkejut, karena mereka belum ada saat subuh tadi.
"Siapa kalian?" teriak Ira.
"Kami orang suruhan Pak Dito yang bakal jagain Ibu supaya gak kabur," jawab laki-laki berkepala botak.
Sekarang Ira paham maksud dari perkataan Indy. Namun, Ira tak putus asa. Ada sebuah benda yang dapat menyelamatkannya dari kepungan singa-singa tersebut.
"Aku bakal menghubungi polisi," batin Ira. Buru-buru ia ke kamar untuk mengambil ponsel.
***
Bersambung