Dua minggu sudah Indy mengabdikan diri di kediaman Dito. Ia lebih menikmati pekerjaan barunya ketimbang menjadi pelayan café. Di mana Indy bisa beristirahat kala lelah tanpa ada orang lain yang akan nyinyir. Kalau di café, mana mungkin dia bisa berhenti, mengingat tamu yang kerap silih berganti.
Awalnya Ira sempat cemburu dan mencurigai keberadaan Indy di rumanya. Namun setelah dua minggu belakangan ini, Ira sering melihat suaminya membentak Indy. Hal itu membuat Ira yakin jika diantara keduanya tidak terjadi hubungan apa-apa.
Pagi ini Ira dibuat heran karena Indy yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Biasanya wanita itu sudah menyiapkan sarapan di meja makan.
"Kuketuk aja deh pintunya," gumam Ira, kemudian bergulir ke kamar asisten.
Tok! Tok! Tok!
"Tini!" Ira memekik.
Lama Ira menunggu di ambang pintu, tapi yang dipanggil tak juga keluar ruangan. Ira jadi penasaran. Akhirnya dia memutuskan untuk menarik knock pintu kamar Ira.
Klek…
"Eh, terbuka." Ira sempat mengira kalau pintunya dikunci.
Buru-buru Ira menyembulkan kepala guna mengintai keberadaan Indy. Alangkah terkejutnya Ira ketika melihat selimut yang bergulung dan menunjukkan kepala manusia di atasnya.
"Tini?" Ira setengah berlari.
Ira mendapati Indy memeluk wajahnya sendiri sambil meringis. Ia dibanjiri oleh keringat. Ira memegang dahi pembantunya dan ia merasakan hawa panas.
"Astaga, Tini. Kamu demam?" Ira bertanya dengan nada panik.
Indy tak bisa menjawab. Bahkan hanya untuk sekadar menilik wajah Ira, ia pun kesulitan. Indy merasa pemandangannya buram dan tubuhnya begitu lemas.
"Sebentar, Ibu telpon dokter buat kamu, ya,"
Gegas Ira mengambil gawainya di kamar dan langsung menghubungi dokter pribadi. Ira enggan membawa Indy ke rumah sakit, karena tak ingin mengganggu wanita itu. Biarlah Indy merebahkan tubuh seraya menunggu kehadiran dokter.
Ira ikut menemani pembantunya hingga 30 menit ke depan. Ia kembali keluar setelah mendengar bel rumah berbunyi.
"Itu pasti dokter," ucap Ira.
Wanita itu pun menyambut kedatangan dokter pribadi dan langsung menggiringnya ke kamar Indy. Sang dokter meminta agar Ira menunggu di luar sementara ia memeriksa keadaan wanita bertubuh putih tersebut.
Tak lama setelah itu, dokter keluar dengan stetoskop yang tercantel di leher.
"Gimana, dokter?" tanya Ira.
"Saudari Tini mengalami demam tinggi, mungkin karena kecapekan. Saya udah memberi obat dan harus diminum 3 kali sehari, ya," balas pria berkacamata itu.
"Cuma demam aja kan, dok?"
"Iya,"
Ira mengucapkan terimakasih setelah mendengar jawaban. Tak lupa ia menyerahkan beberapa lembar uang, kemudian mengantar dokter sampai beranda rumah. Ira bersyukur, karena tidak ada sesuatu yang lebih parah. Awalnya Ira menduga jika pembantunya terserang tipes, karena demamnya yang terlampau tinggi.
Ira tak menemukan Dito di rumahnya, pertanda bahwa laki-laki itu sudah pergi bekerja. Karena belum ada sesuatu yang bisa dimakan, akhirnya Ira keluar rumah untuk membeli dua bungkus bubur ayam. Satu untuk dirinya dan satu untuk Indy.
"Tini. Makan dulu, ya. Supaya kamu bisa minum obat." Ira memilih untuk duduk di sisi ranjang.
Indy mencoba bangkit dan dibantu oleh Ira. Wajah Indy masih mengeluarkan ekspresi datar.
"Sini biar disuapin aja."
Melihat jemari Indy yang bergetar hebat membuat Ira tak sampai hati, jika membiarkan pembantunya itu makan seorang diri. Ira menjelma bak seorang ibu kandung yang mengasuh anaknya kala sakit. Ira melakukan semuanya dengan ikhlas, karena selama ini dia puas dengan pelayanan Indy.
Indy makan dengan lambat, sesekali ia mengkode agar Ira memberinya minum. Seusai makan, Ira juga membantu Indy untuk minum obat dan membiarkannya beristirahat. Ira mengambil alih semua pekerjaan Indy dan semua itu berlangsung hingga tiga hari.
***
"Makasih udah rawat aku ya, Bu." Indy cengengesan menghampiri majikannya di ruang tamu.
Ini merupakan hari ke empat bagi Indy setelah kejadian demam tinggi kemarin. Sekarang dia sudah jauh lebih baik dan bisa menjalani aktivitas seperti biasanya. Indy menemui Ira yang sedang santai membaca majalah. Dia membuatkan sup ayam untuk perempuan yang telah mengurusinya selama tiga hari penuh.
"Kamu udah sembuh, Tini?" Ira terkejut. Ia tidak tahu kapan Indy bangkit dari kamar.
Indy mengangguk mantap seraya meletakkan mangkuk sup di meja.
"Dimakan dulu, Bu. Ibu belum masak, kan? Tadi Pak Dito sarapan apa?" Tiba-tiba Indy teringat akan selingkuhannya.
"Tadi pesan makanan online," jawab Ira tanpa menarh curiga.
"Yaudah, Bu. Kalau gitu aku masak dulu, ya,"
Ira memberi anggukan atas perkataan Indy. Ia bersyukur karena gadis itu telah sembuh, sehingga ia bisa kembali bersantai di rumahnya.
Siang hari, Ira kembali memanggil Indy untuk berhadapan dengan dirinya.
"Ada apa, Bu?" Indy tergopoh-gopoh dari bagian belakang rumah.
"Kerjaan kamu udah selesai?"
"Sudah, Bu."
"Kamu ganti pakaian, gih."
Perkataan Ira mendapat sorot aneh dari Indy. Tidak biasanya ia meminta pembantunya untuk berganti pakaian.
"Kenapa, Bu?" Indy heran.
"Ibu mau ajak kamu ke mall,"
Sepasang mata Indy membulat. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa keluar dari rumah Dito.
"Wah. Sebentar, Bu." Indy berlari sekencang mungkin.
Keduanya menaiki mobil pribadi Ira tanpa supir. Indy yang awalnya duduk di jok belakang, kini disuruh pindah untuk duduk di sisi Ira. Ira tak ingin membeda-bedakan status dirinya dengan Indy.
Ira membawa asitennya ke toko pakaian. Sedangkan itu, Indy hanya berdiri termenung melihat barisan baju-baju branded tersebut.
"Tini. Kalau kamu mau, ambil aja." Ira yang menyadari hal itu, lantas saja mengambil sikap. Ia paham jika Indy tidak memiliki uang yang cukup.
"Hah, boleh, Bu?" Indy terkejut.
"Iya. Ambil aja mana yang kamu suka,"
Tanpa menunggu lama,Indy langsung memilih pakaian yang ia suka. Beruntung sekali memiliki majikan polos dan baik seperti Ira. Terkadang Indy teringat wajah Dito. Andai saja Inah tahu jika Indy merupakan selingkuhan Dito, pasti wanita itu tak akan sudi melakukan semuanya.
Indy merasa bahwa Ira telah menyayangi dirinya. Tidak sia-sia Indy rajin bekerja di kediaman Dito. Rencana Dito untuk selalu membentak Indy membuahkan hasil. Tanpa Ira tahu, Indy diberi bayaran mahal atas misi tersebut.
***
Sebulan berlalu. Ira kian memanjakan Indy di sisinya. Wanita itu kerap diperlakukan bak saudara kandung sendiri. Ira juga sering memberi bonus cuma-cuma untuk Indy. Hal itu membuat Indy menjadi besar kepala. Perlahan-lahan Indy mulai hilang kesadaran jika dirinya hanyalah pembantu di sana.
Hari ini Ira dibuat kaget, karena keadaan rumah masih berantakan padahal jam sudah membidik angka sebelas. Ira juga tidak melihat kehadiran Indy.
"Tini!" Ira menarik langkah ke kamar pembantu dan menemukan Indy sedang memainkan ponselnya.
"Loh, Ibu kira kamu tidur," titah Ira. Ia mendekatkan diri pada Indy.
"Kamu kenapa belum bersihin rumah?" tanya Ira kembali setelah tidak mendapat respon.
Indy mendengus panjang. Lama-lama ia bosan mengerjakan pekerjaan yang itu-itu saja setipa hari. Indy bangkit dipenuhi rasa malas. Ia melintasi Ira begitu saja.
"Kenapa Tini mendadak aneh?" Kelakuan Indy menimbulkan pertanyaan di benak Ira.
***
Bersambung