"Apakah bisa saya bantu?"
Takao segera memberikan selembar kertas setelah petugas percetakan bertanya. Dia lalu berdiri dan menunggu. Setelah sekian akhirnya Takao mendapatkan yang di inginkan.
"Terimakasih."
Petugas percetakan menganggukkan kepalanya. Takao kemudian membayar nota nya. Ada sekitar seratus lembar poster yang sekarang berada di tangan. Besok dia akan menyebarkan semua poster itu. Di perjalanan pulang ada sekelompok anak SMA yang sedang meminta uang kepada satu murid.
"Tolong jangan ambil uangku."
Anak itu memohon agar uangnya di kembalikan. Tetapi mereka tidak mengembalikan tapi justru tertawa. Takao kemudian berjalan menghampiri mereka.
"Apa yang sedang kalian lakukan?"
"Siapa kamu? Jangan ikut campur dengan urusanku."
"Hei tunggu. Bukankah kamu yang duduk di belakangku?"
Seorang dari mereka mengatakannya. Takao kemudian teringat saat pertama kali duduk di bangkunya. Dia melihat ada beberapa orang yang berwajah menakutkan duduk di depan, belakang, sisi kanan, dan kiri.
"Kamu?"
Takao menunjukkan pemuda itu dengan jari telunjuknya.
"Akhirnya kamu sudah ingat. Jangan ikut campur dengan urusan kami kalau tidak ingin badanmu menjadi terluka."
Pemuda itu mengancam. Sebuah senyuman kemudian menghiasi wajah Takao.
"Aku tidak ingin ikut campur. Tadi aku hanya bertanya. Sekarang aku sudah melihatnya."
"Baguslah kalau begitu."
Para sekelompok pemuda itu terlihat senang dan besar kepala. Siswa yang di tindas meminta bantuan kepada Takao tetapi kemudian di urungkan setelah mendengar ucapan itu.
"Tentu saja aku sudah melihat sebentar lagi kalian akan di tangkap oleh polisi."
Setelah mengatakannya, Takao melangkahkan kakinya pergi. Seperti yang di katakan oleh Takao. Hanya hitungan menit polisi datang.
"Kurang ajar."
Sekelompok orang tadi yang sedang mengambil uang teman sekolahnya kemudian berlari dengan cepat. Menghindar dari polisi dan bersembunyi agar tidak tertangkap. Takao tersenyum senang kemudian mengambil handphonenya. Dia telah merekam perbuatan sekelompok orang tadi. Seperti sudah menemukan berita yang baik. Keesokan harinya Takao sedang berdiri di lorong sekolah. Sekelompok pria yang berjumlah enam orang menghampiri Takao.
"Selamat pagi."
Takao melambaikan tangan kepada sekelompok pria yang sedang berjalan menghampirinya.
"Berani sekali kamu melaporkannya kepada polisi. Kami pasti akan memberikan perhitungan kepadamu."
"Jangan memendam rasa permusuhan yang begitu kuat. Kalian sekarang terlihat seram sekali. Aku jadi takut."
Takao mengatakan dan mengangkat dua tangannya ke atas.
"Hah. Dasar bocah tengik!"
Salah satu dari anggota mereka melipatkan lengan bajunya ke atas.
"Sudahlah! Bukankah kita ini teman satu kelas. Aku ingin memperlihatkan sesuatu kepada kalian."
Takao kemudian meraih sesuatu di dalam saku celananya. Benda itu adalah sebuah handphone. Dia lalu memperlihatkan sebuah video kepada enam pria yang sekarang berdiri di depannya.
"Bukankah ini gambar kita saat kejadian kemarin? Ternyata kamu telah merekamnya."
"Cepat berikan kepada kami.!"
"Aku akan memberikan video ini setelah kalian mau memenuhi persyaratan dariku."
"Sial! Kalau begitu aku akan merebutnya dengan paksa."
Seorang anak bertubuh tinggi dan besar berusaha untuk mengambil handphone di tangan Takao. Tetapi tidak berhasil. Takao dengan mudah menghindarinya.
"Cepat sekali!"
Temannya terpanah melihat kelincahan dari Takao.
"Oh, iya. Ada satu hal yang belum aku katakan kepada kalian. Sebenarnya video ini telah aku copy di laptop rumah."
"Apa?"
"Kalau begitu masing-masing dari kalian bisa memikirkannya dengan baik. Bye?"
"Tunggu dulu. Mau pergi kemana kamu?"
Takao berlari pergi. Mereka berteriak dan mencoba untuk menahan. Tetapi Takao tidak menghiraukannya. Bel masuk berbunyi. Takao telah duduk di bangkunya. Saat mengikuti pelajaran dia telah di perhatikan oleh lima orang.
"Kenapa tubuhku menjadi dingin?"
Takao merasakan merinding. Seperti ada seseorang yang sedang menatapnya dengan tajam. Pelajaran yang di berikan oleh pak guru terasa mudah untuk para murid. Bel istirahat kemudian berbunyi. Takao masih menulis catatan dari pak guru. Saat menyalin kemudian enam pria yang mendapatkan ancaman dari Takao kini berada di hadapannya.
"Hei, kamu!"
Takao mengangkat wajahnya setelah mendengar seseorang berbicara dengannya.
"Oh, ternyata kalian. Maaf aku sedang sibuk tidak bisa bermain dengan kalian."
"Jangan bercanda!"
Seorang pria bertubuh kurus tapi tinggi menarik kerah baju Takao. Tetapi Takao tidak menunjukkan ekspresi ketakutan di wajahnya. Bahkan dia tersenyum. Pria itu menggertakkan giginya kemudian mendorong Takao dengan keras hingga kursi dan tubuhnya terjatuh.
"Kalau kalian ingin aku menghapus video itu, maka ada satu persyaratan yang harus di lakukan."
Enam pria saling mengerutkan kening setelah mendengar ucapan dari Takao.
"Apa maksud dari perkataan mu?"
Lagi-lagi pria yang bertubuh tinggi itu bertanya dengan mengancam. Takao masih menghadapinya dengan tenang.
"Aku ingin kalian melakukan sesuatu untukku."
Untuk ke dua kalinya Takao mengucapkan kalimat yang sama dengan artinya.
"Sudahlah hentikan. Jangan membuat kegaduhan."
Seorang pria yang dingin memberikan perintah kepada temannya untuk diam. Lima orang lainnya mulai tenang.
"Hoh?"
Takao kemudian berusaha untuk membersihkan seragamnya yang kotor tadi karena terkena debu. Dia lalu menatap siswa dingin yang mencegah temannya dengan tajam. Sepertinya pria itu adalah pemimpin mereka. Sosok keberadaannya sungguh kuat.
"Apa yang bisa kami lakukan untukmu?"
Takao tidak menjawabnya. Dia meraih kursi yang jatuh di lantai.
"Tim voli putra sekolah kita tidak memiliki anggota. Aku membutuhkan kalian untuk menjadi anggota tim voli putra."
"Hah!"
Siswa yang bertubuh besar berteriak.
"Hanya untuk musim semi saja. Setelah itu aku berjanji akan menghapus video itu dan tidak melaporkannya kepada guru."
"Apakah hanya itu yang kami lakukan?"
Secara tiba-tiba pria dingin itu maju ke depan melewati temannya. Dia menatapnya dengan tajam. Takao berusaha untuk tenang. Berbeda saat berhadapan dengan temannya. Pria itu memiliki instimidasi yang kuat. Takao kemudian menganggukkan kepala dengan penuh percaya diri. Jika dia menunjukkan keraguan maka mereka tidak akan bersedia ikut dan keinginannya bermain bola saat berada di SMA akan gagal.
"Baiklah kalau begitu. Kami akan ikut bergabung dengan tim voli putra. Ayo kita pergi?"
Hanya beberapa kalimat saja siswa itu menjawabnya. Dia lalu memberikan perintah kepada anggotanya. Seluruh anggota kelompok kemudian mematuhinya. Sebelum mereka pergi, Takao memberanikan diri untuk mengatakan sesuatu.
"Setelah pulang sekolah nanti, aku akan menunggu kalian di lapangan klub voli. Jangan lupa untuk datang ya?"
Setelah menyampaikan pesan dia kemudian melambaikan dua tangannya kepada enam orang itu. Tidak ada respon dari mereka. Hanya pria yang dingin itu tersenyum tipis kepada Takao. Setelah sosok mereka pergi, tubuh Takao menjadi lemas dan bertenaga. Berusaha untuk bersikap berani memang sulit. Tetapi asalkan bisa bermain voli lagi itu tidak masalah.
"Anggota tim voli putra yang terdiri dari anak nakal paling di takuti seluruh siswa. Bukankah ini akan menjadi tantangan tersendiri baginya."
Takao mengangkat tangannya sedikit ke atas dan menggenggam telapak tangannya dengan erat.