Ada kalanya di mana Fafa tak mau keluar dari ruangan saat Lewan terus bertanya kapan dia akan dipertemukan dengan Ji-ya. Tentu saja, itu tak pasti. Dalam artian seperti ini, bukankah Lewan sendiri sudah memiliki tunangan?
Dia publik figure dengan segala pesonanya. Sangat jauh langkah untuk digapainya. Ah, ngomong-ngomong karena ada persiapan khusus untuk pergantian pemain e-sports dari Indonesia ke tim kami, Fafa jauhhh lebih sibuk dari sebelumnya.
"Aku bersyukur karena setidaknya Jia tak sering menelpon. Akhir-akhir dia bahkan pandai memasak," adu Fafa pada Sheila.
Bawahannya itu tertawa. "Bu Fafa benar-benar harus pandai memilih kata. Tidak semua orang di kantor ini seperti halnya saya yang cuman tersenyum sambil menyahut. Beberapa sedang mencari kelemahan Anda."
Fafa memutar bola matanya. "Terserah juga. Lagian pak Lewan jauh lebih menyukai kinerjaku yang sat-set tidak seperti kalian."
Sheila cemberut, sedikit tersindir karena selama dua tahun menjadi bawahan langsung Fafa memang lelet sekali dalam menyelesaikan tugasnya. Meskipun demikian dia tahu bahwa atasannya tak bersungguh-sungguh, wanita yang telah menjaga dan mendengarkan segala keluh kesahnya itu sangat baik.
Dulu Sheila sempat minder. Dia berpikir bahwa tak akan bertahan selama 4 bulan masa percobaan. Siapa yang menyangka bahwa sekarang dialah satu-satunya yang bertahan dua tahun lebih?
Menurut berita yang seliweran, pak Lewan bahkan tak berkutik atas pilihan Bu Fafa. Semua orang di kantor tahu seberapa besar kasih sayang Presdir pada sekretarisnya ini. Dan, sekilas cerita singkat ini beralih menjadi rumor.
"Jangan pernah menyindir Bu Fafa, kalau pak Lewan mendengar ocehan itu maka masa kerjamu tak akan bertahan lama."
Begitulah yang Sheila dengar. Anehnya selama dia bekerja, meskipun terus mengajukan sindiran pada atasannya, wanita itu tetap nyaman-nyaman saja menceritakan kehidupan pribadinya.
"Lantas, mengapa Bu Fafa lebih memilih Pak Yang?" tanya Sheila.
Untungnya ini jam istirahat kerja, biasanya mereka memang membuat aturan sendiri. Istirahat kerja bukannya sebentar tapi justru satu jam!
"Oh, Pak Yang dan aku kan sering bersama. Pergi jalan-jalan bukan berarti aku menyukainya sebagai seseorang pria, Sheila. Untukku yang sudah pernah disakiti, mencintai seseorang itu menakutkan," balas Fafa enteng.
Memang, tak ada orang yang jauh lebih gila dari pada mencintai kembali setelah disakiti. Beberapa orang mungkin berkata bahwa, salah siapa jatuh hati, padahal nyatanya cinta datang tanpa disadari insan mana pun juga.
"Sudah selesai mengobrol nona-nona? Bubar!" Teriakan menggelegar milik Lewan membuat Sheila lari terbirit-birit dari meja Fafa.
Fafa sendiri hanya memutar bola matanya. Dia sudah hampir berumur 29 tahun, meskipun Lewan jauh lebih matang usianya, dia juga pria.
Menurut Fafa, siapapun itu selama pria dia pasti membutuhkan sosok yang akan menganggapnya bayi. Ya setelah menikah pria akan manja bukan? Baju saja kudu disiapkan! Jadi, mengapa harus takut pada pak Lewan?
"Saya sedang istirahat, capek, lelah, butuh energi," ujar Fafa.
Jam istirahat artinya tak kerja. Dan selama masa ini Lewan bukanlah bosnya, sekian, terima gaji kapan?
"Ayo makan di dalam. Ada seblak," ajak pak Lewan.
Fafa tertawa. "Dari mana Anda tahu bahwa saya suka seblak?"
"He-eun, dia bawahanku. Ah, walaupun kami saingan informasi seperti ini bisa dibagi," balas pak Lewan.
Fafa geleng-geleng kepala. Haruskah dia mendengar perkataan tak masuk akal ini secara langsung?
***
Jam berlalu begitu cepatnya, Lewan kini sedang menunggu tunangannya datang. Pernikahan bisnis, makanya selama di kantor dia jauh lebih bahagia.
"Ada si manis."
Meskipun tak benar-benar menyukai Fafa dalam artian sarange, tapi Lewan cukup menghormati wanita tangguh itu. Dia bahkan memperkenalkan Fafa pada beberapa koleganya, berharap salah seorang di antara mereka bisa menerima segala kekurangan di balik kelebihan wanita itu.
"Oppa!"
Suara merdu tunangannya membuat Lewan tersenyum lebar. Dia mendekati wanitanya, meskipun lebih muda 5 tahun, gadis ini selalu saja pandai menyesuaikan diri di lingkungan apapun.
Suka sih tidak, segala tindakan Lewan hanya formalitas saja. Selama tak merugikan maka akan dia lakukan, kecuali pada Fafa, itu merugikan. Masalahnya dengan Fafa dia merasa leluasa hingga Lewan terus mendekatinya walaupun merugikan untuknya.
"Oppa masih saja mengawasinya. Kenapa lagi kali ini?" tanya gadisnya.
Dia kelihatan bersemangat tadi, tetapi agaknya kali ini Lewan lagi-lagi meruntuhkan semangat tersebut. Meskipun demikian Lewan tak berniat meminta maaf, keduanya sama-sama tahu batasan dan jalan yang harus ditempuh.
"Beberapa hari lalu, J Groups tampak aneh. Pimpinan mereka, Lee Jie-soe kelihatan tak nyaman saat mengetahui bahwa yang ada adalah He-eun. Kau tahu, dia dari Indonesia dan kentara sekali bahwa kedatangannya ingin menemui Fafa," jelas Lewan.
Dia pernah mengorek informasi masa lalu J Groups demi kepentingan kerja. Namun, sama sekali tak pernah disebutkan wanita lain selain Febiranza, desainer terkemuka di mata dunia.
"Ah, Oppa selalu saja asal menebak. Jangan ikut campur, eonni Fafa sudah cukup lelah mengurusi hidupnya sendiri saat ini. Awas saja, aku tak akan membiarkan Oppa merepotkan bawahan sebaik itu!" geram gadisnya.
Lewan tergelak. "Bukankah harusnya tak begitu?"
Tunangannya mundur beberapa langkah kemudian memiringkan kepalanya. "Maksud Oppa? Aku tak paham."
"Nona manis, bukankah seharusnya kau menjambak rambutnya alih-alih mendukung dan memberikan penyemangat? Setahuku saat laki-laki memikirkan wanita lain, maka akan ada badai petir menyambar dan kedua wanita akan bertengkar," goda Lewan.
Gelak tawa terdengar setelahnya. "Oppa bodoh sekali, bagaimana mungkin aku menjambak rambut eonni jika tahu dia menutup hatinya? Cih, Oppa saja yang kegatelan makanya terus memikirkan wanita cantik. Lagian, aku tahu betul mana yang licik ataupun yang baik."
Jawaban yang sangat memuaskan untuk Lewan. Dia pun mendekat, menepikan anak rambut sang gadis. Kini tangannya menyentuh rambut belakang kekasihnya, menarik pelan bagian belakang kepalanya sang gadis hingga bibir keduanya bertemu.
Pelan tapi pasti, keduanya saling membagi, Lewan menurunkan tangannya, mengangkat sang gadis hingga berhasil mendudukkannya di meja. Ciuman pun kian mendalam, sampai keduanya kelihatan ... sangat panas.
He-eun menarik Fafa yang hendak masuk. Dia sedari awal beradab di dekat pasangan sialan itu. Mendengarkan segala obrolan sambil menahan diri agar tidak muntah.
"Ah, hampir saja," ucap Fafa penuh syukur.
Senyum kecut He-eun tunjukkan. "Jangan masuk sampai nanti, langsung pulang saja dengan Sheila. Jam kerja sudah hampir selesai, biar aku yang mengurus berkas."
Wajah Fafa memperlihatkan bahwa dia merasa bersalah. He-eun pun menyentil kening temannya itu.
"Pulanglah, Sheila menunggu di lobi dan Jia butuh makan malam, oke?"
"Tapi He-eun. Mereka makin keterlaluan saja, aku tak suka saat jam-jam terakhir kerja harus selalu merepotkanmu," timpal Fafa.
He-eun tak bisa berkata-kata. Namun, dia meringis di ujung kalimatnya sambil berbisik, "Setidaknya mereka tak coblos di sini, baby."
-Bersambung ....