Jie-soe menatap Fafa. Keduanya kini berada di bukit belakang rumah, sedikit jauh dari rumah Fafa tapi karena cukup nyaman jadi keduanya memutuskan untuk datang kemari.
"Dia bahkan langsung tidur saat bersama denganmu," lirih Fafa.
Jie-soe yang mendengar hal tersebut pun langsung mengulurkan tangan, perlahan dia menarik pundak Fafa dan memeluk wanita itu dari samping. Jika saja Fafa menepisnya maka Jie-soe tak akan marah karena dia sadar sudah berbuat lancang.
Namun, Fafa justru menggenggam erat-erat tangannya yang terbebas. Jie-soe mengigit bibir bawahnya, dia merasa jantungnya sedang bersiap untuk meledak saat ini.
"Aku iri," lanjut Fafa.
"Karena aku bukan ayah kandungnya tapi sedekat itu? Maaf mengatakannya tapi ... bukankah He-eun juga mengakui dirinya sebagai ayah dari anakmu?" Jie-soe bertanya dengan ragu-ragu.
Hal itu membuat Fafa tertawa. "Memang, tapi jelas berbeda. Jia hanya menunjukkan minat saat di depan He-eun saja, dia sudah paham cara menghargai usaha seseorang. Sebetulnya saat di sekolah Jia lebih sering menangis karena rindu papa-nya," jelas wanita itu.
"Dan yang ada dalam hatinya itu aku. Sebetulnya cukup senang melihat fakta bahwa Jia telah menanamkan dalam hati bahwa papanya adalah aku. Tapi Fafa, bisakah kita terus berpura-pura?" Jie-soe ingin menikmati kebahagiaan ini sedikit lebih lama.
Namun, dia tak bisa selamanya berada di Korea. Sang Mama tak begitu suka jika berjauhan darinya dan kak Regia ... lebih memihak Febiranza apapun keadaannya.
Bahagia ada masanya juga, dan penderitaan yang mengikuti perlu Jie-soe tunjukkan di awal. Bukankah untuk tiba di pantai kita juga perlu mengarungi samudera?
"Aku lupa dan sedikit tak yakin. Di masa depan ... tak pernah terpikirkan rencana untuk memperkenalkan ayah yang lain," ungkap Fafa.
Ucapan yang terdengar sangat tulus itu membuat Jie-soe merasa kian kencang detak jantungnya. Dia yang sudah sepuluh tahun menunda pertanyaan penting pun kini bertanya dengan sepenuh hati.
"Waktu itu ... kenapa kamu menjelaskan padaku bahwa memiliki Jia? Bisa saja aku membongkar rahasia itu dan menyebarkannya ke seluruh dunia." Jie-soe memejamkan mata lantaran takut jika jawaban Fafa tak sesuai dengan sepuluh tahun masa penantiannya.
Fafa tersenyum tipis. "Akan ku jelaskan, suatu saat nanti."
***
["Kamu gila?!"]
Suara melengking Regia dari seberang telepon membuat Febi merutuk dalam hati. Bagaimana bisa Kanneth mengabarkan hal sepele ini ke Indonesia?
Padahal saat kencan selama beberapa hari ini Febi sengaja membuat laki-laki itu tak berniat melakukannya. Febi bahkan berusaha keras membuat Kanneth sibuk dengannya agar fokus laki-laki itu teralihkan.
Namun, siapa yang bisa menebak bahwa Kanneth masih saja memiliki celah sampai mengadu begini?
"Bukan gila, Kak. Sedari awal kita semua kan sudah paham bahwa dia menantikan seseorang. Aku tahu Mama pasti akan marah, bahkan lebih buruknya memakiku ...." Febiranza mengambil napas dalam-dalam sebelum kembali melanjutkan ucapannya itu.
"Tapi pernahkah kakak berpikir bahwa Jie-soe bukan hanya menantikan tapi juga butuh kepastian? Kakak, jika saja aku memilih bungkam dan tak mau memberi akses mereka bertemu, berapa lama lagi Jie-soe harus menanti kak Fafa datang padanya?"
Febi ingin menangis saat ini. Jika Kanneth tak menjauh beberapa meter sudah dia tendang laki-laki itu. Kalau saja Kanneth diam sejenak maka setidaknya Febi bisa menjelaskan secara langsung.
Haha, calon suaminya sangat baik hingga membuatnya mendengar semua umpatan Regia dari suara saja. Memang sih dia tak bisa melihat ekspresi murka Regia saat ini.
Ya tapi apa bedanya? Bukankah sama saja karena begitu pulang nanti semua orang akan membencinya mati-matian.
["Kakak nggak menyalahkan kamu. Febi, jangan berpikir bahwa kamu yang salah saat ini,"] ujar Regia dari seberang.
Seketika kekhwatiran yang sempat ada di dalam hatinya pun lenyap. Febi tersenyum tulus.
["Tapi bukan berarti kakak tak kesal padamu, Dek. Kami percaya bahwa dengan pergi bertiga setidaknya kamu dan Kanneth akan mengawasi Jie-soe. Tapi ... ini masalah pekerjaan juga, 'kan?"]
Febi berdehem. "Iya, Kak, aku mengerti. Dan sebetulnya ini semua sebagian besar karena pekerjaan. Hanya saja beberapa memang tak berjalan seperti rencanaku."
Kanneth tersenyum, rencananya berjalan sangat mulus kali ini. Dia sudah menebak bahwa kemarahan Regia akan membuat Febi sang pujaan hati melupakan Jie-soe segera.
Mendengar Febi bahkan langsung menjelaskan masalah Jie-soe yang membual tentang pekerjaan, hal yang menggangu pikiran pun akan lenyap tak bersisa nantinya. Kanneth tahu dia salah, tapi ini jalan terbaik agar tak ada kencan bohongan lagi.
"Bukannya aku tak ingin pergi denganmu, Dear. But your acting very bad. Saking buruknya aku langsung tahu tujuan aslimu," kekeh Kanneth.
Setelah merasa bahwa keadaan cukup membaik, lekas Kanneth duduk di mini bar. Dia menyesap segelas chocoa dengan dua bongkah gula tebu yang dibawa langsung oleh Febi saat datang kemari.
Saat meminum chocoa itu pipi Kanneth bersemu. Gula tebu adalah bukti kalau Febi masih peduli terhadapnya. Karena saat pertama kali diajak ke Indonesia ... Kanneth mengingat sesuatu yang tak pernah dilupakannya hingga detik ini.
"Ini es tebu, enak dan manis, 'kan? Like me, hehe."
***
Sheila tersenyum lebar. "He is your dad?"
"Yes!"
Kian kencang saja tawa Sheila melihat laki-laki itu. Dia pikir datang di jam 4 dini hari akan mengejutkan, Sheila mengira dia bisa membuat Fafa menangis terharu.
Tapi saat ini justru Sheila yang terkejut dan ingin menangis saja.
"I'm Sheila. What's your name?" tanya Sheila sambil mengulurkan tangannya pada Jie-soe.
"Lee Jie-soe," balas Jie-soe yang membalas uluran tangan teman Fafa itu.
Semalam dia tak berniat menginap tapi Fafa terus saja mengoceh dan mendadak tidur dalam dekapannya. Tentu saja berkat hal itu Jie-soe terpaksa kembali ke rumah ini dan memutuskan menginap.
Jangan berpikiran yang tidak-tidak, Jie-soe bahkan merasa badannya remuk pagi ini karena tidur di sofa kecil. Meskipun demikian dia senang karena saat membuka mata Ji-ya kelihatan lebih bersemangat.
Hanya saja ... didatangi oleh seseorang yang merupakan 'orang asing' di mata Jie-soe membuatnya canggung. Dia tak tahu sejauh apa akan terlibat. Namun, semalaman telah Jie-soe pikirkan bahwa dia akan terlibat sejauh itu sampai sang Mama memberikan restu.
Sambil tersenyum tipis Jie-soe bergumam dalam hati, 'Bukankah Mama menginginkan menantu dan cucu? Akan kubawakan keduanya secara langsung.'
Sheila yang sejak awal mengamati Jie-soe pun tersenyum dalam diam. Selama ini dia hanya bisa melihat foto Lee Jie-soe yang merupakan ayah kandung keponakannya. Sheila bahkan sudah mempersiapkan diri jika saja laki-laki ini tak mau muncul dalam setahun ke depan.
Tapi, dia muncul saat ini, dan dua wanita yang seperti duplikat itu tampak bahagia. Bagaimana bisa Sheila murka jika seperti ini keadaannya?
-Bersambung ....