Plak!
Selama 26 tahun hidup di dunia ini, baru kali pertama Jie-soe mendapatkan tamparan langsung dari sang ayah, Ji-won.
"Anakmu?"
Jie-soe mengangguk dengan mantap. Pertama karena dia tak ingin membuat sang putri terluka. Kedua dia memang tak berniat melepaskan Fafa. Hanya saja haruskah dia bertemu dengan sang ayah dalam waktu secepat ini?
Baru seminggu berlalu dan masalah e-sports juga baru dituntaskan olehnya. Jie-soe benar-benar tak menyangka bahwa sang ayah berhasil menemukan keberadaannya dalam waktu secepat ini. Sambil memejamkan mata Jie-soe meminta Ji-ya juga Fafa untuk mundur.
Meskipun tak berada di tempat umum lagi tapi Jie-soe lebih dari tahu bahwa Fafa tak nyaman. Kentara sekali kalau wanita yang menempati hatinya sejak lama itu ... gugup dan merasa bersalah lantaran tak bisa mengatakan apapun.
"Kapan ayah pernah mengajarimu menyembunyikan sesuatu, Lee Jie-soe? Katakan pada ayah, kapan semua ini ayah ajarkan!"
Kembali Ji-won berteriak. Dia bukan kesal karena anaknya mendadak memiliki seorang putri, yang Ji-won sesali hanya satu. Tidak bisakah putranya melihat bagaimana perjuangan Regia membesarkan anaknya?
Dengan itu saja semestinya Jie-soe tahu bahwa tak seharusnya dia membiarkan gadis muda itu berjuang sendirian selama bertahun-tahun lamanya. Ji-won benar-benar malu karena dipertemukan dalam keadaan ini.
"Ayah, setidaknya jangan seperti ini di depan anakku," tukas Jie-soe.
Untuk sesaat Ji-won yang selama ini tak pernah menyebut dirinya sebagai ayah Jie-soe karena terlalu malas pun terpana. Dia tak pernah menyangka bayi mungil yang dilahirkan sang istri mendadak jadi dewasa begini.
Apa karena dia yang selama ini jarang tinggal di Indonesia hingga tak menyadarinya? Namun, raut wajah juga bentuk mata gadis yang disebut putranya sebagai 'anak' itu benar-benar menggemaskan hingga Ji-won memutuskan untuk duduk.
"Kalau begitu duduklah, kau juga, Nak," titah Ji-won sambil menunjuk Fafa.
Kentara sekali bahwa Fafa dan Ji-ya masih ketakutan. Menyadarinya Ji-won pikir dia harus melakukan sesuatu, akan tetapi sebelum laki-laki paruh baya itu bertindak Jie-soe lebih dulu menyadarinya.
Dalam diam Ji-won mengamati sisi baru putranya itu. Terlihat begitu menggemaskan saat Jie-soe berusaha membujuk anaknya, ah, hampir saja Ji-won bersikap lemah. Mau bagaimana pun juga kelakuannya putranya salah!
"Jadi, apa yang harus kalian jelaskan sudah tahu, 'kan?" Ji-won memulai pembicaraan.
"Dia Fafa, dan ini putriku, Lee Ji-ya," ungkap Jie-soe.
Meskipun terlihat sangat tenang, Jie-soe sekarang merasa kesakitan. Di bagian hati tentunya, dimarahi saja jarang apalagi ditampar dengan kencang seperti tadi. Wah, sakitnya mungkin tak akan hilang dalam waktu dekat.
Namun, demi Ji-ya maka dia akan mengusahakan segala cara. Mereka sudah sempat mendiskusikannya walupun belum pada tahap pernikahan tapi Fafa setuju untuk terus berselimutkan kebohongan ini.
"Mama tau?"
Jie-soe menjawab pertanyaan tersebut dengan gelengan pelan. "Nggak, hanya Gibran dan kak Regia yang tahu. Selama ini Jeno bahkan tak tahu apa-apa."
"Usianya 9 tahun katamu? Oji, ayah nggak tahu kalau ternyata selalai itu mendidik kamu. Awal masuk SMA, sudah seperti ini kelakuanmu?" sinis Ji-won.
Melihat Jie-soe direndahkan begini, hati Fafa seperti dicabik-cabik rasanya. Namun kembali lagi seperti yang sebelumnya dia katakan bahwa Fafa tak bisa apa-apa, hanya diam saja dan terduduk bak pendosa sambil memeluk putrinya.
"Maaf."
Hanya satu kalimat saja yang keluar dari bibir Jie-soe. Untuk sesaat keadaan ruang kantor Ji-won lenggang, suara deru kipas angin pun terdengar halus dan canggung dengan kondisi sekarang ini.
"Dimana kamu tinggal selama ini dengan cucuku?"
Baik Fafa ataupun Jie-soe sama-sama tak pernah menyangka akan mendapatkan pertanyaan itu. Tentu saja mereka kini langsung saling tatap.
"Maaf sebelumnya, Om. Setelah mengatakan pada Jie-soe keadaan saya, tak pernah terlintas dalam benak untuk menghancurkan masa depannya jadi begitu menjelang kelulusan saya pindah ke Seoul," jelas Fafa jujur.
Tentunya dia menutupi fakta bahwa sempat mencari ibunya dan hendak meminta bantuan. Fafa tak mau dianggap menyedihkan. Sudah cukup cerita tadi, Ji-ya tak perlu tahu seperti apa detailnya karena bisa saja membekas dalam ingatan gadis mungil itu.
"Kalian bisa tinggal di rumah sebelah jika menikah nanti," tutur Ji-won.
Kembali Fafa dan Jie-soe dibuat tak bisa berkata-kata. Keduanya saling menggenggam tangan erat-erat seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengar barusan.
"Kakek?"
Suara Ji-ya memecah keheningan yang diciptakan oleh Ji-won. Fafa hampir saja menegur putrinya, akan tetapi saat dia hendak meraih tubuh Ji-ya yang terjadi di luar dugaannya.
"Iya, Nak, ini kakek, kemarilah."
Seakan-akan memang sudah ditakdirkan demikian Ji-ya pun langsung berpindah ke pangkuan Ji-won. Keduanya tampak bercengkerama dan sangat akrab bahkan di pertemuan pertamanya.
Fafa dengan sangat tak yakin pun mengajukan pertanyaan pada Jie-soe. "Oji, aku nggak salah lihat kan sekarang? Bukannya om Ji-won baru saja menampar pipimu?"
Jie-soe tertawa kecil. "Aku hampir lupa seperti apa ayahku. Kami berpisah agak lama tahun ini, kupikir akan ada perbedaan tapi ternyata ayahku masih sama."
Wanita berusia 28 tahun itu sedikit banyak tak paham ucapan Jie-soe. Hanya saja genggaman tangan Jie-soe membuatnya tenang. Juga, Fafa tak pernah menyangka bahwa akan diterima semudah ini di sebuah keluarga baru. Bolehkah dia sedikit berharap?
***
"Bu Fafa bahagia banget kayaknya," kekeh Sheila yang merupakan bawahannya.
Mendengar hal itu kontan saja Fafa tak sengaja menepuk lengan Pak Yang agak kencang. Interaksi yang jarang muncul dipermukaan itu tentu saja membuat beberapa orang melongo, sedikit tak percaya bahwa penglihatan mereka sedang baik-baik saja saat ini.
"Kau ... berkencan dengannya?" Pak Yang mengajukan pertanyaan dengan raut wajah masam.
Dan kini kembali tanda tanya besar terpampang jelas di benak semua orang. Bukankah terlalu konyol saat melihat kondisi sekarang ini?
Pak Yang selalu setia di samping Bu Fafa bertahun-tahun lamanya. Namun, laki-laki yang lebih tua beberapa tahun dari Bu Fafa itu malah mengajukan pertanyaan ini? Tidakkah mereka berkencan?
Lantas, laki-laki beruntung mana yang bisa menempati hati wanita hebat itu?
"Hah?"
Fafa yang tersadar bahwa baru saja melakukan hal yang tak masuk akal pun meringis. Wanita itu berdehem kemudian duduk di kursi bar sambil menyembunyikan wajahnya dengan tangan.
Gara-gara kemarin Ji-ya tampak bahagia dengan kehidupan mereka sekarang, rasa bahagia tersebut masih saja bertahan dalam hati Fafa. Dia memang belum sempat bertemu dengan Mama dari Jie-soe tapi setidaknya restu dari salah satu pihak telah didapatkan olehnya.
Sebetulnya Fafa sendiri belum benar-benar memikirkan bagaimana kehidupannya setelah menikah nanti. Sejauh ini dia sudah cukup mampu merawat anak dan menafkahi hidupnya sendiri. Namun, Jie-soe membuatnya memimpikan Mada depan bersama pasangan. Untuk itulah Fafa tersenyum cerah.
"Apapun itu selama kami saling menjaga sepertinya tak apa," ujarnya dalam hati.
-Bersambung ....