Chereads / Hello My Girl! / Chapter 33 - Fafa Lagi, ya?

Chapter 33 - Fafa Lagi, ya?

Pulang diantar pria adalah salah satu hal yang sangat Fafa hindari. Namun, He-eun terus mengatakan bahwa dia merindukan putrinya. Fafa paham bahwa semestinya dia menolak, atau justru lebih hebatnya lagi jika dia langsung membentak pria ini.

Haha.

Jangankan membentak, Fafa bahkan tak sanggup memberikan kata-kata penolakan untuk He-eun. Baginya temannya ini sudah tahu batasan, He-eun juga mengerti tentang keinginannya yang tak mau menikah.

"Masuk saja dulu, aku akan ke samping dan mandi. Jia sepertinya sedang menonton televisi," ucap Fafa.

He-eun melepaskan sepatu dan menggantinya dengan sendal bulu milik Fafa. Pria itu tampak mengangguk lantas berkata, "Hem, aku akan menunggu untuk makan malam."

Sambil berdecih Fafa membalasnya, "Kamu kalau mau makan nyari sendiri. Cih, aku ini kan bukan istrimu!"

"Bukankah calon?" balas He-eun menggoda Fafa.

Meskipun sebetulnya pria itu bersungguh-sungguh. Namun, Fafa pun tak akan begitu serius menanggapinya. Sudah cukup saling bersama, selagi tak ada orang lain di tengah-tengah keduanya bukankah segalanya akan aman?

"Masuk sana!" seru Fafa.

Keduanya terkekeh lantas berpisah di depan ruang tamu. Seperti yang sudah Fafa katakan tadi, kini dia memutuskan untuk mengganti bajunya menjadi lebih nyaman.

"Harusnya sih mandi," dumel Fafa.

Dia ingin mandi sekarang juga, masalahnya tak bisa. Bagaimana mungkin dia mandi jika tumpukan piring kotor mengganggu pemandangan?

Sambil menghela napas Fafa yang sudah menggunakan kaos oblong dengan celana selutut melirik He-eun. Rupanya Ji-ya sedang bersenang-senang di depan sana, tentu saja hal itu membuat Fafa merasa lega.

Sebelum mengerjakan tugas-tugas rumah miliknya lebih dulu wanita yang berusia 28 tahun itu mengambil sirup dingin juga beberapa camilan. Fafa menaruh semuanya di atas nampan kemudian membawanya ke depan sang putri tercinta.

"Makan ini dulu, Sayang."

Ji-ya berseru semangat. "Heum! Aku akan memakan semuanya!"

He-eun yang di dekat Ji-ya pun ikut berseru semangat. "Aku pun juga akan memakan itu semua sampai habis!"

"Ayah ini semua untukku!" Ji-ya membalas dengan bersemangat.

"Loh? Kamu kan masih kecil, Sayang. Jadi, ini semua untuk Ayah yey!"

"Ih tidak mau, ayah jahat ih!"

Dar!

Seperti suara petir yang menggelegar, Fafa tak bisa mendengarkan apa-apa saat ini. Yang terlihat di matanya hanya interaksi He-eun dan Ji-ya.

'Mereka benar-benar lucu,' tutur Fafa dalam hati.

Dia berlalu pergi, sesuatu yang seperti ini semestinya tak boleh lama-lama terjadi. Namun, Fafa tak ingin putrinya bernasib seperti gadis menyedihkan di luaran sana.

Sambil terus memikirkan putrinya, Fafa melakukan semua pekerjaan rumah hingga dalam waktu dua jam saja dia bahkan sudah selesai masak makan malam. Segera Fafa ke ruang tamu, tetapi sepertinya Ji-ya kelelahan sampai tertidur di pangkuan He-eun.

"Dia bilang sudah makan malam, bibi tetangga yang memberikannya Ramyun dan kimchi. Jia juga menikmati segelas es parut, dia kekenyangan sampai tertidur," jelas He-eun.

Makin dia menjelaskan, semakin buruk suasana hati Fafa. Meskipun demikian wanita itu mencoba untuk tetap tersenyum lebar saat ini. Tak apa, bukan masalah besar, ini semua hanya hal biasa.

Hatinya memang terus berkata demikian, sayangnya Fafa iri pada laki-laki ini. Dia bisa memiliki banyak waktu bersama putrinya bahkan masih sempat mendengarkan cerita tersebut. Lantas ia harus bagaimana sekarang?

"Ah, begitu ternyata. Kalau begitu makan malam dulu sebelum pulang, aku sudah masak agak banyak," ajak Fafa.

He-eun tersenyum lantas menaruh kepala Ji-ya yang semula terbaring nyaman di pangkuannya ke sofa. Tak hanya itu saja, He-eun bahkan melepaskan jas miliknya dan menyelimuti putri kandung Fafa.

Sambil menggigit bibir bawah Fafa bertanya-tanya dalam hatinya, 'Apakah ayah kandungnya akan memperlakukan putriku sebaik ini?'

***

Jie-soe melemparkan berkas miliknya. Pagi-pagi buat Gibran datang dengan setumpuk berita menyedihkan.

"Itu bukan salahku," tutur Gibran masih dengan tampang menyebalkan seperti biasanya.

"Lalu sekarang aku harus apa, bodoh?! Kau pikir berbicara dengan Lewan semudah itu, hah?!"

Kesal bukan main Jie-soe saat ini. Anggota e-sports yang akan dikirim ke Korea Selatan sore nanti justru terlibat skandal menjijikkan.

"Jeno bilang dia akan segera kembali saat ini, tapi entah bisa atau tidak dia merayu Lewan. Ah, benar-benar bukan salahku, Suu! Dia sendiri yang mendadak mengirimkan foto kekasihnya di sosial media lantas temannya menyahut dan membeberkan sifat bejat laki-laki itu," seru Gibran membela diri.

Jie-soe sebetulnya sadar betul bahwa ini bukan salah temannya. Tim yang mereka miliki memang bukan hanya tak kompak, mereka bahkan sering membuat masalah di saat-saat penting begini.

Hanya saja kali ini Jie-soe sedang dalam suasana hati buruk. Febiranza akan pergi bersama Kanneth untuk persiapan pernikahan, bukan tak rela atau cemburu, dia bahkan kebingungan menemukan keinginan hatinya.

"Apa kau mau membubarkannya saja? Hyung-mu memiliki banyak cabang perusahaan, Gibran," usul Jie-soe.

Tentu saja tak selang lama sebuah sepatu hampir saja mengenai pelipis putra kandung Jiwoon itu. Keduanya saling tatap dalam diam kemudian menghela napas dalam-dalam.

"Bukankah seharusnya kalian memanggilku?"

Suara wanita yang mengalun di tengah keheningan keduanya membuat Jie-soe buru-buru menoleh. Dia mendapati Febi yang datang dengan Kanneth.

Haha, agaknya pria itu tahu bahwa membiarkan Febiranza pergi sendirian adalah sebuah bencana besar. Bisa saja badai, angin topan bergerak secara bersamaan dan menghancurkan banyak rencana yang disusun untuk masa depan.

"Kamu hanya perancang, Febi. Untuk apa kami memanggilmu yang seharusnya sedang sibuk saat ini?" Gibran lebih dulu menimpali.

Kanneth tersenyum. "My little brother can play this. Him is player on e-sports, maksudku jika kalian mau dia bisa menjadi pengganti utama."

Gibran yang wajahnya tadi kusut mendadak berubah begitu cerah. Dia bahkan melemparkan ponsel miliknya tanpa peduli berapa harga benda itu.

"Really? Feb, ini beneran adiknya si Kan bisa main?" seru Gibran bersemangat.

Tak berminat menanggapi, selain karena merasa kesal dengan perasaannya sendiri, Jie-soe juga harus membuat Gibran mandiri. Bibi Annisa dan Paman Dewa selalu saja memintanya untuk tak terlalu ikut campur masalah kantor ini.

'Kamu hanya investor, Sayang. Bibi mohon padamu untuk tidak terlalu memanjakan Gibran, dia anak bungsu yang seharusnya sudah mulai membiasakan diri melakukan segalanya seorang diri.'

Begitulah yang selalu bibi Annisa tegaskan padanya. Jie-soe mundur beberapa langkah kala Kanneth mulai menjelaskan tentang siapa adiknya.

Kini pria berusia 26 tahun itu menyilangkan tangan di depan dada sambil mengamati dalam diam. Sebuah nama yang meluncur dari bibir Gibran membuat Jie-soe merasa dunia berhenti saat ini.

"Fafa sektretarisnya Lewan, maaf mengatakannya tapi adakah di antara kita yang bisa membicarakannya dengan dia? Atau kita harus meminta bantuan kak Reg—"

"Aku saja," potong Jie-soe.

Tiga manusia lain yang ada di depan sana langsung menatapnya.

"Biar aku saja yang menemuinya jika itu orang yang sama."

-Bersambung ....