"Hari ini mama harus pulang cepat, ya!"
Fafa merutuk Jie-soe yang semalam memberikan janji akan datang ke rumahnya kali ini. Apa kata tetangga nantinya?
Walaupun memang sekarang dia bukan berada di negara aslinya dengan tetangga super rempong tapi tetap saja pandangan buruk akan diarahkan padanya. Kemarin sudah membawa He-eun bahkan Ji-ya memanggilnya Ayah.
Lantas, apa jadinya kalau Lee Jie-soe benar-benar muncul? Di masa lalu Fafa memberikan marga Lee karena memikirkan banyak hal saat pembuatan akta, dia sama sekali tak berpikir akan bertemu dengan Jie-soe lagi.
"Yang seperti ini benar-benar situasi konyol. Bagaimana caraku mengatasinya?" desis Fafa.
"Bu Fafa ngomong sama saya?" desis Sheila.
Fafa menggeleng, mengingat nama bawahannya sama dengan nama temannya pun juga membuat wanita itu pusing tujuh keliling. Ada juga keadaan di masa depan yang jauh lebih sulit dihadapi olehnya.
Saat ayah kandung putrinya datang. Namun, sungguh demi apapun itu Fafa tak akan mau mengakuinya. Jika saja memang benar bahwa Bastille Nugroho kandidat terkuat maka Fafa lebih memilih dihajar habis-habisan oleh Regia.
Merebut calon suami sahabatnya? Haha, Fafa tak cukup gila untuk melakukan.
"Bu Fafa ih!" seruan Sheila membuat Fafa terkekeh geli.
"Nggak papa, cuman lagi inget-inget sesuatu aja sih. Nama panjang kamu siapa?" balas Fafa.
Sempat Sheila keheranan tapi tak selang lama gadis itu menyebutkan nama lengkapnya. "Park Shei-la, padahal saya sudah menyebutkannya berkali-kali tapi besoknya ibuk lupa lagi."
Mendengar ucapan tersebut Fafa tertawa. Cukup menghibur dan setidaknya nama belakang gadis ini membuatnya sadar bahwa dia bukan Sheila temannya. Wajah bulat Sheila sang bawahan benar-benar mirip dengan rekannya itu.
"Ya maaf, akhir-akhir ini aku sedikit pusing. Lebih lagi sudah hari kedua dan pak Lewan belum pulang juga," eluh Fafa.
Sheila yang tadinya datang untuk meminta ijin cuti setengah hari pun mengurungkan niatnya. "Bukankah pak Lewan bilang akan kembali saat sudah menyelesaikan semuanya? Eum menurut saya Bu Fafa sebaiknya menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk."
Fafa menggaruk kepalanya. Dia benci memikirkan hal itu, maksud menyelesaikan segalanya adalah membuat tunangannya hamil sebelum menikah empat bulanan lagi.
Jadi, butuh berapa lama untuk Fafa menunggunya?
Dia benar-benar merasa sangat geram saat ini sampai tubuhnya ikutan mendidih. Ini semua gara-gara mertua pak Lewan mengatakan bahwa bos-nya itu tampak seperti si burung kecil.
"Cih, menyebalkan rasanya mengingat masalah ini. Parahnya lagi mental pak Lewan benar-benar zonk, kosong melompong, dia bisa langsung meledak saat disulut sepercik api!" seru Fafa.
Sheila meringis melihat bos yang menjadi panutannya. "Jika Bu Fafa sudah semarah ini harusnya pak Lewan segera kembali bukan?" gumam wanita itu dalam hati.
***
Jie-soe datang sambil membawa segala peralatannya. Dia bahkan tak ragu untuk membelikan semua barang untuk Ji-ya setelah mengetahui usia gadis cilik itu.
Untung saja sang Mama membuka butik yang menyediakan baju anak-anak. Jie-soe bisa mendapatkan segala jenis di sana meskipun dia yakin bahwa setelah ini sang Mama pasti akan langsung menabok lengannya kencang.
Dengan gugup Jie-soe membawa barang bawaannya. Sekali melihat saja dia langsung yakin bahwa di depannya saat ini ada kontrakan yang selama ini Fafa tinggali.
"Papa?"
Panggilan dari arah belakangnya membuat Jie-soe berjingkat. Saat menunduk dia mendapati sosok yang semalam melakukan panggilan video, Jie-soe tersenyum cerah.
"Halo, Sayang," panggil Jie-soe.
Kini terlihat binar bening di mata Ji-ya. Meskipun kesusahan membawa barang-barang, Jie-soe berusaha untuk menunduk.
"Tidak usah menunduk, Papa, ayo masuk!" ajak Ji-ya menggandeng tangannya.
Untuk sesaat Jie-soe sempat terkejut. Jujur saja saat ini dia merasa sedikit bersalah tapi senang juga, putra kak Gia memang selalu menempel padanya tapi hanya memanggilnya 'Om' saja. Namun, Ji-ya tanpa ragu menggunakan panggilan 'papa' untuknya.
"Heh Ji-ya!"
Keduanya yang baru saja melangkah masuk ke gerbang pun terpaksa menghentikan langkah tersebut. Jie-soe menatap bocil lain, mungkin teman sekelasnya Ji-ya.
"Kenapa Nera?" tanya putri Fafa itu.
"Haha, ayahmu ganti lagi?"
"Ini bukan ayah tapi Papa!"
Jie-soe meringis kala Ji-ya berteriak. Laki-laki yang tak pernah menjalin hubungan spesial dengan wanita selain Febi itu menunduk, dia menatap teman putrinya.
"Halo, Dek, perkenalkan nama om Lee Jie-soe," tutur Jie-soe.
Seperti dugaan Jie-soe, gadis cilik yang tadi menatap jijik putrinya itu pun langsung pucat. Dia tampak mundur kemudian dengan kencang berlari sambil berteriak.
"Papa Ji-ya pulang! Papa Ji-ya pulang!"
Jie-soe terkekeh geli, terkadang dia memang sering lupa bahwa membujuk anak-anak tidak seribet taken kontrak. Tentu saja kali ini senyuman Jie-soe kian mengembang kala menatap putrinya.
"Papa hebat," gumam Ji-ya.
Mengangguk samar Jie-soe. Dia menaruh kantong belanjaan, kini laki-laki berusia 26 tahun dengan tinggi badan 176 cm itu berjongkok. Dengan gerakan pelan Jie-soe mengulurkan tangannya.
"Mau Papa peluk?" tawar Jie-soe.
Ji-ya sempat ragu, hal itu bisa ditebak olehnya. Bagaimana mungkin mereka bisa langsung akrab? Jikalau Jie-soe benar-benar ayah biologis Ji-ya bukankah 9 tahun lebih tak pernah melihat wajah ini siapapun akan ragu?
"Papa akan tinggal denganku dan Mama?"
Pertanyaan Ji-ya membuat laki-laki itu tersenyum lebar. "Jika Mama mengijinkan," balasnya.
"Kalau tidak?" Ji-ya kembali bertanya.
"Maka papa akan datang setiap Ji-ya pulang sekolah, seperti saat ini meskipun tak bisa kemari setiap hari," terang Jie-soe apa adanya.
Di belakang Jie-soe saat ini Fafa yang baru saja datang langsung menjewer adik kelasnya. "Ngomong macam-macam aku usir kamu, Oji."
"Awh!" ringis Jie-soe sambil mengusap-usap telinganya.
Dengan wajah cemberut dia bersembunyi di belakang Ji-ya. Seolah memang sengaja memanfaatkan keadaan kala melihat tetangga yang keluar untuk mengintip, Jie-soe pun langsung memainkan perannya.
"Jia, Papa disiksa Mama. Itu artinya papa harus pergi bekerja lagi, ya?" rengek Jie-soe.
Ji-ya tampak kebingungan selama beberapa saat kemudian tertawa dan mengalungkan tangannya ke leher Jie-soe. "Mama jahat ih, papa kan punyaku!"
Fafa mengangkat alis. "Dih, kamu saja tadi takut sama papa kok malah meluk-meluk gitu?"
Hati Fafa teriris saat mengatakannya begitu pula dengan Jie-soe. Keduanya sama-sama terlihat canggung tapi mencoba berdamai dengan hati demi Ji-ya saat ini.
Jie-soe menggendong Ji-ya di depan sementara Fafa mengambil puluhan belanjaan yang terlihat sangat mahal. Ketiganya berhenti sejenak di depan pagar kemudian masuk ke dalam rumah.
Sebelum membuka kunci rumahnya, Fafa berbisik pada Jie-soe. "Regia akan membunuhmu jika tahu semua ini."
Jie-soe yang sedari awal sudah tahu bahwa sang kakak akan membuatnya menjadi pempek begitu pulang pun membalasnya dengan kekehan. "Tak masalah, aku sudah menunggu kehadiran kakak selama sepuluh tahun. Bukankah itu alasan yang cukup besar untuk meninggalkan dunia ini dengan tenang?"
Fafa menatap horor Jie-soe. Semudah itukah adik kelasnya menyerahkan nyawanya?
-Bersambung ....