Fafa memegang berkas miliknya dengan gugup sambil melirik He-eun yang berdiri di belakangnya. Dia hendak berangkat ke lokasi meeting dengan He-eun pagi ini setelah semalam menghabiskan waktu bersama.
Lewan pergi tanpa kabar-kabar dengan alasan perlu menghabiskan waktu dengan calon istrinya. Ya alhasil Fafa dan He-eun yang kelimpungan menangani semua meeting.
Hanya saja sepertinya kali ini Fafa akan jauh lebih kelimpungan lagi. Mungkin dia juga harus memutar otak dan mencari cara supaya kedua kaki ini tak bergetar hebat.
"Long time no see, Fafa."
Suara merdu adik kelasnya membuat Fafa diam-diam berteriak meminta tolong kepada Tuhan. Mengapa saat dia mulai memikirkan masalah He-eun menjadi teman hidupnya sosok ini datang tanpa permisi?
"Fafa, aku pergi duluan kamu urus sisanya nanti." He-eun berkata tanpa peduli respon Fafa.
Seolah-olah paham pria itu bahkan langsung pergi meninggalkan Fafa sendirian dengan Jie-soe. Sosok yang sudah lama tak dia temui membuat Fafa bertanya-tanya dalam hati.
'Bagaimana bisa kamu berubah sebanyak ini tapi aku bisa langsung mengenalimu?'
Jie-soe yang dulu masih begitu kecil, badannya pun tak berotot seperti saat ini. Wajahnya terlihat jauh lebih cerah, senyuman yang masih sama. Fafa merindukan senyum itu selama bertahun-tahun.
Tapi mengapa saat melihatnya langsung saat ini dia justru merasa gugup?
Apa karena sekarang Jie-soe lebih tinggi darinya? Atau karena hatinya yang takut salah langkah dan menghancurkan hidup adik kelasnya?
"Mau ke kafe depan?" Tawaran juga uluran tangan Jie-soe membuat Fafa berpikir ratusan kali.
Namun, pada akhirnya dia menerimanya dengan senyuman lebar. Tak apa, ini bukan masalah besar, adik kelasnya sudah jauh-jauh datang untuk menemuinya. Sebagai orang dewasa bukankah Fafa harus menerima tawaran tersebut?
"Hem, ayo pergi," balas Fafa.
Jie-soe tertawa renyah. "Kakak masih sama, tapi kali ini sedikit lebih mungil jadi boleh aku manggilnya tanpa embel-embel 'kak' seperti di awal?"
Fafa mencoba tersenyum dan berharap bahwa dirinya tak mirip badut saat ini. "Tentu, kamu bisa memanggilku apapun, Oji?"
Sejenak Fafa bisa melihat Jie-soe yang terpana, guratan merah pun bersemu di kedua telinganya. Tanpa bisa mengendalikan diri, Fafa menarik tangan adik kelasnya lebih dahulu.
Keduanya menyebrangi jalan kemudian masuk ke kafe. Melihat sekeliling kemudian Fafa menuju ke tempat pemesanan.
"Selamat datang, Kak Fafa. Mocha latte seperti biasanya, 'kan?"
Fafa mengangguk. "Iya, tambah satu—"
"Ice Americano," potong Jie-soe.
Keduanya saling tatap kemudian kembali tersenyum. Kasir yang terbiasa melihat Fafa datang sendirian pun langsung melancarkan godaan.
"Kak Fafa terlihat sangat serasi dengan kekasihnya loh," goda pegawai itu.
Fafa membalasnya dengan tawa renyah. "Hanya teman."
***
Sudah dua puluh menit duduk tapi Jie-soe saat ini hanya mampu menatap sosok yang selama ini dirindukannya. Dia terus saja menatap wanita itu sampai Fafa tersedak.
"Kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Jie-soe sambil menyerahkan sebuah tisu.
Tampak Fafa tersenyum canggung. "Aku sih baik-baik saja, tapi sampai kapan kita hanya duduk seperti ini, Oji? Bukan apa-apa sebetulnya jika ini akhir pekan, masalahnya rekanku pasti kerepotan mengurus segalanya sendirian."
Jie-soe meringis. "Maaf, harusnya aku tahu itu tapi karena melihat wajahmu setelah sekian lama rasanya ... tak ada yang lain yang lebih penting."
Pria itu pikir gombalasnnya tak akan berguna. Siapa yang menyangka bahwa Fafa akan tersenyum begitu manis saat ini?
"Hentikan itu, aku benar-benar sibuk loh. Ya walaupun yang tadi cukup menghibur," kekeh Fafa.
Kini Jie-soe mulai serius dengan tujuan utamanya datang. Dia sedikit kikuk menceritakan masalahnya, tapi pada akhirnya tetap menjelaskan semua. Untuknya saat ini masa depan Gibran pun yang terpenting, meskipun sebetulnya dia sama saja dengan menutup jalan untuk mendekati Febi lagi.
"Ah, jadi gitu. Aku ngerti sih dan bisa ngurusin semuanya. Cuman aku juga butuh beberapa data akurat untuk meyakinkan bos Lewan, dia sensitif akhir-akhir ini," balas Fafa.
Senyum cerah menghiasi bibir Jie-soe. "Benarkah kamu bisa melakukannya?"
Fafa mengangguk mantap. "Itu mudah asal ada data-data akurat."
Jie-soe dengan santainya memanfaatkan keadaan. "Tentu saja aku akan menyiapkan semua data-datanya, dan jika kamu sesibuk itu boleh kuminta nomor telepon? Kalau ada yang harus kuberi tahu secara mendadak bisa lewat telepon saja bukan?"
Perlahan-lahan Jie-soe bisa melihat bahwa sang kakak kelas terlihat canggung. Tapi tak selang lama wanita itu merogoh ponselnya dan mulai mengetikkan sesuatu
"Nomormu saja biar aku yang simpan," tutur Fafa.
Senyum Jie-soe mengembang dengan sangat sempurna lantas dia menyebutkan nomornya. Melihat raut wajah Fafa tentu saja pria itu bertanya alasannya.
"Nomerku berawalan 01," tutur Fafa.
Jie-soe mengangguk paham. "Wajar saja, tapi tak masalah aku akan menginstal Kakao nanti."
Fafa yang menyadari keadaan pun menyeruput mocha latte miliknya dengan cepat. Setelah menghabiskan minuman miliknya Fafa berkata, "Sepuluh tahun tak bertemu gombalanmu makin akurat saja. Ah, sayangnya karena aku harus segera pergi. Sampai ketemu nanti!"
Melihat Fafa pergi buru-buru Jie-soe ingin sekali menawarkan tumpangan tapi telepon membuat wanita itu terburu-buru. Dalam keadaan tangan yang menggapai hendak mencekal, Jie-soe tertawa geli.
"Dia masih saja sama, tiba-tiba menjelaskan sesuatu yang mustahil lantas pergi tanpa permisi. Anehnya aku tetap tak bisa melupakan senyumannya itu," kekeh pria itu.
***
He-eun menatap Fafa sambil mencoba untuk menerima kenyataan. Laki-laki yang baru saja Fafa temui adalah ayah kandung Ji-ya, gadis berusia sembilan tahun itu pernah menunjukkan foto ayah kandungnya saat mereka tak sengaja membahas hal ini.
Meskipun Fafa belum mengatakan apapun padanya, tetapi sejak pertemuan meeting beberapa minggu lalu He-eun sudah sadar lawannya. Karena alasan itulah He-eun diam-diam terus menggencarkan aksi mendekati Fafa dengan harapan bahwa pujaan hatinya akan lebih memilihnya.
Namun, harapan He-eun sedikit terkikis kala wanita itu dengan mudahnya menerima Lee Jie-soe lagi, menyambutnya dengan senyuman manis yang mungkin tak disadari oleh Fafa sendiri. Tapi He-eun masih tak mundur meskipun kenyataan barusan memukul pertahanannya.
"Jadi bagian mana lagi yang harus kukerjakan?" tanya Fafa.
Wanita itu langsung datang begitu mengetahui bahwa dirinya sedang kesulitan menyelesaikan masalah. Fakta yang sebenarnya adalah He-eun tak mau berlama-lama over thinking dan memikirkan hal buruk mengenai kelanjutan kisah lama yang belum usai.
"Pertemuan siang nanti, seperti yang dikatakan pak Lewan sebelumnya bahwa dalam pertemuan ini PT ReJy akan mempermudah bisnis sandangan kita. Jadi bisakah kamu meng-handle pertemuannya? Aku ... tak terbiasa menghadapi wanita ular itu," jelas He-eun.
Kontan saja wajah Fafa yang semula serius kini berubah menjadi sangat garang. Dia memang menyukai fakta bahwa ternyata He-eun menyelesaikan hampir 70 persen. Tapi haruskah pria ini menggunakan alasan konyol itu?
Meskipun demikian Fafa tetap saja mengangguk singkat. "Hem, untuk yang satu ini biarkan aku yang mengatasinya."
-Bersambung ....