Chereads / Hello My Girl! / Chapter 31 - Cucu yang Mama Mau

Chapter 31 - Cucu yang Mama Mau

"Jia mau apa?"

"Ayah!"

"Sayang, tidur ya? Udah malam banget ini, mentang-mentang habis karya wisata kamu jadi makin semangat. Besok masih harus sekolah, jadi lekas bobok, ya?" pinta Fafa tulus.

Putrinya kembali merengek, tapi Fafa jauh lebih besar egonya. Saat bertekad maka apapun yang akan dilakukannya akan segera terlaksana. Tak butuh waktu lama untuknya membuat sang putri tercinta tidur dengan nyenyak.

Melihat ponselnya yang berkedip-kedip, Fafa menghela napas panjang. Diangkatnya panggilan tersebut.

"What's wrong?" tanyanya langsung pada inti.

Tidak mungkin buang-buang waktu di jam segini. Tubuhnya lelah, tetapi sayangnya ada begitu banyak baju kotor. Mau atau tidak, saat ini Fafa harus segera menyelesaikan pekerjaan rumah yang terus tertunda!

["Kalem baby, gue cuman mau bilang aja kalau besok kita meet sama temen sekantor dulu. Ikut, no debat,"] ucap seseorang dengan bahasa Hangul.

"Males, Shei. Anakku udah gede, dan mereka pasti tanya-tanya masalah suami. I don't like it," balas Fafa.

Dia berjalan ke arah dapur dengan ear phone yang dipasang nyaman di telinganya. Mengambil segelas air, Fafa menenggaknya sampai tandas.

["He-eun, kalian kan pacaran. Kenapa juga nggak ngajak dia? Ah, atau paling nggak lo bisa pakai buat alasan, dia nganterin dan—"]

"Shei, lo emang penulis terkenal, i know it. Namun, sesekali bisa nggak sih jangan samakan hidup manusia sama kisah romansa itu?!" seru Fafa.

Di seberang Sheila—teman Fafa selama di Korea, tertawa ngakak. Wanita yang seumuran dengan Fafa itu resign beberapa tahun lalu, lebih tepatnya 3 tahun yang lalu. Dia bilang menjadi penulis naskah drama lebih menyenangkan ketimbang kerja kantoran, semula Fafa menentangnya.

Kenapa?

Haha, alasannya cukup singkat. Pekerjaan itu sama sekali tak menjanjikan, siapa yang menduga bahwa kini ... Sheila bahkan mampu mengelilingi dunia bahkan di jam kerja. Naskah drama yang ditulis temannya bahkan melejit begitu pesat hanya dalam dua tahun.

Jujur saja, Fafa iri. Namun, baginya saat ini Sheila hanya seorang teman bukan saingan.

["Jadi, lo nggak akan datang?"] tanya Sheila.

"No, buat apa datang? Jam kerja gue sibuk banget, Shei. Mana akhir pekan ini Jia harus nyari keperluan sekolah," balas Fafa, dia sedikit menyesal karenanya.

["Kalem, lagian gue nggak di Seoul,"] timpal Sheila.

Fafa meraih ear phone miliknya, dia sejenak menghela napas panjang. Sudah Fafa katakan bahwa dia merasa sangat iri saat mendengar cerita temannya yang satu ini.

"Di mana?"

["Indonesia, Bali."]

***

Bangun pagi?

Haha, bukann! Yang ada Fafa tak tidur semalaman karena dia merasa bahwa tubuhnya sudah siap untuk remuk saat ini. Bukan hanya perkara mencuci baju, tetapi gara-gara Sheila mengirimkan sebuah foto.

Bastille Nugroho.

Laki-laki yang pernah mengajaknya berhubungan, salah satu di antara kandidat orang yang 'mungkin' adalah ayah putrinya. Fafa hampir saja memutuskan untuk bertanya-tanya tentang pria yang sedang berlibur dengan Sheila itu. Namun, dia tak mau menghancurkan liburan sang teman.

"Bisa jadi nggak," lirih Fafa.

Dia menunggu lift turun dengan gelisah. Suasana hatinya benar-benar tak baik saat ini, kepala sedikit pusing dan keuangan tak stabil. Haruskah Fafa benar-benar melenyapkan diri saja?

Andai tak ada Ji-ya, semudah itulah dia akan menyerah. Sayangnya sang putri tercinta adalah satu-satunya alasan dirinya bisa menghibur diri dan menjejakkan kaki di kantor ini. Jika saja tak ada Ji-ya, maka semangat hidup Fafa sudah redup dari jauh-jauh hari.

"Masuk nggak?"

Pertanyaan mengejutkan barusan membuat Fafa hampir saja kehilangan keseimbangannya. Untung saja He-eun secepat kilat menahan lengannya. Merasa tenang Fafa, dia tersenyum kala melihat sudah banyak orang yang masuk ke dalam lift.

"Maaf," tutur Fafa lantas bergabung dengan karyawan lainnya.

Dia kini menatap He-eun yang geleng-geleng kepala. Melihat pria itu hendak berbisik, Fafa pun menempelkan tubuh.

"Ada masalah apa, Nona manis?" bisik He-eun

Fafa mengangkat bahu. Tidak berniat untuk menjelaskan barang satu kata pun itu. Untuknya informasi yang belum pasti tak seharusnya dibagi, bagaimana jika nanti malah berakhir buruk?

Begitu keluar lift, Fafa harus meladeni banyak sapaan. Lebih lagi tatapan anggota tim lain, ah, itu benar-benar membuatnya jengkel bukan main. Bagaimana tidak? Baru juga masuk tapi sudah ada yang mengangkat berkas, syalan!

"Kau tak mau cerita? Aku harus ke ruanganku segera," tutur He-eun.

"Terima kasih atas tawarannya, Pak Yang. Saya akan memikirkannya nanti, dan sekarang silahkan pergi bekerja," ungkap Fafa.

Seketika He-eun melengos, sempat Fafa dibuat terkekeh oleh tingkah laku partner-nya itu. Namun, tak selang beberapa lama dia mengembalikan ekspresinya. Baiklah, sudah waktunya bekerja dan mari lupakan pemikiran absurd dalam benak ini!

***

Pagi-pagi buta harus berangkat dari Seoul. Belum lagi Delton terus merengek tak mau pisah darinya saat ini. Halo, please, Jie-soe menjadi CEO agar semua pekerjaan bisa dilakukan bawahannya langsung.

Lantas mengapa aku kudu melakukan hal-hal remeh seperti ini, sih? desis Jie-soe dalam hati.

Merawat Delton satu atau dua jam ya oke-oke saja. Masalahnya sudah dari semalaman Delton memeluknya. Kak Gia sedang bersantai, ada Mama dan kakak iparnya juga saat ini. Semuanya tampak nyaman dengan kehidupannya masing-masing.

"Hanya aku yang disiksa," tutur Jie-soe pelan.

Entah berapa lama dia mendumel saat ini, yang jelas pemberitahuan bahwa pesawat akan segera landing membuatnya menggenggam erat-erat tangan Delton yang duduk di samping. Dua puluh menitan kemudian, semuanya sudah duduk nyaman di kafe yang ada di bandara.

"Jangan macam-macam sama anakku," ujar kakak iparnya.

Jie-soe ingin berdecih, sayangnya Delton sedang memperhatikan saat ini. "Mana mungkin aku melukai keponakan yang sangat tampan ini, Hyung?"

"Alah banyak gaya kamu, makanya jangan bikin Delton sayang!" seru kak Gia.

Tentu saja karena ucapannya yang berlebih-lebihan itu, sang Mama langsung menyumpalkan chiki ke dalam mulutnya. Jie-soe terkekeh geli melihat hal itu, kemudian dia menatap sang Mama.

"Mama pengen ngomong sesuatu sama aku?" tanya Jie-soe.

Jarang sekali sang Mama memperhatikannya begitu lama. Sedari dulu wanita itu hanya akan menatapnya sebentar kemudian mengajaknya bicara dan menjelaskan apapun tanpa diminta.

Hanya saja kali ini tampak sangat berbeda. Entah bagaimana bisa sang Mama tersenyum tapi tak terlihat demikian. Seolah-olah senyuman itu hanyalah ilusi agar dia terlihat baik-baik saja.

"Mama mau juga," ujar sang Mama.

Jeno tampak biasa-biasa saja, namun kedua kakaknya yang lain cekikikan. Mereka kelihatannya sudah menebak kata-kata selanjutnya.

"Menantu dan cucu, Mama mau juga. Harus banget ya Mama saingan sama Bibi Annisa terus, Mbul?"

Jie-soe mendesah, sebetulnya kenapa sih sang Mama selalu meminta hal-hal yang aneh seperti ini? Sekali saja, tidak bisakah di satu kesempatan saat mereka bersama tak ada pembahasan tentang pernikahan?

-Bersambung ....