Mereka menyembunyikan sesuatu. Hanya sederet kalimat itulah yang terlintas dalam benak Jie-soe sedari beberapa hari ini. Bahkan meskipun tadi siang dia sudah deal meeting dengan Lewan, kedua saudaranya ini tak mau mengatakan apa-apa.
Semuanya bersikap seolah-olah itu bukan lagi hal yang penting, meskipun dilihat dari sudut mana pun juga, tak ada yang baik-baik saja. Ah entahlah, lama-lama Jie-soe akan gila jika memikirkan masalah ini.
"Kakak nggak ada niatan ke rumah sendiri? Villa kakak ipar dimana-mana, harusnya nggak numpang hidup di rumah adek sendiri, 'kan?" cibir Jie-soe.
Saat ini dia sedang kesal bukan main, dan secara kebetulan ada bahan untuk melampiaskan emosi. Kalau sudah seperti ini, bagaimana mungkin dia tak memanfaatkan keadaan?
"Ngapain? Dia suamiku, bukan tempat pulang ataupun yang lainnya. Secara spesifik, gambaran besarnya itu kakak iparmu yang begitu banyak memaksaku. Aku bilang ke dia mau kerja gak boleh, ini dan itu semuanya dilarang. Dari sini sudah paham kenapa aku masih duduk anteng di tempat ini, boy?" jelas kak Gia.
Jeno yang sedang mengurus keponakannya tertawa ngakak atas penjelasan barusan. Jie-soe ingin mengatakan kasihan pada kakak iparnya yang hanya tahu sisi gelap kak Regia, wanita di depannya ini memang pandai bersilat lidah.
Ah, Jie-soe hampir lupa bagaimana cara menghadapi kakaknya. Empat tahun lalu sang kakak menikah, seperti yang wanita itu jelaskan sebelumnya. Ini adalah pernikahan paksa, katanya, padahal sang kakak ipar hanya bertanggung jawab.
"Tetap saja, jangan numpang ke rumah adik sendiri!" seru Jie-soe.
"Lah? This villa milik my Daddy Jiwoon, dari mana kamu menyimpulkan kalau aku numpang di rumahmu?" Regia membalas dengan santai.
Wanita itu bahkan tak mau menatap wajahnya dan terlihat sangat sibuk mengawasi Delton yang berceloteh dengan Jeno. Entahlah, mungkin karena terlalu lama bersama dengan Anantya Saputri—nama lengkap Mama Jie-soe, membuat Delton memiliki aura selayaknya sang Mama.
Beberapa kali Jie-soe bahkan melihat bibi Annisa yang merasa kesal karena Delton lebih dekat dengan Mama-nya. Namun, kali ini Jie-soe tak begitu peduli pada hal itu. Dia hanya ingin menguak—
"Febi?"
Suara refleks sang kakak membuat Jie-soe mengenyahkan pikirannya. Kala Delton mendekat dan menyerahkan ponsel kak Gia, hampir saja Jie-soe menerima ponsel tersebut. Hanya saja, dia tak sempat melakukannya karena Jeno berkata,
"Jika tak berniat menikahinya, jangan terlalu memberi harapan, Hyung. Bisa-bisa dia nanti akan meninggalkan Kanneth lagi seperti tahun-tahun sebelumnya, jangan bicara selagi kak Gia berceloteh Febi."
Sesaat saja, Jie-soe bisa melihat bahwa kakaknya tersenyum miris. Mirip senyum sang Mama, seolah-olah mengatakan bahwa dia harusnya terus bersama Febi bukan melajang begini.
"Dek? Why telpon jam segini, pasti di sana masih magrib, 'kan?" Kak Gia mulai berbicara melalui panggilan video.
["Minta nomor Gibran, aku chat kakak berkali-kali nggak dibalas!"] Seruan barusan menandakan bahwa Febi sedang mengkhawatirkan sesuatu saat ini.
Diam-diam Jie-soe tersenyum paksa. Mengkhawatirkan seseorang, ya? Dia merasa sesak saat ini, seolah sudah bisa menebak apa yang akan terjadi nanti.
"Gibran? Sorry, I won't give his number unless it's emergency."
Jawaban dari kakaknya membuat Jie-soe memutar bola mata. Entah mengapa bisa wanita ini belum juga paham, dia ingin segera mengambil alih panggilan. Namun, bukankah Jeno sudah mewanti-wanti sedari tadi? Lebih lagi hati wanita itu mudah luluh.
Jangan mendekat, jangan ikut campur, aku harus membuat batasan di antara kami, ucap Jie-soe dalam hati.
["Kak! It's emergency, dia bawa Kanneth jalan-jalan tanpa ngasih kabar. Hape Kanneth juga ada di kamarku, aku butuh nomer Gibran. It's emergency, please help me!"]
Jie-soe gemas, tangannya terulur hendak mengabari Febi. Namun, lagi-lagi Jeno mengambil alih semuanya. Bukan kak Gia, melainkan adiknya itu membawa semua ponsel bahkan ponsel yang masih digunakan untuk video call dengan Febi.
Selepas kepergian Jeno, Delton yang berceloteh sedari tadi pun diam-diam menyusul om-nya dan pergi, kini tersisa Jie-soe yang menatap sang kakak.
"Puas?" tanya kakaknya.
"Maksud kakak apa?" balas Jie-soe.
"Kakak nggak ngerti kenapa kamu harus buat Febi kayak gini. Dia itu anaknya Bu Dian! Kamu tahu sejak lama, sedari awal dia yang dijodohkan Mama Putri sama kamu. Perlu banget masih mikirin Fafa sialan itu, Suu?!"
Deg!
Jie-soe tahu fakta ini, hanya saja dia kira ucapan perjodohan itu tak lebih dari candaan konyol sang Mama dengan teman SMA-nya. Jadi, mengapa kakaknya harus merespon seperti ini?
"Kak, Mama bercanda. Lagi pula kita bukan saudara kandung, aku anak Mama jauh lebih tahu apa yang beliau mau. Kakak itu—"
"Kakak bukan saudara kandung jadi nggak pantas ikut campur, gitu?" potong kakaknya.
Seketika kala melihat mata memerah sang kakak, Jie-soe menyadari bahwa ucapannya tadi benar-benar salah.
"Maaf," lirih Jie-soe.
Memang bukan saudara kandung, tapi tanpa Regia, Gibran juga Jeno dan Febi, mau jadi apa dia saat ini? Mereka yang selalu menopang hidupnya, semuanya saling menguatkan. Bahkan saudara kandung pun belum tentu akan seperti ini, Jie-soe melakukan kesalahan besar kali ini.
"Kakak nggak pernah melarang kamu anggap kami kayak apa. Fine, kita emang bukan saudara kandung. Hanya saja, perlu kamu tahu, yang lebih banyak menghabiskan waktu dengan ketiga Mama kita itu aku, bukan kalian bertiga!" seru kak Regia dengan suara isakannya.
Jie-soe berdiri kemudian duduk di samping sang kakak. Segera dia memeluk kakaknya itu. Membiarkan wanita itu menangis berjam-jam dan Delton dirawat oleh Jeno. Kebiasaan kak Regia adalah tertidur setelah menangis.
Selesai mengurus Delton juga kakaknya, Jie-soe pergi ke balkon sebentar. Menikmati angin malam ini membuatnya benar-benar merasa bebas.
"Mau cola?" Tawaran dari arah belakang itu membuat Jie-soe menoleh sejenak.
"Nggak, kembung nanti," balasnya.
"Febi benar-benar cewek terbaik dalam hal apapun," ucap Jeno tiba-tiba.
Siapa yang tak tahu hal itu? Semua orang di lingkungannya sadar tentang betapa sempurnanya Febi. Masak, kerja, fashion, interaksi sosial, paket lengkap.
"Kanneth juga pria yang baik," balas Jie-soe.
Tanpa sepengetahuan mereka semua, Jie-soe pernah menyelidiki latar belakang kehidupan Kanneth sampai masa lalunya demi membuat Febi aman. Semuanya seperti dugaannya, Kanneth sangat cocok dengan Febi, gadisnya.
"Tapi sebenernya nggak ada yang setuju mereka nikah, Hyung. Sampai detik ini, bukankah harusnya 10 tahun itu lebih dari cukup?" Jeno berbicara ngawur, lagi.
Jie-soe menyahut, "Cukup apa maksudmu?"
"Menyalahkan diri sendiri. Harusnya 10 tahun sudah lebih dari cukup, kenapa juga kau yang sama sekali tak menyentuh Fafa berpikir bahwa 'andai saja waktu itu aku sudah dewasa?' sih?" jelas Jeno menyadarkan Jie-soe saat ini.
Jangankan adiknya, Jie-soe secara pribadi saja tak tahu bagaimana bisa dia berakhir seperti ini. Tak terasa, benar-benar 10 tahun lamanya dia ... mencari jawaban atas sebuah pertanyaan.
'Mengapa aku tak bisa melupakan tatapannya yang seolah-olah memohon pertolongan dariku saat itu?'
-Bersambung ....