Fafa merasa aneh, sejak tadi saat makan sesuatu dia terus tersedak. Ah, mengenai ucapan ngawur He-eun tadi sudah Fafa bereskan. Tentunya Fafa langsung melayangkan cubitan mematikan untuk pria itu.
Haha.
Sebagai wanita Fafa sadar betul bahwa ucapan He-eun tadi sama sekali tak main-main. Pria itu sungguh-sungguh memintanya untuk menjadi pasangan meskipun pengucapannya secara tak langsung. Empat tahun bekerja di lingkungan yang sama, Fafa tahu bagaimana kepribadian He-eun.
Hanya saja, Fafa sadar bahwa sebaik apapun He-eun padanya dan pada Ji-ya hari ini, semua itu tiada guna. Mana ada keluarga yang mau menikahkan anaknya dengan gadis yang belum pernah menikah tapi sudah memiliki anak kelas 3 SD?
"Mama kenapa tidak makan?" tanya Ji-ya.
Seketika Fafa tersenyum. Dia menatap He-eun yang dengan telaten menyuapi putrinya itu. Ada sesuatu yang bergejolak di dalam sana, rasa kesal dan bahagia bercampur menjadi satu. Sayangnya lebih menjerumus pada rasa malu.
Bukankah He-eun terlalu baik padanya?
"Mama sudah kenyang saya, Jia saja yang makan lagi," balas Fafa.
"Ayah terus menyuapi, aku suka," celoteh Ji-ya.
Fafa tahu putrinya bukan lagi seorang balita, hanya saja memang wajar apabila gadis kecil itu semakin manja. Salahnya yang terus memberikan harapan bahwa sosok 'papa' akan datang di kehidupan kecilnya.
"Jia makan sendiri bisa, 'kan? Ayah mau ngomong sesuatu sama Mama," tutur He-eun.
Alis Fafa terangkat, dia hanya diam dan mengamati saja sedari tadi. Namun, mengapa He-eun justru berulah? Sudah cukup lelah ketiganya siang ini. Sore nanti Fafa harus mengurus segala keperluan Ji-ya, setidaknya biarkan tubuhnya ini istirahat sebentar.
"Mama dan Ayah?" Ji-ya balik bertanya.
Fafa menatap He-eun, sialnya pria itu malah mengangguk yakin. "Iya, Ayah dan Mama, pergi sebentar saja boleh, 'kan? Jia tunggu di sini saja, okey?"
"He-eun aku—"
"Oke!" balas Ji-ya memotong ucapan Fafa.
Pada akhirnya wanita berusia 28 tahun itu hanya bisa mengalah dan mengikuti langkah He-eun. Begitu tiba di depan wanita yang menggunakan midi dress yang senada dengan miliknya itu, Fafa mati kutu.
"Hallo, long time no see, bestie."
"Siapa Anda?"
Bukan Fafa, tapi He-eun yang membalasnya.
"Ah, aku temennya Fafa. Perkenalkan, Regia, panggil saja Gia," jelas Gia sambil mengulurkan tangannya.
He-eun tak membalas sedangkan Fafa terlalu sibuk dengan pikirannya. Dia bahkan tidak bisa mencerna dengan baik kondisi saat ini. Hampir sepuluh tahun dia hidup nyaman, bersama dengan sejuta harapan yang ada. Dan ini kali pertama Fafa merasa hidupnya sangat kacau.
Pria di sebelah Fafa itu menyadari perubahan emosi sang teman (yang diam-diam disukainya) pun langsung merangkul bahunya. He-eun menatap Gia yang masih sibuk mempertahankan senyum manisnya, padahal gadis di depannya ini kelihatan baik.
Tapi .... "Tidak cukup menguntit kami sekarang Anda juga mencoba mengintimidasi pasangan saya melalui senyuman itu, ya?"
Fafa terkejut kala Gia malah tertawa ngakak. Merasa tak nyaman, Fafa justru merapatkan tubuhnya dengan He-eun. Kala Gia melangkah maju, semakin ciut saja nyali Fafa.
"Bisa mundur?" Nada penuh penekanan yang He-eun gunakan membuat Fafa lega, tapi Gia kelihatan senang melihatnya.
Wanita yang mengaku sebagai teman Fafa itu menyilangkan kedua tangannya. "Lebih dari dugaan, yang jelas aku cukup bahagia. Makasih Fafa, berkat kamu sekarang hidupku jadi lega. Ah, lain kali kalau kita bertemu tolong pura-pura nggak kenal, okey?"
"O mian, masnya pasti nggak ngerti karena aku ngomong pakai bahasa Indonesia. But, tolong benar-benar jangan datang ke kehidupan keluarga kami lagi, Fafa."
Gia benar-benar pergi setelahnya meninggalkan Fafa yang mencoba untuk menyadarkan diri bahwa barusan bukanlah mimpi. Setelah terdiam cukup lama, barulah Fafa bertanya-tanya dalam hati.
'Bagaimana mungkin dia bisa mengenaliku yang sudah mengubah penampilan ini?'
***
"Siapa?"
Sudah seminggu sejak bertemu dengan Regia, teman se-angkatannya itu. Namun, sama sekali tak pernah terlintas dalam benak Fafa untuk menjelaskan secara singkat mengenai siapa wanita itu pada He-eun. Sekali pun dia terus saja didesak setiap waktu seperti saat ini.
"Hentikan, pak Yang. Mohon maaf sebelumnya tapi kita sedang bekerja. Tuan Lewan bisa membunuhmu jika ketahuan sedang menggodaku, sekertaris kesayangannya," bisik Fafa
He-eun langsung berdecih. Dia menatap nyalang Fafa kemudian masuk ke dalam ruangan Lewan karena sebentar lagi akan ada pertemuan terakhir dengan J Groups di sebuah vila, pihak mereka jauh lebih banyak koneksinya hingga kehormatan pun menjadi milik mereka.
"Dia benar-benar aneh," tutur Fafa.
Seperti halnya Yang He-eun tadi, kini wanita itu pun langsung mempersiapkan semua berkas yang ada. Wanita yang mengenakan rok span selutut dengan baju kerah warna abu-abu itu pun menunduk hormat saat kala Lewan keluar.
Fafa menatap pak Lewan yang malah berdiri di depannya. Melihat tangan pria itu yang disilang di depan dada, Fafa pun bertanya-tanya, kali ini dia salah apa?
"Kapan kita pergi makan malam?"
"Maaf, Pak?" tanya Fafa sopan.
"Kita, kapan makan malam berdua. Seminggu lalu kulihat kau mengajak putrimu bermain dengan He-eun sialan ini, jadi kapan giliranku?" Lewan balik bertanya dengan sungguh-sungguh kali ini.
Fafa meringis. "Maaf sebelumnya, Pak. Meeting akan dimulai satu jam lagi, jika tidak berangkat sekarang maka kita—"
"Kita kenapa? Mereka bisa saja terlambat, terakhir kali bahkan yang datang hanya satu orang. Katakan padaku, kapan giliranku?"
Kekeuh sekali, hingga Fafa pun memutar otak untuk menemukan jalan keluar masalah yang terlihat sepele ini.
"Segera, setelah selesai meeting nanti kita bahas lagi, Pak. Bagaimana jika berangkat sekarang?"
"Hem, oke."
Akhirnya berhasil juga. Fafa mengikuti langkah Lewan sambil menyikut pelan lengan He-eun. Pria ini tukang mengadu atau memang Pak bosnya diam-diam menyelidiki kehidupan pribadinya?
"Bu Fafa!"
Teriakan tak bermoral ini ... Fafa menatap divisi Humas sambil tersenyum paksa. Sudah tahu ada Lewan, berani-beraninya dia justru menyerukan namanya dengan kencang. Sudah pernah digantung di alun-alun, Nona manis?
"Maaf mengganggu waktunya, Bu. Kami terdesak, tim yang dipilih untuk produk makan siang mengalami kesalahan. Model iklan yang harusnya live siang ini kecelakaan mobil, saya membutuhkan Bu Fafa!"
Masih mencoba tersenyum, sayangnya Fafa tak bisa! Dia menatap Lewan yang malah berjalan santai ke depan. Tau sekali pria itu bahwa dialah yang paling dibutuhkan saat ini. Fafa menghela napas sambil menyerahkan berkas pada Yang He-eun.
"Urus sendiri, aku ke tim Humas dulu. Ingat ini baik-baik Pak Yang." Di akhir kalimat Fafa membisikkan sesuatu yang membuat He-eun tertawa.
Barulah setelah itu Fafa segera menuju ke tim Humas, jika bisa memilih maka lebih baik dia berada di samping Lewan. Setidaknya pekerjaan itu tak membutuhkan kemampuan berdebat, sayangnya Fafa tak bisa lantaran dia lebih dibutuhkan saat ini.
Anehnya meskipun He-eun sudah melangkah pergi, ada sesuatu yang membuat Fafa ragu saat ini. Apakah jalan yang dipilihnya kali ini salah lagi?
-Bersambung ....