"Bukan?"
Fafa merasa bersalah, sangat. Lebih lagi saat dia menjelaskan bahwa temannya ini bernama Yang He-eun, bukan Lee seperti yang diduga oleh Ji-ya. Raut wajah kecewa putrinya sama sekali tak bisa disembunyikan.
"Sini sayang, kemarilah. Namanya Paman He-eun, bukan Papa," ulang Fafa.
Dengan berat hati Ji-ya pun melangkah menuju sang Mama. Tentu saja He-eun yang tadinya memang berniat lain, bukan sekadar berkunjung hanya bisa tersenyum tipis. Padahal dia lebih suka dipanggil papa, sedari dulu sosok Papa pun tak dimiliki oleh He-eun.
"Jia bukan namamu? Kamu boleh memanggilku Ayah sebelum Papa-mu datang loh," tawar He-eun.
Dia menundukkan kepalanya hingga bisa sejajar dengan wajah Ji-ya. Gadis berumur sembilan tahun itu berkedip-kedip lucu.
"Bolehkah Mama?" tanya Ji-ya pada Fafa.
Fafa sendiri hanya bisa tertawa geli. "Kalau Paman He-eun mengijinkan, mengapa tidak?"
Sebetulnya tak boleh, Fafa ingin mengatakan dengan jelas bahwa putrinya hanya boleh memanggil 'Ayah' dengan laki-laki yang disebutnya sebagai suami. Sayangnya, mata berbinar putrinya tak bisa Fafa tutupi. Sembilan tahun sudah Fafa menahan diri untuk tak membiarkan laki-laki ke rumah, He-eun adalah dampak buruk lalainya dia.
"Yey! Aku punya Ayah!" seru Ji-ya.
Gadis kecil itu berlari lagi, menghambur dalam pelukan He-eun seperti sedia kala. Meringis Fafa melihatnya, lebih lagi saat putrinya mulai mengoceh tentang segala kehidupannya.
"Besok aku akan pergi kelas wisata, kemarin Mama datang ke sekolah dan membayarkan semuanya. Ayah, tapi bajuku jelek, aku tak punya baju untuk besok menginap di Jeju island," lirih Ji-ya.
Fafa yang kebetulan sedang pura-pura fokus bermain hape pun mendengarnya. Diam-diam dia merasa seperti ibu bodoh yang tak tahu kebutuhan putrinya. Disikutnya lengan He-eun, berharap bahwa pria itu tak banyak berbicara untuk jawaban.
Karena ... Fafa adalah ibu Ji-ya. Membesarkan putrinya seorang diri bagi Fafa jauh lebih baik ketimbang mencari tahu siapa ayah kandung gadis mungil itu. Karena Fafa yakin sesuatu, bayangan suami dan sosok Ayah yang baik tak akan pernah ada dalam kehidupannya ini.
"Kalau begitu ayo pergi belanja. Ayah bawa mobil tapi di depan sana, bagaimana kalau sekarang kita jalan dulu ke mobilnya?" balas He-eun.
Secepat kilat Fafa melemparkan tatapan tak suka. Hanya saja He-eun justru membisikkan sesuatu padanya.
"Nona manis, ijinkan aku mendekatkan diri dengan calon putriku."
***
Pusat perbelanjaan jelas sangatt ramai. Semestinya Jeno tahu, tetapi si sialan itu secara sengaja meninggalkan seperangkat kebutuhan selama seminggu di Seoul. Jie-soe bisa saja langsung meminta asisten sang papa untuk mengatasi segalanya, lagipula Mama pun kebetulan ada arisan di sekitar sini.
Namun, "Coklat?"
Pertanyaan tak bermutu Jeno meresahkan baginya. Adiknya itu terlalu pemilih, meskipun terlihat seumuran, wajah Jeno masih seperti anak SMA hingga Tante Tania pun jarang memikirkan masalah mantu. Sangat berbanding terbalik dengan sang Mama yang saat melihat wajah Jie-soe dan tahu bahwa status putranya lajang, hah! Apapun yang ada di depan mata sudah pasti akan diterjang.
"Jeno, hentikan itu. Kita ke sini untuk membeli banyak barang! Tck, menyesal aku menuruti ocehan Gibran dan menitipkan koper padamu," cibir Jie-soe.
"Kau keras sekali sih, Hyung. Sesekali harus jalan-jalan juga, lagian Bibi Putri hanya menyukai putra yang baik hati dan tidak sombong apalagi songong," balas Jeno dengan wajah tanpa dosa itu.
"Brengseknya adikku," cibir Jie-soe.
Lelah berhadapan dengan Jeno membuat Jie-soe memutuskan untuk keluar sebentar. Saat ini dia berada di pusat perbelanjaan, lumayan juga harga per barangnya, jujur Jie-soe tak suka buang-buang uang mengingat biaya hidup di jaman ini sudah menjulang sekali.
Namun, rasanya baju-baju yang bermerek memang terlihat jauh lebih menggoda. Entah mengapa kakinya berjalan ke arah deretan baju wanita, melihat gaun berwarna merah muda itu dia jadi teringat Febiranza. Wanita yang kemana-mana selalu bersamanya, semenjak mulai membangun perusahaannya sendiri atas bantuan Kanneth, memang ada sedikit jarak.
"Aku justru menyukai jarak itu," kekeh Jie-soe.
Meskipun mereka bilang baru 26 tahun, dan tak harus buru-buru menikah, tetapi orang tua Febi sudah cukup lansia. Mereka ingin segera memiliki cucu, andai saja pernikahan berdasarkan kebutuhan dan sosok yang dicari adalah mereka yang paling dibutuhkan maka Jie-soe tak ragu untuk melamar Febi.
"Sayangnya menikah itu bukan karena kebutuhan, Febi butuh sosok yang bisa mencintainya sampai lanjut usia," lirih Jie-soe.
Dia masuk, melihat-lihat lebih jelas lagi dan menemukan sebuah dress yang sepertinya cocok untuk Mama. Niatnya membelikan barang bagi Febi terurungkan, mau bagaimanapun juga gadis itu akan menikah, lebih baik jika Jie-soe tak memberikan harapan yang menggoyahkan imannya, 'kan?
"Jie-soe!"
Seruan dengan suara centil barusan membuat Jie-soe menolehkan kepalanya. Dia tersenyum kala mendapati sang kakak.
"Kak Gia, sama Bibi Annisa juga nggak?" tanyanya.
Digendongnya balita berumur tiga tahun itu. Mirip seperti kakak iparnya, sosok yang sangat disiplin padahal aslinya prik.
"Nggak, sama Delton aja tadi. Mommy Putri kan di sini juga makanya dia pengen liburan, ngomong-ngomong beli baju buat siapa?" tanya kak Gia yang mulai aktif berkeliling.
Jie-soe meringis. Dia kira lepas dari Jeno akan membuatnya bebas, siapa yang menduga bahwa Jie-soe malah akan menjadi baby sitter dadakan begini?
"Ji, pelmen!"
Delton yang sempat Jie-soe abaikan juga mulai mengoceh. Jie-soe memang kesal pada kakaknya, tetapi bukan berarti rasa kesal itu ditujukan pada Delton juga.
"Nanti kita beli permen, ganteng. Sekarang cari bunda dulu, okey?" balas Jie-soe.
Delton tampak mengangguk patuh. Gemas, Jie-soe pun menghujani wajah keponakannya dengan kecupan hangat. Tak bertemu bayi ini selama beberapa hari membuatnya benar-benar rindu, lupakan saja kalau kakak dan kakak iparnya menyebalkan.
'Lagian siapa yang percaya bahwa kak Gia yang bar-bar dan sering gonta-ganti pacar akan mendapatkan suami setia bahkan memiliki anak manis seperti Delton?' cibir Jie-soe dalam hatinya.
Tak jauh dari tempat Jie-soe berdiri saat ini. Gia terdiam di tempatnya, kakak kandung Gibran itu menarik tangan Jeno yang hendak membuat masalah.
"Mau apa kamu?" desis Regia.
Jeno yang baru sadar kalau kakaknya ada di belakang pun terkejut bukan main. "Kakak? Ngapain di sini?"
"Harusnya kakak yang tanya kayak gitu ke kamu. Buat apa pura-pura ngajak Jie-soe keluar dari penginapan dan datang ke tempat ini? Gibran bilang semuanya aman, tapi sepertinya ada sesuatu yang kalian sembunyikan bukan?" tuduh Gia.
Wajah Jeno tampak biasa-biasa saja, tentu demikian karena pria ini bisa mengatur emosinya. Namun, 26 tahun bukan waktu yang sebentar untuk Gia mengenao ketiga adiknya. Saat mereka menyembunyikan sesuatu maka Gia langsung bisa menyadari hal itu.
"Hendak kamu apakan Jie-soe kali ini, Jeno?" ulang Gia.
Sambil menghela napas, Jeno pun menjawabnya, "Mempertemukannya dengan Fafa, puas?"
-Bersambung ....