Fafa melangkahkan kakinya dengan lemas begitu tiba di depan rumahnya. Segera dia membuka pintu, sapaan pertama yang dia dapatkan adalah ....
"Mama?"
Ji-ya benar-benar kelihatan seperti zombie, membuat Fafa diam-diam hanya bisa merutuki diri sendiri karena tak pandai mengelola waktu. Semestinya sang putri tak harus sering ditinggalkannya. Namun, apa boleh buat?
"Iya sayang, jangan ke sini kamu tiduran saja," balas Fafa.
Lekas wanita itu meletakkan tas miliknya dan tak lupa melepaskan sepatu. Seperti biasanya, Fafa pun lebih dulu mencuci tangan dan kini barulah dia mendekati putrinya.
"Jia kenapa nunggu Mama di sini?" tanya Fafa.
Pasalnya sekarang ini sang putri tercinta sedang tiduran di sofa. Hanya beralaskan selimut tipis saja, dia bahkan tak memakai bantal juga.
"Aku pusing, benar-benar pusing, Ma," balas Jia.
Begitu memeluk putrinya, perasaan cemas Fafa sedikit mereda. Setidaknya jika tadi pagi suhu badan Ji-ya sekitar 39 derajat maka kini mungkin hanya 37,5 saja.
"Hanya pusing? Mama bawakan obat dan bubur untukmu dari Paman," jelas Fafa.
"Iya ma, tadi aku sudah makan bubur yang di sana. Tidak enak, mau makan chiki!" balas Ji-ya sedikit ngegas.
Fafa sendiri tertawa kecil. "Mama akan membelikan banyak chiki, tapi nanti ya tunggu Jia sembuh."
Ji-ya merengek, semakin mengeratkan pelukannya. Tentu saja Fafa yang memang tak mau putrinya terus sakit pun membujuknya, hingga Ji-ya mau menikmati makanannya.
"Nah pinter," tutur Fafa begitu Ji-ya menghabiskan makanannya.
"Mama ke dapur dulu ya?" tanya Fafa meminta ijin.
Ji-ya biasanya mengangguk, hanya saja kali ini putrinya justru menggeleng. Tentu saja hal itu membuat Fafa menghentikan gerakannya. Ditatapnya lama Ji-ya kemudian Fafa mengajukan sebuah pertanyaan, "Ada apa, Sayang?"
Dengan suara lirih Ji-ya pun menjawab, "Bu guru bilang aku tak boleh ikut kelas wisata ke Jeju island."
Fafa melebarkan matanya. "Kenapa tak boleh?"
Ji-ya masih tak mau menatap sang Mama. Namun, bibir mungil gadis itu menjelaskan detailnya.
"Itu dua hari lagi, Bu guru bilang Mama harus melunasi biaya sekolahku dan baju seragam tahun ini. Mama, aku hanya mengatakannya jangan merasa terganggu," jelas Ji-ya.
Di kalimat terakhir putrinya memberanikan diri untuk menatapnya, tentu saja Fafa langsung tahu bagaimana keadaan saat ini.
'Pantas saja kamu sakit, Nak. Kamu benar-benar mirip Mama, saat menginginkan sesuatu hanya bisa diam sampai diamnya kita bisa mendatangkan penyakit seperti ini,' gumam Fafa dalam hati.
"Mama kan punya banyak uang, tentu saja nanti semuanya akan Mama bayar," balas Fafa.
Mata Ji-ya tampak berbinar-binar. "Benarkah? Apakah aku akan benar-benar pergi, Mama?"
Kentara sekali maunya.
Fafa tertawa. "Tentu saja putriku yang manis ini akan pergi. Bukankah kelas wisata musim panas tahun lalu kamu tak ikut karena sakit? Jadi, tahun ini pergilah."
Mendadak Fafa mengingat musim panas tahun lalu. Pantas saja Ji-ya sakit sampai semingguan lebih, Fafa kira itu karena putrinya sering bermain lumpur di dekat area pemancingan.
'Sekarang Mama tahu alasan yang sebenarnya, Nak,' lirih Fafa.
***
Pukul 20.00
Jie-soe mengumpat habis-habisan akibat ulah Jeno. Bagaimana mungkin si sialan itu secara mendadak memiliki hobi tidur?!
"Kamu ngapain lagi?!" seru Jie-soe.
Dia sudah cukup kesal dengan tipuan Gibran. Lima belas menit lalu Jie-soe sudah menyelesaikan rapat dengan CEO Lewan, memang tak salah jika Gibran memilih pria itu sebagai partner pertukaran pemuda e-sports. Dari sudut pandang Jie-soe sendiri Lewan benar-benar pria disiplin, entah mengapa secara pribadi baru pertama kalinya dia menemui sosok seperti ini.
Namun, mood Jie-soe buruk sekali kawan!
"Kenapa lagi?"
"Kamu pikir aku bakalan bahagia setelah mengahadapi iblis sendirian, bodoh? Jeno, aku tak pandai bahasa sini syalan. Berbicara bahasa Inggris pun agak kagok," keluh Jie-soe.
Jeno yang begitu sampai langsung tertidur dan kini baru saja membuka matanya pun tertawa kecil. "Pembohong yang buruk, empat tahun kuliah di Eropa dan dua tahun mengelola bisnis kakekmu di Korea Selatan. Jadi, bagaimana mungkin aku percaya bahwa Hyung tak bisa bahasa Hangul?"
Jie-soe berdecih. Sebetulnya dia hanya sedang mencari alasan saja untuk melampiaskan emosi ini. Mau bagaimana pun dia datang dengan harapan tinggi, tetapi bukannya sang kakak kelas, justru sekretaris Lewan seorang pria.
"Kesal karena tak bertemu Fafa?"
Seketika Jie-soe tersedak ramen yang baru saja hendak masuk mulutnya. Pria berusia 26 tahun itu menatap nyalang Jeno yang sepertinya memang hanya tahu cara memancing saja.
"Tidak," balas Jie-soe singkat.
"Hyung, aku akan membawamu padanya. Namun, bisakah kamu menjanjikanku sesuatu?" tawar Jeno.
Jie-soe diam, tak ada niatan untuk membalas karena setiap kali membuat penawaran maka adiknya, putra kandung dari Tante Tania itu hanya akan memberikan racun padanya. Sebagian besar, berdasarkan pengalaman hanya Jie-soe yang akan disusahkan.
"Tak mau? Putrinya bernama Jia, sekadar informasi saja."
"Kau pikir bawahanku satu atau dua? Aku akan mencari tahu sendiri," balas Jie-soe.
Dia hendak melanjutkan kembali aktivitasnya, akan tetapi pertanyaan yang Jeno ajukan membuatnya berpikir ratusan kali.
"Menurutmu apakah Fafa akan merasa senang jika diselidiki diam-diam? Bukankah lebih baik meminta bantuan padaku dan membuat pertemuan 'kebetulan' saja, Hyung?"
***
Keesokan harinya ...
"He-eun?"
"Halo," sapa balik Pak Yang—asisten sekaligus teman Fafa di tempat kerja.
Bukan sebatas terkejut. Fafa bahkan tak bisa mencerna keadaan saat ini karena begitu aneh. Rasanya dia dan He-eun memang detak, hanya saja tak sampai sedekat ini hingga ... saling mengunjungi rumah satu sama lainnya.
"Boleh masuk?" tanya He-eun.
Fafa gelagapan, terlalu banyak berpikir membuatnya jadi lupa bahwa He-eun sekarang adalah tamunya. Sambil meringis Fafa membiarkan He-eun masuk.
"Duduklah, kubuatkan kopi dulu. Lingkar matamu benar-benar butuh kafein," kekeh Fafa.
He-eun menyahuti tawa tersebut. "Haha, kurasa memang iya. Pak Lewan benar-benar tahu cara menyiksaku habis-habisan."
Fafa melangkah ke dapur. "Mungkin memang semestinya begitu, sih. Padahal akhir pekan begini, tapi He-eun ku yang manis selalu saja tahu bahwa bos kita lebih menyukaimu dari pada aku."
Keduanya saling diam untuk beberapa saat hingga Fafa kembali duduk dan berhadapan langsung dengan He-eun.
"Bagaimana kabar putriku?" tanya He-eun.
Fafa melemparkan tisu. "Dasar mulut buaya."
Keduanya tertawa bahagia sampai tak sadar bahwa Ji-ya diam-diam sudah masuk lewat pintu belakang. Gadis mungil itu sama sekali tak pernah melihat He-eun, tentu saja saat mendengar pria yang tengah tertawa bersama mama-nya kini mengajukan pertanyaan itu ... Ji-ya segera berlari.
"Papa!"
Tanpa mendapatkan persetujuan, Ji-ya langsung memeluk He-eun hingga pria itu terkejut bukan main. Fafa sendiri mati kutu melihatnya, dia dan He-eun pun saling tatap seolah sama-sama mengatakan, "Bagaimana cara kita menjelaskan kesalahpahaman ini jika putrimu saja terlihat sangat bahagia saat ini?"
-Bersambung ....