Fafa benar-benar sial hari ini. Tak cukup dengan putrinya yang harus berhati-hati karena sedang demam, perlu dijaga dan sekarang orang-orang di kantor mulai membuatnya kedua.
Paham betul Fafa bahwasanya wanita yang sudah memiliki anak sepertinya tak akan begitu cocok bergaul dengan mereka. Fafa sendiri lebih banyak mendiamkan hal tersebut, hanya saja makin banyak diam justru perilaku mereka menjadi-jadi.
"Fafa, ambilkan berkas-berkas tentang kerjasama kita dengan J Groups."
Dengan segera Fafa mengambil inisiatif, dia pun lekas berdiri. Mengantarkan beberapa berkas tersebut meskipun suasana hatinya tak begitu baik.
Lagipula dibandingkan dengan mereka semua ia sudah lima tahun lebih bekerja di perusahaan ini. Meski demikian menjaga profesionalitas sudah sewajibnya dilakukan. Fafa sendiri tak mau banyak berbicara, begitu selesai dia kembali ke tempatnya yang berada tepat di depan pintu ruangan direktur.
Pukul 4 sore, saat yang lainnya sudah kembali, Fafa masih mendekam di tempat duduknya. Sang bos menolak pulang lantaran ada pertemuan penting dengan pimpinan J groups, padahal tadinya Fafa berniat pulang lebih cepat. Sayangnya empat hari cuti berbayar tahun ini telah digunakan olehnya.
"Pak?" Fafa memanggil bosnya.
"Hem."
"Pukul 4 lebih sepuluh menit tadi pimpinan keluarga J telah datang. Selebihnya asisten Yang akan mengantarkan Anda ke restoran Baegu, ini sudah lewat jam kerja. Bolehkah saya pulang duluan?" Ragu-ragu Fafa mengajukan pertanyaan itu.
Dia bisa saja membentak. Karena alasan berikut ini. Pertama, ini sudah bukan jam kerjanya. Kedua, dia hanya sekretaris direktur bukan sekretaris pribadi. Ketiga, ada asisten Yang selaku pengganti dan sopir pribadi.
Jadi, tak salah bukan kalau Fafa menuntut waktu kepulangan kerja yang tertunda? Sayangnya, Fafa sudah tak bisa melakukan hal seperti itu. Di usianya saat ini, belum tentu akan mudah mencari pekerjaan lain dengan gaji yang mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
"Kau ...."
"Ya saya, Pak. Bolehkah saya pulang?" ulang Fafa.
Bosnya masih saja menunduk, menatap semua berkas-berkas yang ada di hadapannya. Jangankan melirik, laki-laki itu bahkan tak sempat mengatakan kelanjutan kata-katanya barusan.
"Ikut saya, anakmu sakit dia butuh obat. Setelah ke apotek baru kau bisa pulang," balas pak Bos.
Tentu saja mati-matian Fafa menahan diri agar tak berteriak kesal. Bukan karena menolak kebaikan sang bos, masalahnya sekarang jam pulang kerja. Kalaupun nantinya akan mampir dulu, waktunya pasti akan terbuang banyak.
Lamat-lamat Fafa mendengarkan sesuatu, hanya saja karena tak begitu jelas, dia pun memilih setuju. Semoga bibi tetangga yang dimintai tolong olehnya masih mau menjaga Jia.
"Baik, Pak. Kalau begitu saya akan segera memanggil asisten Yang," balas Fafa.
Dia segera ke lantai bawah, lift penuh membuatnya harus menuruni tangga dengan sepatu hak tingginya. Sesekali Fafa berhenti. Dari lantai 8 ke lantai 5 tentu saja butuh tenaga, lebih lagi dia jarang sekali berolahraga.
"Bu Fafa?" Sapaan barusan membuat wanita itu lekas menoleh.
"Sheila? Mau ke lantai lima juga?" balas Fafa.
Sheila mengangguk. "Ya Bu, saya ada urusan dengan tim devisi legal."
Fafa pun mengangkat alisnya. "E-sports benar-benar melelahkan. Skandal sedikit saja sudah langsung koar-koar."
Bawahan Sheila tertawa sopan. "Saya merasa begitu juga, tetapi setidaknya pekerjaan yang diberikan setimpal dengan tunjangan tahunan."
Keduanya kembali melanjutkan langkah sambil berbincang hingga tiba di lantai lima. Perusahaan sandang dan cabang yang mengelola e-sports, Fafa benar-benar heran kenapa sang bos selalu saja membentuk divisi baru setiap tahunnya.
Setelah memahaminya lebih lanjut, Fafa tahu sesuatu, sang bos ingin membantu pemerintah menurunkan angka pengangguran. Sesuatu yang seperti dermawan, hanya saja bagi Fafa laki-laki itu seperti setan!
"Kalau begitu saya permisi dulu, Bu. Semoga menyenangkan lemburnya," goda Sheila yang memang terbiasa pulang kerja di jam 8 malam.
Fafa membalasnya dengan senyuman singkat. Selesai basa-basi, langkahnya bergerak cepat menuju ke tempat asisten Yang.
"Pak Yang He-eun?" panggilnya begitu melihat satu sosok yang sedang tak baik-baik saja.
Pak Yang tampak kelelahan. Kantung mata yang menghitam adalah pertanda bahwa pria itu benar-benar lelah dan kurang tidur. Menggeleng miris Fafa melihatnya. Karena tak tega, dia pun berinisiatif membuatkan teh sebelum benar-benar mengutarakan pesan yang dibawanya.
"Telpon kan bisa, Nona manis." Suara pak Yang mengalun indah di telinga.
Ibu kandung Jia itu tertawa. "Bagaimana bisa menelpon jika ponselmu mati? He-eun, kita seharusnya sudah di rumah, 'kan?"
Empat tahun bekerja sama, membuat asisten dan sekretaris pribadi Lewan—nama asing bos, akrab dan saling memanggil nama. Keduanya terbiasa berdua hingga berbicara bahasa formal pun terkadang malas juga.
Diserahkannya segelas teh itu pada He-eun. Barulah Fafa menyilangkan tangan di depan dada dengan wajah sedikit sebal, kembali ke mode aslinya.
"Kita akan pergi, tetapi aku malas sekali!" seru Fafa.
He-eun yang baru selesai menyeruput tehnya pun geleng-geleng kepala. "Meskipun mengatakan itu, tetapi kenapa kamu masih menuruti pak Bos?"
Karena aku butuh uang, bodoh, balas Fafa dalam hati.
***
Beberapa hari yang lalu ....
"Global?"
Gibran menguap lebar. Baru setengah tiga sore hari, tetapi rasanya dia sudah tak sanggup membuka mata lagi.
"Hem, tapi bukan pertandingan tingkat internasional juga. Intinya tim Korea Selatan mengatakan bahwa mereka butuh pemain tambahan di posisi jungler, si Ariel cukup bagus dan aku rasa sudah waktunya dia menjelajahi dunia luar," jelas Gibran.
Cukup mata saja yang tak kuat dibuka, untuk masalah mulut, selagi pembahasan utama adalah e-sports maka tanpa jeda Gibran akan menjelaskannya. Dia begitu mencintai dunia ini, dan ingin memiliki hubungan baik dengan tim dari belahan dunia mana pun. Tahun lalu dari tim dari Tiongkok juga membutuhkan pemain tambahan, dulu dua orang karena memang mereka yang mau.
Kalau tahun ini? Hanya satu, Gibran juga heran mengapa mereka justru menolak dikirimkan ke negara satu ini.
"Lantas kenapa malah aku dan Jeno yang dikirimkan? Bran, ayolah aku tak paham apa-apa!" seru Jie-soe.
"Jadwalku padat, Mommy akhir-akhir ini juga membujuk Mama untuk membuatku menikah segera. Lebih parah lagi suami kak Regia mulai ikut campur juga, bagaimana bisa aku keluyuran di saat-saat seperti ini?" lanjut Jie-soe.
Dia benar-benar tak bisa terbang ke negara tetangga saat ini. Waktunya tak ada, meskipun sponsor utama, tetapi Jie-soe juga harus mengurus perusahaannya sendiri. Febi berhasil melarikan diri, dia dibuat kelimpungan mengurus apa-apa sendiri.
"Tapi ada dia," balas Gibran.
Sudah Gibran jelaskan bahwa dia malas membahas sesuatu yang bukan e-sports. Masalahnya dalam beberapa hari sang teman kudu berangkat ke sana. Tak ada cara lain untuk membujuknya.
"Ada siapa?" balas Jie-soe heran.
Memangnya dia punya kenalan di sana? Kebanyakan temannya berasal dari Tiongkok ataupun Tokyo, rasanya Jie-soe tak memiliki teman dari Seoul ataupun Busan.
"Seseorang yang sudah kau cari selama sepuluh tahun. Dari Jeno ... kudengar dia memutuskan untuk pindah ke sana."
Tubuh Jie-soe membatu untuk sesaat. Dia pun diam dengan segala pemikiran yang matang dalam benaknya.
Dia ... hidup dengan baik setelah kejadian itu bukan? tanya Jie-soe dalam hatinya.
-Bersambung ....