Jeno menatap sebuah objek yang sudah lama diawasinya, sesekali Gibran juga bergabung. Meskipun sudah berusia 26 tahun, tetapi keduanya masih saja sering berdebat hanya untuk perkara sepele.
"Luncurkan!" tegas Jeno.
Dia dan Gibran memutuskan untuk bekerja sama, menggeluti dunia e-sports dan memimpin sekitar 30 orang anak muda. Kebanyakan masih magang, lima anggota inti yang sering main di kompetisi tentu saja digembleng habis-habisan. Lebih lagi ini pertandingan tingkat nasional!
"Jangan sembarangan, jika mereka menyerang markas musuh bisa saja langsung mati dengan hp yang lemah itu!"
"Gibran syalan! Asal kamu tahu, ini—"
"Membosankan!" cibir Jie-soe.
Dia yang sejak lima jam lalu duduk sambil memainkan ponsel dan menikmati chiki pun terpaksa angkat suara. Meskipun mereka tak pernah mengatakan keluhan apa-apa, tetapi mana ada yang bisa bernapas setelah mendengar ocehan dua pelatih gadungan ini?
"Kalian berdua selalu saja menekan mereka, bodoh. Bukannya bangkit yang ada justru jatuh sakit, lagipula untuk apa membayar manager dan coach jika apa-apa malah kalian yang mengerjakannya?!" Jie-soe menyempatkan diri untuk tersenyum meski sudah ngegas tadi.
Jeno dan Gibran saling lirik. Keduanya lantas mengamati kelima anggota inti, mereka kemudian menghela napas panjang.
"Baiklah, kita jeda istirahat. Besok pagi dan lusa masih ada waktu, sudah jam segini, bagaimana jika pesan makan malam dulu?" usul Jeno.
Jie-soe terkekeh geli. "Walaupun sudah jam segini aku masih punya Febi, dia akan segera datang."
Gibran berdecih. "Kalian cuman teman, jangan terlalu banyak tingkah, Suu. Kau sendiri tahu bahwa cepat lambat dia harus menikah, tak merasa kasian?"
"Untuk apa kasian padanya jika Jie-soe sendiri calon suaminya?" timpal Jeno.
Seketika ke-lima anggota inti geleng-geleng kepala. Mereka sudah tiga tahun berada di lingkungan ini, melihat perdebatan tiga bos dengan saham tertinggi dan latihan tanpa jeda seperti yang tadi.
Ting tong!
Bunyi bel membuat Jie-soe lega, setidaknya dia tak harus membalas seloroh Jeno barusan. Gegas laki-laki itu berlari kecil ke arah pintu. Usai membuka pintu, senyum Jie-soe mengembang dengan begitu sempurna.
"Sayangku," sapanya.
Febi mencibir, "Sayang gundulnya itu! Minggir, yang lainnya laper nggak kayak kamu kerjaan makan mulu."
Meskipun tersindir habis-habisan, tetapi tak banyak menyahut dan hanya membiarkan sang teman masuk. Febiranza, tampak begitu cantik dengan celana kulot dan kaos oblong saja. Dia bahkan hanya menyampirkan tas selempang juga riasan tipis-tipis, tetapi sekali saja senyumnya terlukis maka banyak pria yang akan mengemis.
Bagaimana tak demikian jika Febi berhasil dengan mimpinya, menjadi desainer dengan bayaran tertinggi di negeri ini. Tak sia-sia dia menghabiskan empat tahun lebih untuk kuliah dan mempelajari tren busana di negeri asing.
"Wow, bawa apa ini?"
Gibran lah yang pertama kali memberikan sambutan. Dia memang selalu begitu, mengambil inisiatif lebih dulu. Dan meskipun kelima anggota tak banyak berbicara, sesungguhnya mereka juga sama-sama nyaman tanpa merasa canggung.
"Hanya beberapa makanan penuh protein untuk kalian yang hanya tahu cara bermain. Oji, sedang apa sih di depan pintu?!" seru Febi.
Gadis itu sudah tiba di meja makan, tetapi Jie-soe malah melamun di depan pintu.
Jeno mendekati Febi kemudian berbisik, "Dia sedang melihat ukuran sepatu. Mungkin akan membelikan satu pasang lagi untukmu."
Sayangnya, bisikan tersebut tak begitu lirih hingga yang lainnya pun diam-diam tertawa geli. Febi geleng-geleng kepala.
"Jangan berkata aneh-aneh, ayo semuanya makan."
Jika ini Febi versi anak kelas 10 SMA maka pipinya akan bersemu, dengan tambahan bibir membentuk emot bulan sabit. Sayangnya mereka sudah sama-sama dewasa hingga hal seperti ini tak akan berlaku lagi untuknya. 10 tahun mengenal Jie-soe, enam tahun bersama-sama membuat Febi yakin bahwa.
Tak mungkin dia melirikku untuk dijadikan sebagai pasangan, gumam Febi merasa miris.
Semuanya sudah berkumpul, Jie-soe juga menikmati makanannya. Tampak begitu anteng sampai sebuah pertanyaan terdengar di tengah keributan.
"Bagaimana pertemuan dengan Kanneth?"
Suara Jie-soe membuat hawa dingin menyelimuti seluruh ruangan. Febi yang tadi tampak bersemangat pun kini terpaksa diam di tempat dengan tubuh mati kutu.
"Lancar, kami sepakat untuk bertunangan bulan depan. Jangan ada yang datang, kalian bisa mendatangiku saat pernikahan nanti," balas Febi.
Uhuk uhuk!
Gibran benar-benar hampir kehilangan jantungnya kala Febi menjawab pertanyaan Jie-soe dengan begitu lancar. Sebagai sahabat sekaligus partner kerja sama, semestinya ada sesuatu di antara Jie-soe dan Febi, siapa yang menyangka bahwa akan ada yang sold out duluan?
"Baguslah, aku benar-benar bersyukur karena setelah ini tak akan mendengarkan percakapan menjijikkan kalian atau keluhan darimu," cibir Jie-soe.
"Ya setidaknya aku tak akan berhadapan dengan pria-pria sinting ini lagi. Kanneth ingin membawaku ke luar negeri selama satu tahun, kita sepertinya akan berpisah lagi," tutur Febi.
"Heh! Mana ada honeymoon sampai satu tahun?" Gibran berseru keras.
Tentu saja suasana malam yang hampir padam pun hidup kembali. Selesai makan, Jie-soe dan Febi menyingkir. Keduanya keluar markas setelah berpamitan.
"Nggak bawa mobil," adu Febi.
Sikapnya jelas sekali hingga Jie-soe tak bisa memberikan respon lain kecuali tersenyum geli. "Masuklah, lucu jika aku membiarkan kekasihku selama 10 tahun ini kedinginan."
Febi melemparkan tisu bekas miliknya ke wajah Jie-soe. Mereka kemudian masuk dengan gelak tawa yang tersisa.
Di perjalanan pulang tak ada percakapan, Jie-soe sengaja melambatkan laju mobilnya. Dia sesekali melirik Febi. Tak tahan dengan suasana ini, akhirnya Jie-soe membuka percakapan lebih dulu.
"Kanneth pria baik," tuturnya.
"Aku tahu, sialan," balas Febi.
"Aku tak ada apa-apanya. Dia penguasa dunia yang sedang kujalani, dibandingkan denganku yang hanya melanjutkan usaha Papa dan ... tak pernah mencintaimu, bukankah sangat berbeda?" jelas Jie-soe.
Ya, mereka sendiri sama-sama tahu. Pembicaraan tentang cinta bukanlah hal ganjil, alasan Febi melarikan diri untuk kuliah ke luar negeri karena ... Lee Jie-soe menolaknya.
"Tapi aku tak mau. Rasanya lucu, bahkan setelah semua sifat baik Kanneth padaku tetap saja hatiku menolaknya. Meskipun demikian sudah cukup 3 tahun kami bermain-main, aku juga tak akan berharap padamu, Oji. Tolong jangan membuatku melunak lagi," balas Febi.
Jie-soe lega, setidaknya dia tak akan menyalahkan diri atas hal ini. Sekalipun sudah menolak Febi, tetapi dia berhasil membuat Kanneth yang putus asa kembali mengajukan proposal pernikahannya. Jie-soe melirik sekilas untuk mengamati wajah teman baiknya.
"Kamu sudah dewasa," kekeh Jie-soe.
"Dan kamu tak lebih dari pria licik, jika masih menginginkan wanita itu carilah!" sentak Febi.
Masih dengan mempertahankan senyumnya, Jie-soe pun berkata, "Aku tak akan mencarinya, akan kutunggu sampai genap usia ini. Dan jika sampai detik itu dia tak datang, mungkin sudah waktunya untukku melepaskan diri dari peluk hangat kenangan masa lalu."
Dalam hati Febi tertawa miris, 'Andai saja aku tak menemukan laki-laki sebaik Kanneth. Maka ... haruskah aku menunggumu selama empat tahun lagi, Oji?'
-Bersambung ....