Jie-soe dengan sabar menunggu. Meskipun sudah satu jam berdiri di taman sekolah tapi tak kunjung datang sosok yang mengajaknya bertemu semalam. Entah kenapa dengan wanita lain, padahal Mama bahkan semua yang di sekitarnya selalu tepat waktu.
"Aku pernah mendengar wanita itu suka mengulur waktu, tak kusangka lama sekali!" desis Jie-soe sambil menyandarkan punggungnya di pohon.
Dia bersiul pelan dengan kedua tangan dilipat. Mood-nya memang tak begitu baik. Namun, semalam Gibran terus memancingnya hingga dia tak ada pilihan lain.
"Jika tak datang aku akan sulit tidur lagi nanti malam," monolog Jie-soe.
Kembali dia merogoh ponselnya dan mengecek jam. Sama seperti tadi, lima belas menit berlalu tanpa didasari olehnya. Merasa sudah tak kuasa menunggu, putri kandung dari Jiwoon itu lekas melangkah pergi.
"Tunggu!"
Tentu saja, belum sempat melangkah Jie-soe kembali berdiri dengan kaki tegak kali ini. Terhitung dua bulan sudah dia menjadi siswa SMA, tak heran kalau begitu banyak hal yang membuatnya bosan. Dulu, ketika masuk SMP hanya para guru-guru yang membuatnya semangat ke sekolah demi nilai memuaskan untuk ditunjukkan pada Mama.
"Kak Fafa, lain kali kalau janjian tepat waktu. Aku bukan orang sibuk, tetapi mau bagaimana pun juga kita siswa SMA. Waktu istirahat terbatas," desis Jie-soe.
Dia tak mau ceramah sebetulnya, hanya saja Fafa membuatnya terpancing emosi sampai bertindak seperti ini. Jika ada yang perlu disalahkan ya ... ia yang datang bukan?
"Maafkan aku, tadi ada sedikit masalah," balas Fafa sambil membersihkan seragamnya.
Diam-diam Jie-soe mengamati. Dia membandingkan setiap pertemuannya dengan Fafa, lalu tersenyum manis.
"Kakak hamil?" tebak Jie-soe.
Fafa yang semula menunduk pun mengangkat wajahnya. Gadis di depan Jie-soe itu pucat pasi.
Jie-soe yang asal menebak malah makin bingung. Dia iseng bertanya karena baju yang digunakan Fafa sedikit lebih besar dari sebelumnya, gadis itu juga tampak seperti Mama waktu kehilangan adiknya. Tidak mungkin kalau ....
"Aku hamil, Jie-soe."
Fafa merasa bahwa dunianya benar-benar akan runtuh setelah mengatakan sederet kalimat itu. Namun, dia tak mau sendirian setelah mendapatkan beberapa pukulan di punggung karena sang Mama telah mengetahui hal ini.
Semalam, setelah menelpon Jie-soe secara tiba-tiba orang tuanya masuk. Mereka yang bisanya tak peduli dan mendadak ke kamarnya jelas membuat Fafa terkejut, dia belum melakukan persiapan serta beberapa test pack berserakan. Alhasil ....
"Aku akan putus sekolah, jadi tolong jangan bilang ini ke siapa-siapa. Mamaku dan Papa juga akan berpisah, meskipun kita tak dekat boleh untukku menceritakan ini semua, 'kan?"
Mati kutu Jie-soe dibuatnya. Dia merasa bahwa tak akan sanggup lagi untuk terus berdiri seperti ini. Makanya, dibimbingnya Fafa untuk duduk di bangku tua.
Kakak kelasnya itu tersenyum lebar, seolah-olah ekspresi pucat Jie-soe saat ini bukan lagi masalah besar untuknya. Tentu saja dalam hati saat ini sebetulnya Jie-soe bersiap-siap untuk memukul Gibran habis-habisan demi pelampiasan.
Sementara Fafa, dia merasa lega, tanpa peduli bagaimana nasib bayi ini nantinya. Yang terpenting adik kelas yang dicintainya sudah tahu. Fafa benar-benar merasa bahwa bebannya menghilang sebagian besar.
"Kakak ... serius?" Jie-soe tampak ragu-ragu saat mengatakan pertanyaan itu.
Tersenyum hangat Fafa, dia pun berkata, "Ya, aku benar-benar serius. Entah tentang hubungan orang tuaku, perceraian mereka, keputusan memilih Mama dan ... tak melanjutkan sekolah."
Dari sudut ini Fafa bisa melihat bahwa tangan Jie-soe yang menggenggamnya tampak gemetar. Meskipun tahu bahwa bukan siapa-siapa, tetapi adik kelasnya begitu baik padanya. Dalam hal ini bagaimana mungkin Fafa tak jatuh cinta sedari pandangan pertama?
"Boleh aku peluk kamu? Terakhir pertemuan kita kan—"
Hup!
Fafa terkejut kala Jie-soe memeluknya lebih dulu. Dari sini Fafa merasa khawatir, adik kelasnya begitu mudah ditarik ulur, sangat sensitif dan tak bisa membedakan mana baik atau buruk. Namun, Fafa tak akan menjelaskan kali ini, dia hanya membalas pelukan hangat itu.
"Aku nggak minta apa-apa, cuman pengen ngasih tahu kamu. Nggak tau kenapa, tetapi rasanya kamu perlu tahu hal ini, dan ... aku harap ini terakhir kalinya kita bertemu."
Karena jika kita bertemu lagi, aku yakin kamu akan memaksakan keputusan dan menganggap dirimu ayah putraku, lanjut Fafa dalam hati.
Bel masuk telah berbunyi, tetapi percakapan keduanya masih berlanjut seiring dengan pelukan hangat yang mulai mengendur. Baik Fafa ataupun Jie-soe, mereka masih begitu muda untuk memahami ucapannya. Keduanya ... sama-sama tak tahu bahwa sekalipun benang merah mulai kusut, pada akhirnya akan diluruskan oleh takdir.
Dan ....
Sepuluh tahun kemudian ....
Langit tampak menunjukkan keindahannya, membuatku tersenyum geli karena sangat berkebalikan dengan suasana hatiku saat ini. Bunyi nyaring pecahan piring tetangga juga ayam kawin di belakang sana ... sangat memuakkan tentunya.
"Mama terlambat!"
Bocah cilik berusia sembilan tahun itu menyimpangkan tangan di depan dada. Menyambut kepulangan sang ibu tercinta, dengan wajah masam tentunya.
"Tapi Mama bawa chiki loh, yakin nih masih mau marah?" ledek wanita berusia 28 tahun itu.
Seketika senyum cerah terbit di bibir sang bocah. Dia berlari kecil memeluk sang Mama yang tengah berjongkok kali ini.
"Hehe, aku sayang mama loh, jadi ini chiki buat Jia saja, ya?" tanyanya dengan sedikit merayu, mengedip-ngedipkan matanya sok lucu.
Meskipun menambahkan kata 'sok' ini, tetapi tak ada yang bisa mengalahkan wajah manis Jia ini. Gadis cilik yang sangat Fafa cintai.
Ya, Fafa benar-benar berhasil membawa putrinya hadir ke dunia. Hanya saja ... ada sesuatu.
"Jia mau? Hem, bocah kan tak boleh makan chiki banyak-banyak. Bagaimana kalau batal makan chiki saja?" goda Fafa yang langsung menggendong putrinya.
Penyemangat hidup, sumber bahagia, satu-satunya alasan kakinya masih sanggup berdiri. Lee Ji-ya, berusia sembilan tahun dan sudah kelas dua. Fafa beruntung karena memilih negara ini, di mana hamil di luar nikah meskipun dianggap sebelah mata tetapi bayi tentu saja dihormati. Tak banyak yang mau melahirkan, hingga begitu Fafa mengurus kepindahannya dan mendapatkan bayi hidupnya sedikit lebih baik.
Bantuan berupa rumah susun sudah sangat meringankan bebannya, Jia juga tampak bahagia. Meskipun sesekali putrinya selalu membuatnya ketakutan. Seseorang pernah mengatakan padanya bahwa nasib anak perempuan tak akan jauh berbeda dari ibunya.
Jia cantik, dengan kulit putih bersih dan mata sipit. Hanya saja, begitu banyak alasan maka semakin banyak juga persentase kemiripan kisah ini. Namun, Fafa akan menjaga putrinya.
"Mama, kemarin aku melihat foto papa loh!" seru Jia.
Tentu saja ucapan Jia berhasil membuat Fafa melepaskan diri dari lamunannya. Dia menatap putrinya yang sudah asyik makan chiki, sambil meneguk ludahnya, Fafa bertanya, "Siapa?"
Jia tampak tersenyum manis. "Papa Lee, dia sangat tampan! Tadi saat Yao dan Byoel kemari aku menunjukkan foto Papa. Mereka bilang Papa tampan makanya aku cantik."
Deg!
-Bersambung ....