Chereads / Hello My Girl! / Chapter 23 - Kesalahan yang Terpendam

Chapter 23 - Kesalahan yang Terpendam

'Jie-soe? I'm Fafa, bisa ketemu sebentar besok di sekolah?'

Fafa menatap benda tipis bergaris dua dan ponselnya secara bergantian. Ketakutannya terjadi, dia tahu harusnya tak melibatkan adik kelasnya ini. Gibran yang terlihat selalu menempel padanya saja mendadak terus mengajukan ancaman tak jelas.

"Regia, dia masalah utama," cicit Fafa.

Takut, marah, dan kecewa. Segalanya bercampur menjadi satu saat ini, Fafa benar-benar merasa begitu buruk karena telah melewati batasan. Meskipun dia dilecehkan dan bayi yang di dalam sini tak hadir karena keinginannya, tetapi ... mana bisa Fafa melenyapkannya.

Tring!

Sebuah balasan masuk, dengan gugup Fafa membuka pesan tersebut. Seperti dugaannya, Jie-soe memang masih sepolos itu. Terbesit rasa takut mengatakan kebenarannya. Namun, Fafa merasa bahwa Jie-soe perlu tahu seolah-olah ada yang mendesaknya untuk mengungkapkan semua itu.

Dia mengusap pelan perutnya sambil menatap langit-langit kamarnya. Gibran, sosok yang membungkamnya itu memang sudah bertindak benar sebagai seorang teman. Hanya saja demi apapun itu tak suka Fafa, dia benci saat orang-orang yang baik padanya justru dijauhkan.

Bunyi gelas pecah kembali terdengar. Diam-diam Fafa tersenyum lebar. Rasanya sesak sekali berada di rumah yang jauh lebih mirip dengan neraka saat ini. Delapan belas tahun hidup, tak pernah sekali pun Fafa melihat orang tuanya tertawa geli di depan televisi untuk membahas sesuatu.

"Adu mulut, lempar barang dan terkadang ingin saling membunuhku. Orang tua macam apa sih kalian itu?" desis Fafa.

Dia tahu bahwa jika kabar mengenai kehamilannya terdengar semua orang akan memburu dan mencoba membunuhnya detik itu juga. Makanya Fafa diam, dia sudah menabung sejak berusia 5 tahun. Tabungan yang tak pernah disentuh oleh siapapun.

"Jika Jie-soe sudah tahu aku akan pergi nanti," kekeh Fafa.

Lee Jie-soe, sosok yang baru bertemu dengannya dan berhasil membuat Fafa jatuh hati di pandangan pertama. Ya meskipun begitu adanya, tetapi Fafa tak mau terlalu memaksa. Jika boleh jujur, ia ingin nanti Jie-soe menahannya, membuat Fafa merasa bahwa setidaknya dia memiliki seseorang yang cukup istimewa.

Menggeleng cepat Fafa. Dia tak boleh seperti ini! Lee Jie-soe hanyalah seorang anak yang sedang di masa pertumbuhan, dia baru menjajakan diri di lingkungan sekolah menengah atas, haruskah demi ego yang ada Fafa hancurkan masa depan anak itu?

Berusaha untuk tidur di tengah keadaan seperti ini membuat Fafa tak nyaman. Sesungguhnya mual mulai menghantuinya hingga belajar sedikit saja sudah mulai lelah. Namun, mana mungkin dia melakukan hal yang bisa merugikan diri sen—

Dering ponselnya membuat Fafa bertanya-tanya siapa yang menelpon di jam sembilan malam ini. Betapa terkejutnya dia kala melihat nama Lee Jie-soe di layar ponselnya itu, dengan tangan gemetaran dia mengusap ponsel tersebut.

["Kak? Ini beneran cewek yang waktu itu, 'kan?"]

Suara yang mengalun begitu indah ini seolah-olah melenyapkan segala sesuatu dari ruang tamu. Fafa tak henti-hentinya tersenyum manis, dia tahu bahwa tak ada yang sebaik Jie-soe. Selama ini laki-laki yang mendekatinya hanya karena—

Tubuh Fafa bergeming, dia mencoba untuk tak memikirkan hal yang ditinggalkan sang Mama padanya. Sungguh, rasanya begitu menakutkan mengingat itu semua. Mencoba tersenyum manis meskipun yakin bahwa Jie-soe tak akan melihatnya.

"Iya, ini aku. Kenapa?"

["Sorry sebelumnya, Kak, tapi ada apa? Kenapa mau ketemu?"]

Nada bicara adik kelasnya berubah menjadi tak bersahabat. Harusnya Fafa sadar diri tapi dia justru menganggap bahwa itu adalah hal alami.

"Ada sesuatu yang mau aku om— hup!"

Buru-buru Fafa menjauhkan ponselnya saat merasa mual bukan main. Sungguh, ingin berlari ke kamar mandi saat ini, tetapi jika pergi maka Lee Jie-soe akan memutuskan sambungannya. Fafa masih ingin mendengar suara ini, dia ... butuh teman bicara untuk melenyapkan suara barang-barang pecah di depan sana.

["Kak? Kakak sakit atau kenapa? Kalau ada sesuatu yang mau diomongin mending sek—"]

"Besok aja," potong Fafa.

Dia tak mau mengatakannya lewat panggilan, takut jika di samping adik kelasnya itu ada orang-orang tertentu yang hadir. Rasanya Fafa akan makin merasa bersalah jika hal tersebut benar-benar terjadi.

Di seberang, seperti dugaan Fafa. Kini Jie-soe menatap Gibran yang sejak tadi terus saja memintanya menelpon Fafa. Jie-soe heran, tetapi dia tetap menurutinya.

Kini sambil menjauhkan ponselnya, Jie-soe mengajukan sebuah pertanyaan, "Apa yang lagi kamu sembunyikan? Kita bukan sekadar teman, Bran. Aku pikir gitu, tapi kayaknya nggak?'

Gibran masih saja mempertahankan senyum manisnya dan tak tergoda untuk menjelaskan. Jie-soe ingin melemparkan sesuatu, sayangnya di depan mereka pun ada sang Mama yang sedang diam-diam mengawasi meskipun tampaknya tak peduli.

"Oh okey, Kak. Kalau gitu aku tutup sambungannya, ya?" tutur Jie-soe setelah Gibran membuatnya gemas.

["Boleh nanti aja? Eum ... maaf ganggu kamu, tapi aku lagi butuh teman buat ngobrol,"] balas Fafa.

Sang Mama kini menatapnya tajam, ditatap seperti itu membuat Jie-soe meneguk ludahnya. Dia mengulurkan ponsel kala sang Mama meminta benda itu lewat isyarat mata.

"Halo? Fafa, ya?"

Ditatapnya Gibran, sumber masalah yang membuatnya kelimpungan saat ini.

"Iya, Nak. Oh iya, kamu sudah kelas dua belas, kebetulan tadi anak Tante telepon pakai loud speaker. Dan, eum ... ini sudah malam, kalau ada yang mau dibicarakan besok aja. Lebih baik lagi kalau Ndak usah ketemu ya?"

Jie-soe menempeleng kepala Gibran. Setelah memastikan sang Mama tak melihat, gegas dia menyeret temannya itu untuk masuk ke dalam kamar. Tentu saja hal ini membuat Gibran kembali tertawa geli.

"Gue nggak salah apa-apa. So, kenapa muka lo jutek terus kek gitu?"

Tidak salah apa-apa, ya? Rasanya saat ini Jie-soe benar-benar ingin menghantamkan kepala Gibran ke tembok. Ah, dasar si sialan ini. Sebetulnya jika saja sang Mama tak tersenyum penuh makna seperti tadi maka ... Jie-soe akan memilih untuk bungkam saja.

"Lo nggak lihat, Sat? Mama benar-benar murka, lagian ngapain sih malam-malam nongol kek gini?" desis Jie-soe.

Gibran gelimbungan. "Nggak ada alasan sih. Ah jan pake gue-lo, sama sekali nggak nyaman njir. Lagian—"

Bugh!

Sebuah sepatu melayang sampai hampir mengenai pelipis Gibran. Laki-laki yang menjadi pelaku hanya mengangkat bahu.

"Lo sialan, so, rasanya pantas kalau kena sepatu. Btw, Fafa baik-baik aja atau lo yang hobi mendua? Bran, kita masih kelas sepuluh, benar-benar baru masuk SMA jadi tolong jangan bikin masalah," tutur Jie-soe.

"Lo boleh ngomong kayak gitu setelah tahu masalahnya besok," balas Gibran.

Jie-soe menggigil seketika, hawa dingin yang menyeruak ini ... pertanda buruk. Dalam diam dia berdoa agar segalanya tetap berjalan seperti rencana. Karena untuk Lee Jie-soe, kebahagiaan sang Mama dan ketentraman wanita itu adalah hal yang utama.

-Bersambung ....

,