Chereads / Hello My Girl! / Chapter 21 - Tumbang

Chapter 21 - Tumbang

Kepalaku berdengung kencang mendengar Mama dan Papa yang sejak tadi saling melemparkan gombalan satu sama lain. Hehehehe, aku memang pernah mendengar hal ini beberapa kali tapi tetap saja rasanya geli.

"Apa dikau mendengarnya sayang? Dengar tidak hati daku yang memanggil nama dikau ini?"

Duh Papa anakmu ini geli banget loh dengernya, mana Mama juga tak kalah hebatnya berakting lagi.

"Tentu saja! Daku mendengarnya dengan begitu jelas, um bukan kah itu artinya dikau mencintai daku?" tanya Mama dengan tampang yang benar-benar terlihat polos dan lucu.

Subhanallah cantiknya Mama, sayang kini Mama malah membuatku merasa geli dengan ucapannya ini. Hiks, bagaimana caranya aku melerai mereka? Mau pergi dari sini pun tak mungkin karena memang setiap harinya entah itu hanya setengah jam saja Mama selalu mengumpulkan kami bertiga.

"Ma—"

Aku menutup mulutku lagi karena tak mau mengacau kemesraan mereka ini, meskipun aku merasa geli tapi kan memang mereka sesekali harus melakukannya untuk menghindari kejenuhan dalam suatu hubungan. Dan yang ku lakukan sekarang hanya bisa menyumpal telinga dengan earphone milik Papa yang tergeletak di meja.

Masa bodoh kalau nanti Papa akan mengomeliku habis-habisan karena memakai benda sensitif ini, ya salah mereka lah anak ganteng gini dikacangin. Ha-ha dikira aku ini martabak apa gimana ha?

Lagu ost sinetron Dari Jendela SMP mengalun indah di telingaku.

Tanpa sadar bibirku pun ikut bergumam, yang jelas aku hanya hapal beberapa liriknya saja gak sampai semuanya. "Malu aku malu, pada semut merah, yang berbaris di dinding menatapku ku curiga seakan penuh tanya sedang apa disini."

Ya ampun ternyata yang kuhapal lebih sedikit dari yang aku duga sih haha. Setidaknya dengan mengucapkan kalimat itu berulang-ulang aku kini jadi gak terlalu menghiraukan daku dan dikau itu.

Lantas lagu berganti menjadi lagu jadul entah jaman berapa namun masih nyaman untuk didengar. Jika aku tidak salah maka judul lagu ini adalah give love yang dibawakan oleh Akdong musician.

Dan entah berapa banyak waktu yang aku lewati hingga aku melihat Mama yang sudah beranjak, nah karena itu artinya Mama hendak menyiapkan makan malam maka sekarang yang perlu ku lakukan adalah melepaskan earphone ini.

Karena Papa sudah melayangkan tatapan tajamnya padaku. "Mbul? Bukannya waktu itu Papa sudah bilang sama kamu buat nggak asal pakai earphone kesayangan Papa ini ya?"

Aku mengangguk lantas meringis pelan, "sudah lah tamat sudah riwayatku. Mari dengarkan Papa yang akan mengomeliku sambil menunggu makan malam selesai di siapkan."

Hah! Kalimat itu dengan kencangnya kuucapkan, dalam hati sih ahaha.

***

"Minggu nanti mau kemana?" tanya Gibran dan tentu aku dan Jeno seketika langsung kompak menggeleng-gelengkan kepala.

Ya habisnya anak ini tuh lucu sekali, kan biasanya jika Sabtu dan Minggu tiba kami hanya akan menghabiskan waktu rebahan di rumah selama seharian. Jadi, untuk alasan apa dia bertanya seperti itu?

Tak mungkin juga kalau ternyata Gibran diam-diam sudah mempersiapkan tiket liburan akhir pekan untuk mereka bertiga. Itu jelas definisi pemikiran paling konyol yang pernah ada.

Ya tapi-tapi jikalau hal yang seperti itu akan terjadi dia akan sangat berterimakasih dengan setulus hati. Namun, kenapa sejak tadi Gibran malah mengunci rapat-rapat mulutnya.

Ah sepertinya benar deh kalau dia sebenarnya telah merencanakan liburan menyenangkan dan sekarang dia ragu untuk mengatakannya secara langsung.

Baru saja mulutku terbuka dan aku hendak bersuara namun dia lebih dulu berkata, "udah nggak usah pada fokus mikirnya santai-santai aja toh kan gue cuma asal nanya doang."

"Udah gue duga kalau lo pasti lumayan gila ditambah dengan gabut dan juga kurang kerjaan makanya saudara Gibran mendadak jadi sangat perhatian," ocehku kesal padanya yang ternyata dia hanya mempermainkan perasaanku saja.

Hah! Sejujurnya aku tuh sudah berharap banyak makanya aku yang paling merasa dikhianati begitu, ya ini akan kujadikan pelajaran agar kelak aku tak tertipu lagi dengan pertanyaan konyolnya ini.

"Yang nyuruh nanggepin dia siapa?" tanya Jeno padaku dan sontak aku tersenyum miring.

Yah benar sekali bahwa ini semua memang salahku makanya jadi nyonya jangan terlalu baik sama pelayannya begitu kan?

"Lo pindah kelas aja deh Bran, males gue punya temen kayak lo."

"Lah emang sejak kapan kita temenan?" sahut Gibran dengan entengnya.

Aku mendengus malas. "Terserah kau saja lah nak, selagi kesabaran ku masih ada pasti segalanya akan baik-baik saja nak."

"Duh emang kayaknya Suu udah cocok berperan jadi bapak-bapak yak?" Gibran mengucapkan pernyataan itu namun tanpa menunggu jawabanku tawa merdunya sudah mulai mengusik telingaku.

"Bapak-bapak gundulmu iku! Mana pantes sih gue jadi bapak-bapak saat gue masih pengen ada seseorang yang manggil gue kakak," curhatku pada mereka.

"Kakak?" panggil Jeno yang sepertinya dia juga tertarik untuk menggodaku ya.

Wah lihat saja nanti dia pasti akan memperlakukan dua orang ini dengan baik hati.

"Denger nggak, Suu? Tuh ada ada seseorang yang manggil lo kakak jadi silahkan kalau mau transformasi jadi bapak-bapak." Gibran berucap dengan aneh kali ini.

Ada apa? Entah kenapa aku merasa kalau sepertinya ada sesuatu yang disembunyikan tapi rasanya tak boleh ditanyakan hingga aku hanya bisa tersenyum tipis saja.

"Memang setan semua ya kalian. Giliran kalau masalah membully aja kalian semangat benar, nanti giliran di perlakuan begitu malah kalian semua pada ngadu dah tuh."

Gibran menendang kursi yang tengah kutempati hingga hampir sedikit saja aku terjengkang ke belakang. Yah bukan masalah sakitnya sih namun lebih ke malu saja jatuh terjengkang dan ditatap oleh banyak orang jelas akan membuat siapapun malu bukan?

"Bran jangan gitu nanti banyak yang lihat," ucap Jeno menengahi kami.

Gibran jelas langsung nyinyir lagi, dasar bocah ini memang sepertinya datang ke sekolah tapi lupa membawa tata krama yang di ajarkan oleh ibunya.

Tadinya aku melihat Gibran yang hendak mendebat lagi tapi Jeno buru-buru merentangkan tangannya pertanda kalau perdebatan ini diteruskan akan runtuh tembok persahabatan kami dan tembok privasi yang selama ini kami lindungi dengan hati-hati.

Selepas melihat Gibran yang kini sepenuhnya fokus menatap ke arah depan aku malah ingin menyembunyikan wajahku saja. Tapi, tujuanku sekolah untuk mempelajari ulang materi yang pernah ku pelajari saat masih dini.

Percuma aku mencoba karena bagaimanapun juga aku telah mengantuk lagi saat ini. Ah ini harusnya tak terjadi tapi semua penjelasan para guru seolah-olah dongeng sebelum tidur untukku.

Lantas aku tak tahu apa yang terjadi selanjutnya karena mendadak tulisan yang ada di papan tulis memburam dan, gelap. Hanya ada satu titik cahaya di ujung sana.

-BERSAMBUNG-