Chereads / Hello My Girl! / Chapter 20 - Apa yang Disembunyikan?

Chapter 20 - Apa yang Disembunyikan?

Duduk diam dengan pikiran yang entah melayang kemana ini jelas membuatku merasa heran. Padahal mata pelajaran sudah mulai aktif, tapi aku masih bisa melihat Febi tersenyum cerah tadi.

Duh senyumnya itu sungguh manis hingga seolah-olah hanya dengan memejamkan mata saja aku masih bisa melihat senyum manisnya. Untung saja mulai beberapa saat lalu sepertinya Gibran sudah bisa mengakrabkan diri dengan Kak Fafa walaupun aku merasa mereka sedang menyembunyikan sesuatu.

Tapi entah mengapa aku merasa bahwa tak perlu mencemaskan semuanya. Bahkan Jeno saja tak marah-marah kok, dia hanya beberapa kali mendengus pelan saat menatap wajahku.

Hm entah ada apa di wajahku ini sampai-sampai dia bersikap seperti itu pada kakaknya sendiri. Sudah lah aku malas sekali kalau sampai berdrama.

"Jadi anak-anak—"

Kring!

Akhirnya selesai juga hari ini, suara bel pulang sekolah tadi pertanda kalau aku sudah melewati hari ini dengan baik.

Ah rencananya sih Minggu depan aku mau memperkenalkan Mama ke Febi. Tapi, aku sepertinya melangkah terlalu cepat dan karena itu lah aku akan membatalkannya terlebih dahulu.

Di saat semuanya berlarian keluar kelas bahkan Gibran pun juga pergi menuju ke area kelas 12, aku dan Jeno hanya duduk anteng di sini. Toh nanti saat kami keluar yang ada malah berdesakan dengan siswa-siswi lainnya.

Dari pada seperti itu aku juga Jeno lebih suka menunggu lima menit, nah dalam lima menit itu pasti jalanan pulang menuju ke gerbang akan sedikit lenggang. Lagian lima menit bukan lah waktu yang lama lantas kenapa juga mereka tergesa-gesa?

"No?" panggilku sambil menolehkan kepala menatapnya yang kini tengah memasukkan baju olahraga.

"Kenapa?"

"Gibran, menurut lo aneh nggak sih mereka berdua?" tanyaku sekadar iseng saja, biasanya Jeno susah diajak ngobrol seperti ini.

Keningnya mengerut seolah-olah dia tengah berpikir keras, lah memang ada yang salah dengan pertanyaanku barusan ya? Padahal aku sudah memilahnya dengan sangat hati-hati loh jadi tak mungkin kan sampai ada yang salah?

"Mereka aneh karena lo nggak peka, tapi ya bagus sih. Lo memang sudah seharusnya sama Febi aja dan abaikan Fafa, kalau pun nanti ada sesuatu yang tak terduga jangan lepasin tu cewek kelas sebelah," balasnya, aku sedikit terkejut tentunya.

Kini mungkin giliran keningku yang mengerut dan alisku yang menyatu, duh dia ini apa ya maksudnya? Kenapa aku malah salah tangkap begini karena ucapannya tadi?

Atau memang begitu kenyataannya, Fafa menyukaiku bukannya Gibran?

Ah aku emang sempat curiga sih namun ku pikir kedekatannya dan Gibran memiliki arti lebih. Walau sesekali aku memergokinya menatapku lama aku tetap diam saja, anggapanku sih mungkin ada sesuatu di wajahku.

Tapi, meski tak pernah berurusan dengan wanita lain selain kelurga besar kami aku sangat tahu bagaimana Jeno itu. Dia tak mungkin asal mengucapkan jadi sudah jelas yang ia ucapkan tadi memiliki makna seperti itu.

"Oh paham, mau pulang sekarang?"

Dia mengangguk. "Gue sama bokap, mau nyapa buat basa-basi?"

Tawaku meledak mendengar tawaran menggiurkan yang dia ucapkan. Memang benar sih aku dan Gibran memang memberikan sapaan pada Om Galen hanya untuk sekadar basa-basi doang.

Ah tapi sepertinya kali ini akan sedikit berbeda, mungkin untuk pertama kalinya aku akan benar-benar menyapa Om Galen bukan hanya sekadar basa-basi doang untuk memperkuat ikatan kekeluargaan.

Lantaran tak ada buku ataupun yang lainnya yang harus kubereskan jadi aku langsung merangkul pundak Jeno lantas berkata, "Yok, Dek! Kali ini kakak kamu yang super duper ekstra ganteng ini mau menyapa papa tercinta jadi mari pulang bersama."

Dan Jeno itu memang adik laknat yang juga memiliki hati sekeras batu makanya ucapan panjang lebar itu hanya dibalas dengan kata 'jijik' saja olehnya. Duh adeknya yang baik hati ini mana boleh dimarahi, nanti kalau dia menangis kan ia juga yang kebingungan hendak melakukan apa untuk menenangkannya.

Hahaha, setelah sekian lama akhirnya mereka hanya berjalan berduaan saja menuju ke tempat parkir mobil milik Ayah Galen. Tentu saja panggilan itu Gibran yang menentukan, karena sikap Ayah Galen yang tegas dan orangnya yang juga kaku julukan ayah lebih cocok untuknya.

Um kalau tak salah dengar sih dulu Mama jauh lebih akrab dengan Ayah Galen ketimbang Papa, tapi semenjak ada Bunda memang segalanya berubah. Dah lah itu bukan apa-apa, toh kan kami masih keluarga jadi apapun masalahnya kami harus selesaikan itu bersama-sama.

"Assalamualaikum Ayah," sapaku begitu kami tiba di mobil.

Tentu aku memberikan kesempatan Jeno mencium punggung tangan Ayah terlebih dahulu dan kini baru lah aku yang melakukannya. Kan sebagai kakak yang memang sudah baik dari lahir aku harus memperhatikan adiknya kan?

"Waalaikumsalam Mbul, sama Mamang lagi?"

Aku mengangguk. "Iya, ini mau langsung pulang tapi Jeno bilang dia sama Ayah jadi aku kesini dulu ehe."

Aneh sih, setiap berhadapan dengan Ayah aku seolah-olah dipaksa diriku sendiri untuk cengengesan begini. Walau kelihatannya kaku tapi aku yakin Ayah paham siapa dan bagaimana sikapku.

Wekaweka, meski Gibran dan Jeno hendak menolak kenyataan tapi aku sangat-sangat yakin kalau dulu pasti Ayah dan Daddy sering memanjakanku. Kalau tidak mana mungkin Mama mengatakan benda-benda, maksudku mainan yang ada di lemari itu hasil ulah Papa dan teman-temannya.

"Hati-hati, ayah mau langsung pulang juga karena ada banyak pekerjaan. Jangan bandel Mbul," nasehat Ayah lantas beliau mengusap rambutku sebagai salam perpisahan.

Selama mobil yang mereka kendarai belum meninggalkan gerbang sekolah aku masih menatapnya. Lantas saat mereka sudah pergi baru setelah itu aku menghampiri Mamang dan bersiap untuk pulang.

Hm, kalau kupikirkan ulang memang sepertinya kami bertiga benar-benar definisi anak Mama ya. Nah, di ujung sana aku melihat Kak Regia dan Gibran yang tampak berdebat mengenai siapa yang akan duduk di bangku khusus.

Haha, akhirnya sekarang aku tahu kenapa Daddy menaruh bangku khusus itu. Pasti tujuannya untuk membuat anak-anaknya berebut, bagi Daddy melihat keributan itu kan hal yang luar biasa wekaweka.

Maklum, setiap orang tua pasti memiliki tingkah laku dan cara mendidik yang berbeda. Aish sudah lah, aku sekarang harus segera pulang sebelum Mama mengomel lagi karena aku terlambat.

"Yuk Mang kita pulang sekarang."

Meskipun berkata demikian aku tetap saja memikirkan sesuatu yang cukup aneh saat ini. Apakah benar kalau Gibran dan kak Fafa tak ada apa-apa? Sikap mereka hari ini terlalu mencurigakan.

"Haruskah aja bertanya pada kak Regia? Cih, yakin sekali kalau mereka hanya akan bungkam seperti biasanya."

Mendesah jengah, sepertinya demi keamanan aku akan diam selama beberapa saat. Karena untuk beberapa alasan makin banyak yang kamu ketahui semakin banyak masalahmu, 'kan?

-Bersambung ....