Author POV
Fafa, untuk nama lengkapnya ... dia malas memberi tahunya. Hari itu saat dia pertama kalinya merasa putus asa dan sudah mempersiapkan bunuh diri setelah diperlakukan dengan begitu hina seperti itu, namun Jie-soe datang padanya dan mengulurkan tangan.
Dengan wajah yang babak belur cowok itu menggunakan punggungnya untuk melindungi Fafa, tentu sebagai gadis lemah yang tak bisa melakukan banyak hal dia merasa senang ada yang mau menolongnya. Terlebih itu Jie-soe, adik kelas yang pernah ditemuinya beberapa waktu lalu.
Ah sejujurnya Fafa senang rasanya karena Jie-soe datang bak malaikat penyelamat tepat sebelum sesuatu yang selama ini dia jaga diambil secara paksa, pasti laki-laki itu juga tahu kalau dia tak ingin melaporkan kasus ini pada pihak sekolah makanya sampai sekarang pun tak terdengar desas desus apapun.
Hanya saja kebahagiaan Fafa lenyap seketika kala itu, kala Jie-soe bertanya siapa namanya.
Padahal seingat gadis itu ia sendiri yang menyebutkan namanya pada Jie-soe, meski dengan suara lirih dan tatapan malu-malu tapi bukankah seharusnya adik kelasnya juga bisa tahu nama dari kontak ponsel yang Fafa berikan kala itu?
Lantas kenapa Jie-soe malah bertanya, dan bahkan setelah memberikan seragamnya hanya menatapnya sekilas lantas menuju ke dekat pintu? Cowok itu tampak sibuk menelpon lantas dalam beberapa saat ada cowok lain yang ia ketahui cowok itu bernama Gibran datang membawakannya seragam lengkap.
Dua cowok itu tampak beradu argument, dari tatapan mereka seolah-olah ada pancaran sinar kekecewaan yang mendalam. Entah apa masalah mereka karena fokus Fafa pada Jie-soe yang setelahnya pergi meninggalkan gadis yang masih meringkuk di pojokan ini.
"Eum Fafa, maaf tapi kayaknya gue harus segera pergi sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi. Gue harap setelah pakai seragam dan sisir rambut lo biar rapi lo bisa keluar dengan nyaman, jaga diri."
Zonk.
Semuanya tak sesuai dengan dugaannya, sejauh ini dia masih berharap kalau Jie-soe lah yang tertarik padanya bukan malah Gibran. Bahkan Jie-soe pergi waktu itu pun juga tanpa pamitan, kemudian setelah hanya tersisa dia sendirian Fafa segera menuruti ucapan Gibran.
Tak tahu bagaimana ceritanya namun ternyata dalam daku seragam yang Gibran bawakan ada sisir juga bedak. Diam-diam Fafa tersenyum, bukan karena senang melainkan dia masih berharap kalau itu pemberian sang adik kelas.
Bodoh bukan dirinya ini? Kan sudah jelas-jelas bahwa Jie-soe hanya mengatakan pada Gibran untuk beli seragam saja.
Seharusnya gadis berambut ala Wang Ja pemeran love revolution ini paham bahwa Gibran lah yang menaruh minat padanya. Fafa kembali ke kelasnya setelah peristiwa itu dan bersikap seolah-olah semuanya baik-baik saja dan tak terjadi apa-apa.
Sempat Fafa mengunjungi kelas Jie-soe meskipun harus bersembunyi saat ada Regia dan beberapa siswa dengan prestasi menonjol lainnya. Kala tak ada Jie-soe senyum Fafa luntur seketika, tapi melihat ada tas dia pun masih memiliki sedikit harapan. Sayangnya justru Gibran yang membawanya, entah sengaja atau bagaimana, cowok itu tampak melirik ke arahnya lantas melemparkan senyuman tipis.
Bukan itu yang ia harapkan, bukan senyum hangat dan sapaan Gibran melainkan Jie-soe yang mengajaknya membahas akan sesuatu. Dan meski hampir seminggu peristiwa itu berlalu Jie-soe malah terus-terusan menyodorkan Gibran membuatnya semakin muak dengan sahabat cowok itu.
Ia masih sabar jika Jie-soe hanya meminta Gibran untuk mengatakan padanya agar tak terlalu sering datang ke kelas. Tapi dia semakin muak saat Gibran bersikap seolah-olah ia dan cowok itu sangat dekat.
Lantas saat istirahat tiba pun Gibran juga mengikutinya kemana pun dia pergi dan selalu berbisik mengenai hal yang sama. "Aku bakal jaga kamu supaya bisa merasa aman dan nyaman berkeliaran kayak gini, ijinkan aku buat di sisi kamu ya?"
Padahal jelas-jelas Fafa hanya diam dan tak mengatakan apa-apa tapi Gibran malah menyimpulkan segalanya sendiri dengan berkata, "haha kamu diam aja itu artinya iya kan?"
Fafa sekarang hanya bisa menatap Jie-soe dari kejauhan, sekarang dia tahu alasan mengapa cowok menjauh darinya. Itu semua karena Gibran, cowok sialan itu menyukainya. Atau memang sengaja memintanya untuk menjauh meskipun ingin sekadar membalas budi?
Meski hanya melihat dari jarak sejauh ini Fafa tahu jika Febi si adik kelas sok cantik itulah yang menggoda Jie-soe terlebih dahulu. "Ah dia nyebelin deh, waktunya menyingkirkan hama kan ya?"
Setelahnya Fafa terkekeh geli, jika dia menjadi pemeran antagonis nantinya tolong salah kan Jie-soe yang tak mau memihak padanya haha. Dia kembali menatap Gibran.
"Boleh duduk dulu kalau mau ngomong sesuatu?" tanyanya.
Gibran tampak kikuk. Sekilas Fafa tahu adik kelasnya ini sedikit tak nyaman.
"Hehe, aku beneran mau jagain kakak kok. Sebetulnya lebih ke jadi mata-mata, maaf harus ngomong jujur kayak gini tapi ... kak Regia pengen menyelidiki semuanya sampai tuntas," jelas Gibran.
Fafa ingin tersenyum lebih lebar jika bisa, sayangnya tak mungkin terjadi. Dia terpaksa menahan diri selama ini, memang tujuannya mendekati Jie-soe sebetulnya ya itu.
"Aku ngerti, sebenarnya selama ini nggak pernah ada yang kayak Jie-soe. Jujur saja aku terjerat pesonanya, berharap lebih dan terus mengkhayal tapi sepertinya —"
Huek!
Mendadak Fafa ingin muntah saat mencium bau parfum kala seorang adik kelas lewat di depannya. Gibran yang melihatnya pun pucat pasi, mencoba untuk berpikir positif tapi dia tak bisa melakukannya saat ini. Sialan! Entah kenapa pikirannya melayang ke arah hal-hal yang buruk.
Tentu saja setelah berkali-kali memutar otak dan memeras keringat Gibran pun memberanikan diri.
"Kakak nggak—"
"Sial, sudah tanggal berapa sekarang, Dek?" potong Fafa bahkan sebelum Gibran sempat mengucapkan pertanyaannya.
Gibran meraih ponsel yang di saku, dia melihat ke sekitar entah mengapa merasa sedang diawasi. Dengan suara yang bergetar dia pun menjawab, "Sekarang sudah tanggal 12, Kak. Kenapa?"
Wajah pucat sang kakak kelas membuat Gibran ingin menghantamkan kepala Jie-soe saat ini. Seseorang yang membuatnya terlibat dalam masalah, ini awal semester ganjil. Jika sesuatu yang buruk terjadi maka ... argh!
"... nggak mungkin, 'kan?" Fafa menatapnya dengan mata yang berair.
Gibran pun berjongkok di depan wanita itu. Dia menggenggam tangan kak Fafa tanpa peduli meskipun beberapa orang justru memusatkan pandangan padanya.
"Bismillah aja, semoga nggak. Tapi ... berapa hari telat?" tanyanya sedikit berbisik.
"Tiga, ini telat tiga Mingguan. Dan ... waktu itu aku juga—"
Kata-kata setelahnya bagaikan sensor besar di telinga Gibran. Dia pikir sekolah ini aman, nyaman bahkan tak akan mampu membuat 'masalah' sebesar ini. Tetapi Gibran lupa bahwa sang Mama pernah mewanti-wanti kalau masa SMA itu rawan sekali, rasa ingin mencoba begitu besar.
Hanya saja, bagaimana nasib orang-orang yang disayanginya? Regia sialan itu bahkan ikut campur.
Bangsat lo, Kak! umpat Gibran dalam hati.
-BERSAMBUNG-