Chereads / Hello My Girl! / Chapter 18 - Sosok Keluarga

Chapter 18 - Sosok Keluarga

Aku terdiam sejenak.

Setelah berdebat dengan Mama lewat telepon tadi pada akhirnya aku bisa bangun pagi-pagi sekali dan berangkat dari rumah dengan sopir juga. Hah! Dasar Papa memang begitu, buat apa coba beli banyak montor namun aku tak boleh mengendarainya, halah jangan kan mengendarai motor melihatnya saja kadang aku gak boleh.

Padahal kecelakaan waktu itu tak sampai membuat banyak luka di tubuhku tapi Papa ya tetap Papa, seseorang yang akan super duper ekstra melindungi diriku dengan dalih kalau aku ini anak semata wayangnya.

Hadeh, biasanya kan juga Papa tak seperti itu. Namun semenjak aku katun dari motor sikap Papa memang lah sedikit berbeda dan kurasa aku bisa memakluminya kok toh itu tandanya Papa memang benar-benar menyayangiku.

Hanya saja kadang otakku tak menerima ini semua, bagiku ini juga sedikit berlebihan dan tak seharusnya Papa seperti ini karena kan biar bagaimana pun aku sudah anak SMA yang akan merasa malu saat di antar jemput begini.

Apa lagi kalau sampai mereka menganggap aku anak yang manja dan hobi foya-foya. Itu jelas saja bukan diriku, aku saja tak pernah minta uang jajan jika Mama atau Papa tak memberikannya padaku, lantas dari sikap ini mana yang mencerminkan kepribadian manja hm?

Duduk sendirian di atas atap sekolah sepertinya sudah menjadi kebiasaan bagi ku, hari sudah beranjak siang. Saat orang lain tadi malas-malasan untuk menunaikan salat duhur aku sudah melakukannya terlebih dahulu jadi sekarang aku sudah merasa sangat tenang.

Sama seperti hari lalu, hari ini pun juga hanya sekadar basa-basi dari para guru yang akan mengajar selama beberapa tahun kedepannya. Aku sih tak tahu siapa nama-nama mereka karena sejak pagi aku sengaja tidur di kelas.

Dengan bertukar bangku membuatku bisa leluasa tidur di bangku Gibran, meski selama beberapa saat tadi aku harus mendengar Jeno mengoceh tak jelas namun sudah pasti itu tak akan bertahan lama.

"Lo di sini juga ternyata."

Ucapan seseorang dari arah belakang itu sontak membuatku yang menyandarkan punggungku sambil memejamkan mata pun membuka mata perlahan dan menoleh ke belakang.

Alisku mungkin kini menyatu deh melihat kehadiran Jeno di sini, tumben-tumbenan bocah ini mau mengabiskan waktu di tempat seperti ini ketimbang di perpustakaan atau di kelas saja sambil membaca buku miliknya.

Ah tunggu-tunggu, di tangannya sekarang kan juga ada buku yang entah apa itu dan pastinya dia datang kemari juga untuk membacanya bukan. Dah lah dia tuh memang bucin akut dengan para buku-buku ini.

Kalau aku sih mana mau menghabiskan seluruh sisa hidupku hanya dengan membaca buku, itu terdengar tak mungkin sama sekali loh haha.

Biar aku tebak dia pasti bertanya pada Gibran mengenai tempat yang nyaman untuk membaca buku dan bocah mulut ember itu pasti langsung mengucapkan atap sekolah adalah tempat aman dan nyaman. Dih padahal dia tahu tempat ini saja dariku yang tak tahu kenapa akhir-akhir ini jadi sering kali menceritakan hal-hal kecil padanya wekaweka.

"Perpus ada bagian pojok dimana lo bisa baca dengan nyaman tanpa kena sinar matahari sama sekali, jadi kenapa lo malah di sini nyet?" tanyaku setelah keheningan melanda kami.

Jeno itu apa ya, dia tak akan pernah angkat bicara jika bukan kamu yang memulainya terlebih dahulu. Jiak ingin berada di sampingnya dan akrab dengannya ya kamu dulu yang harus mengajaknya bicara.

Uh kedengarannya sangat lah merepotkan bukan?

Ya tapi apa boleh buat karena sejak dia dalam kandungan Papa sudah berbisik padaku kalau dia ini adikku. Haha, adik mana yang tak pernah menatap kakaknya dan hanya diam saja saat ditanya seperti ini hm?

Huft. Lelah rasanya punya adik sekaligus teman yang seperti ini, dia saja tak pernah memanggilku kakak bukan?

Oh Papa ku tercinta tolong lah jelaskan pada anakmu ini dimana kah letaknya aku bisa menghargai dia sebagai adikku hm?

"Menenangkan pikiran, Nak," jawabnya setelah sekian lama aku menunggu.

Kesannya aku benar-benar seperti bocah bayi yang tengah menunggu ibunya untuk diberi ASI. Gini saja aku sudah girang banget sih wekaweka, lucu deh aku ini.

"Kenapa nggak cerita? Punya keluarga lain gunanya buat apa?" tanyaku dengan nada santai.

Ah iya, buat apa ya?

Bahkan aku sendiri kadang juga enggan bercerita pada mereka berdua loh masa kini aku mengatakan ini pada dia? Rasanya aneh dan em entah lah aku sendiri canggung juga saat mengatakannya.

"Gue cuma pusing bentar aja, biasa Papa sama Mama ngoceh pagi-pagi."

Dan, bukan seperti aku yang akan dia menundukkan kepala selama seharian lantas menghindari mereka berdua. Jeno berbeda, jika aku yang bertanya maka tanpa jeda dia akan menceritakan segalanya.

Tentang masalahnya juga tentang keinginannya yang belum juga terwujud, dia memintaku memberikan saran. Kadang dia juga menitikkan air mata namun dia buru-buru menghapusnya, untuk sejenak aku sadar.

Meski suka memalingkan muka, atau tak pernah memanggilku kakak tapi dia kan persis seperti adikku yang selalu membutuhkan saran dariku.

***

Jika tadi pagi dengan Jeno maka malam ini pun aku juga pergi dengannya. Masih dalam rangka menginap karena Mama sepertinya begitu suka meninggalkan anaknya.

"Tante boleh ngomong berdua sama Jisuu ndak? Ada sesuatu yang penting, Sayang," tutur Tante Tania.

Saat main ke rumah ini biasanya aku lebih banyak diabaikan. Jadi melihat Tante Tania ingin mengatakan sesuatu bahkan sampai harus berdua saja rasanya seperti ada yang salah saat ini.

"Boleh dong, Mi!" jawabku, bersemangat tapi juga sedikit ketakutan.

Aku takut jika saja nanti Tante Tania memintaku menjauhkan diri dari keluarga ini. Barang kali Tante mungkin akan berpikir bahwa aku sudah salah melangkah.

Di keluarga kami tak ada yang disembunyikan, bahkan mereka semua tahu persis kapan anak-anaknya dibuat. Terdengar begitu menjijikkan, tapi jujur saja Mama, Tante Tania dan bibi Annisa itu persahabatannya sangat mengagumkan.

"Mama, nggak usah—"

"Jeno, Mama nggak minta kamu ngomong. Satu lagi, jangan ngajak Mama bicara sebelum kamu tahu seperti apa jalan yang seharusnya kamu tempuh," tegas Tante Tania.

Aku menatap Jeno, Mama bilang saat masih seusia kami Tante Tania benar-benar ditekan keluarganya untuk mendapatkan peringkat paralel. Bahkan saat Mama memilih gap year beliau juga tahu sekeras apa usaha Tante Tania agar tak dipaksa masuk sekolah kedinasan.

Ah, ini benar-benar sesuatu yang tak boleh kubahas seharusnya. Aku tersenyum tipis, mencoba untuk menggandeng tangan Tante Tania lantaran tak mau ada perang selanjutnya.

"Tante, katanya mau ngobrol? Ayok ke belakang."

Sejenak Tante Tania menimbang hingga akhirnya dia membalas ajakanku.

Kala menoleh aku melihat Jeno berkata 'makasih' tanpa suara dengan senyum yang sedikit dipaksakan tentunya.

-Bersambung ....