Melihat Gibran yang diam saja aku jutsru bingung hendak mengatakan apa. Sambutan heboh Mommy Annisa jelas membuatku sungkan.
Ditambah lagi, aku datang saat malam-malam begini. Tadi sih dari rumah sekitar jam tujuh malam tapi karena Papa dan Mama harus mampir ke rumah temen mereka ya mau nggak mau aku harus berdiam diri di mobil.
Dan, karena hal itu kau baru tiba di rumah ini tepat pukul sepuluh malam. Rencana awal kan aku hendak menginap jadi ya malam ini aku akan menginap lah.
Namun ocehan Kak Regia sedikit mengganggu, eh tenang saja kok aku tak akan menggunakan alasan itu untuk kabur dari rumah ini.
"Kenapa kalian masih diem-diem kayak gini? Mama sama Papa nggak akan denger kok karena ini kedap suara. Dan juga kalau kalian nggak cerita sendiri dan malahan kakak denger dari orang lain bisa gawat urusannya, paham?"
Baik aku maupun Gibran kami sama-sama tak ada yang mengangguk lantaran memang tak paham dengan ucapan Kak Regia. Ha-ha lebih tepatnya aku dan Gibran malas angkat suara, entah bagaimana pun kami berusaha menutupi sumber juga mata-mata Kakakku itu banyak.
Dan seperti yang kakak Gibran itu katakan kalau bakalan rumit urusannya jika Kak Regia mendengar hal ini dari orang lain. Hanya saja entah kenapa aku pun juga seolah-olah tak memiliki hak untuk bercerita.
Terkecuali kalau Gibran mau mengawalinya terlebih dahulu, nah jika begitu kejadiannya maka mungkin saja aku akan menceritakan detailnya bagaimana.
"Bran, bisa jelasin sejauh mana yang kamu tahu?" tanya Kak Regia yang kali ini dari nada bicaranya aku tau kalau ia sedang serius dan tak ingin bermain-main lagi.
"Dia bolos kelas," jawab Gibran.
Baik lah, jika dia sudah memulainya maka aku juga harus bersiap-siap mendengarkan ocehan dari Kakakku nantinya. Untuk beberapa menit, paling tidak lima belas menit ke depan suasana akan di ambil alih oleh Gibran.
Dan selama itu aku hanya perlu mendengarkan saja.
"Lantas?"
"Aku mau nyari dia tapi males aja, kakak tahu sendiri lah tadi dia main pergi gitu aja jadi aku males mau cari dia."
Kak Regia belum berubah ekspresinya, wanita itu masih bertanya-tanya apa gerangan yang tengah terjadi saat ini. "Okey sampai sini kakak paham, jadi selanjutnya?"
"Pas bel masuk mendadak dia telpon, ya aku angkat lah. Terus dia ngoceh bilang suruh beliin baju, emang aku yang selalu berpikiran kotor ini mikir apa lagi selain menjerumus ke hal-hal kayak gitu kak. Dan waktu aku tanya ke dia apa itu baju buat cewek dia bilang iya, menurut kakak apa pikiran aku bisa bersih suci pas denger penjelasan dia?" tanya Gibran sambil menatap Kak Regia.
Tentunya selama bercerita dia sama sekali tak mau menoleh padaku. Ah ini sedikit menyebalkan namun aku juga salah jadi aku tak bisa membentaknya begitu saja.
"Kakak nggak bisa menyimpulkan kalau Suu salah dalam hal ini karena kakak cuma dengerin penjelasan dari satu sisi. Um apa masih ada yang mau kamu jelasin lagi Bran?" tanya balik Kak Regia dengan respon yang kelewat santai menurutku.
Yah kan kakakku yang satu ini memang begitu orangnya, mau gimana pun juga dia meneruskan gen dari Daddy Dewa yang selalu menganggap enteng masalah apapun itu.
"Setelah aku pergi beli seragam itu aku ke gudang seusai sama yang di katakan di telepon. Dan aku lihat dia, katakan saja kalau dia yang aku maksudkan ini gadis yang nggak kami kenal. Tapi dari seragamnya yang mirip kakak mungkin memang sudah kelas dua belas. Dia duduk di pojokan sambil nutupin tubuh bagian atasnya yang hampir tak tertutup sama sekali, udah cuma itu yang mau aku jelasin ke kakak. Dan buat kelengkapan ceritanya aku juga masih nungguin seseorang buat angkat suara." Gibran tampaknya benar-benar marah padaku saat ini.
Raut wajah datar Kak Regia kini berubah menjadi terkejut dan seketika dia menatap ke arahku entah dengan jenis tatapan apa karena aku susah sekali untuk menjelaskannya. Wanita itu tampak menggerakkan dagunya menyuruhku angkat suara.
"Aku mulai?" tanyaku meminta persetujuan.
Gibran tak menolehkan kepalanya namun dia mengangguk begitu pun juga dengan Kak Regia, mereka berdua sepertinya benar-benar ingin mendengar kelengkapan ceritanya. Hanya saja aku masih sedikit ragu, bagaimana kalau orang-orang yang melakukan hal itu benar-benar temannya.
'Lebih lagi apa jadinya jika gadis yang kuselamatkan salah satu temannya?'
Meski aku yakin gadis itu tak akan mengadukannya namun mulut ember Kak Regia pastinya bisa mengubah angin sepoi-sepoi ini menjadi angin kencang. Tapi, Gibran saja sudah angkat suara dan jika aku tidak ikut menejelaskan hal ini maka hanya bisa di ambil satu kesimpulan saja.
Aku yang salah.
"Aku pergi gitu aja tadi karena males. Sampai sini aku yakin kalian berdua udah pada paham, jadi setelah itu aku nggak tahu kenapa aku bisa melangkah ke gudang sekolah yang kata Gibran itu gudang angker. Awalnya aku kira suara tangisan itu mungkin aja setan yang Gibran bilang tapi tangisannya semakin jelas, ditambah lagi itu tadi siang bolong jadi aku ya gitu," ujarku yang sengaja menggantung cerita supaya Gibran mau menoleh menatapku.
Dan terbukti, setelah aku mengatakannya Gibran benar-benar menolehkan kepalanya dan kini sahabat ku itu menatap kemari. Dan tentu saja Kak Regia langsung melayangkan tatapan tajamnya padaku.
Aku sendiri hanya terkekeh geli, "tolong kak biasa saja dong natapnya kan aku jadi nggak fokus gini jadinya."
Kak Regia melempar bantal yang sialnya tepat mengenai sasaran, alias mendarat tepat di wajahku. "Udah deh Suu jangan bikin orang nunggu kamu kayak gini. Kamu pikir kamu penting banget apa sampai bikin orang lain nungguin kamu kayak gini hm?"
Oke, jangan sampai aku tertawa karena situasinya tak tepat sekarang. Aku hanya perlu diam saja, eh bukan-bukan.
Mana boleh aku diam saja saat ada orang yang tengah menungguku seperti ini, sama seperti yang Kak Regia ucapkan tadi bahwa aku tak sepenting itu sampai-sampai aku bisa membuat orang menungguku.
Dan setelahnya aku benar-benar melanjutkan ceritanya secara rinci bahkan sampai pada saat-saat aksi tinju dadakan pun aku juga menjelaskannya secara rinci. Dan untuk terakhir aku baru mengatakan kalau kemungkinan besar lima orang siswa itu dari kelas Kak Regia, bahkan gadis itu pun juga.
Karena itu lah Kak Regia menunjukkan foto-foto dari siswa laki-laki yang ada di kelasnya. Entah suatu kebetulan atau apa namun dia itu sekretaris jadi dia tau secara detail semua siswa-siswi yang ada di kelasnya.
Dan seperti yang kutebak sebelumnya, mereka, lima orang cowok-cowok yang melakukan tindakan tak terpuji itu semuanya berada di kelas Kak Regia, rupanya si cewek tidak ada di kelasnya. Melihat dari ekspresi Kak Regia aku yakin kalau kakak kandung Gibran ini akan mencari tahu kebenarannya.
Makanya, aku sedikit lega. Karena dengan begitu mungkin jalan Gibran akan mulus bak jalan tol bukan?
-BERSAMBUNG-